BAB I
PENDAHULUAN
Perekonomian yang digerakkan oleh mekanisme pasar bebas tanpa
diikuti oleh proses redistribusi pendapatan akan mendorong terjadinya
kutub-ktub ekonomi. Meningkatnya pendapatan kelompok masyarakat kaya bisa
mendorong pada kenaikan harga yang tidak mampu diikuti oleh daya beli
masyarakat miskin. Meskipun kelompok kaya dan kelompok miskin ini telah membeli
barang/jasa sesuai dengan kesepakatan pasar namun tanpa disadari telah
mendorong terjadinya proses redistribusi barang/jasa dari kelompok yang
memiliki daya beli rendah menuju kelompok berdaya beli tinggi.
Dalam makalah ini akan dijelaskan sekelumit mengenai zakat dan yang
berkaitan dengannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Urgensi
Reinterpretasi Zakat Menghadapi Perubahan Sosial
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat di zaman modern ini telah
membawa perubahan yang mendasar bagi pola kehidupan umat manusia. Termasuk
didalamnya masalah perekonomian dan sosial kemasyarakatan, juga telah mengalami
perubahan yang signifikan. Berbagai objek zakat yang ditetapkan oleh ulama
terdahulu sudah kurang relevan untuk diterapkan saat ini, misalnya banyaknya
berkembang jenis-jenis harta di zaman modern ini yang belum termasuk sebagai
objek zakat. Demikian juga dengan masalah sosial kemasyarakatan, seperti
masalah kemiskinan yang semakin kompleks, menghendaki
ditemukannya sistem pendayagunaan zakat yang lebih baik dan efisien agar tujuan
yang ingin dicapai dalam penerapan ajaran zakat dapat diwujudkan. Sejalan
dengan penjelasan tersebut, Louer tahun 1993 menjelaskan bahwa seluruh aspek
kehidupan sosial terus-menerus mengalami perubahan yang berbeda hanya tingkat
perubahannya, ada yang berjalan lambat dan ada yang berjalan cepat. Perubahan
sosial menembus keberbagai tingkat kehidupan sosial, demikian juga dengan
kebutuhan hidup manusia tentunya juga berubah, sehingga segala aturan, norma
dan hukum yang mengatur tentang kehidupan manusia, termasuk zakat tentunya
harus bersifat dinamis, jika aturan tersebut benar-benar diharapkan dapat eksis
untuk menciptakan kemaslahatan umat manusia. Berdasarkan pemahaman tersebut,
maka perubahan pada ajaran zakat pada tataran tehnis merupakan suatu keharusan,
hal ini disebabkan karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa
perubahan yang signifikan baik di bidang perekonomian, sosial, politik dan
budaya. Perubahan terhadap sistem perekonomian masyarakat tentunya mengharuskan
penafsiran kembali objek zakat, demikian juga perubahan terhadap struktur
sosial, budaya dan kebutuhan masyarakat tentunya juga mengharuskan penafsiran
kembali terhadap penentuan masing-masing delapan konsep asnaf.
Meskipun Al-Qur’an adalah sumber pertama dan utama
dalam ajaran Islam, namun tidak seluruh
muatan ayat-ayatnya, terutama ayat-ayat hukum, sudah bersifat rinci (tafsili).
Sebagian besar ayat-ayat masih bersifat global (ijmali) yang memerlukan
penafsiran dan pengembangan makna lebih lanjut melalui berbagai metode ijtihad.
Pada dataran inilah diperlukan reinterpretasi jika situasi dan kondisi zaman
telah mengalami perubahan. Seperti misalnya dalam masalahan zakat yang menjadi
bahasan dalam tulisan ini, Al-Qur’an hanya menjelaskan perintah menunaikan
zakat secara global, Al-Qur’an tidak menyebutkan objek zakat secara rinci.
Dalam surat Al-Taubah ayat 103 :
Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”[1].
Al-Qur’an hanya memerintahkan mengambil harta zakat
secara umum dari muzaki. Sedangkan dalam masalah sasaran zakat, Al-Qur’an hanya
menjelaskan delapan golongan yang berhak menerima zakat juga secara global. Hal
ini jelas memberikan suatu kesan bahwa Al-Qur’an memberikan ruang yang besar
kepada umat Islam, khususnya ulama untuk menafsirkan ayat-ayatnya agar
benar-benar memberikan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia yang dinamis.
B.
Peran Zakat
Dalam Pemulihan Dan Transformasi Ekonomi
Disamping zakat diyakini mampu melakukan
redistribusi pendapatan antar masyarakat penerapan prinsip-prinsip zakat
membawa implikasi bagi transformasi perekonomian.
1. Zakat sebagai Insentif Transformasi Ekonomi
Islam mengajarkan bahwa
tarif zakat maal telah ditentukan oleh Allah melalui contoh yang diberikan oleh
Rasulullah s.a.w. Besarnya tarif zakat yang ditentukan untuk setiap jenis harta
tidaklah sama. Jika hal ini dikaji maka akan ditemukan
beberapa hikmah ekonomi yang terkandung. Secara umum, zakat dikenakan atas tiga
ukuran, yaitu : (1) volume produksi (2) pendapatan
atau keuntungan (3) unit kekayaan. Misalnya zakat atas barang temuan, pertanian
dan peternakan dihitung atas volume produksi setiap periode, sedangkan zakat
atas perdagangan dihitungkan atas pendapatan bersih dan zakat atas emas, perak
dihitung atas unit simpanan kekayaan.
Jika
diperhatikan tarif zakat atas barang
temuan, pertanian dan peternakan maka penerimaan bersih (setelah mencapai nisab
dan membayar zakat) yang akan diterima oleh pengusaha adalah sebagai berikut :
Barang temuan/tambang/dsb = 80% R
Pertanian tadah hujan: = 90% R
Pertanian irigasi: = 95% R
Peternakan unta/sapi: = 97,5% R
Perdagangan = 97,5% R
Peternakan kambing/domba: = 99% R
Dari gambaran
diatas tampak bahwa zakat berperan seperti pajak penjualan. Artinya sebelum
muzakki menikmati laba usaha mereka harus mengeluarkan zakatnya terlebih
dahulu. Ditinjau dari aspek ekonomi hal ini akan memberikan disinsentif bagi
pelaku bisnis karena akan mengurangi laba bersih usaha, yang pada akhirnya akan
mengurangi insentif untuk berusaha.[2]
Penerapan zakat
akan membawa perekonomian dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern,
yaitu dari masyarakat pemburu (sektor primer) menuju masyarakat pengolah
(sektor industri manufaktur)’
2. Zakat akan Menyuburkan Perekonomian
Allah telah
berjanji bahwa Dia akan menyuburkan harta yang disedekahi (dikeluarkan zakat
atau sedekahnya) dan menyusutkan harta yang diribakan. Pelaksanaan
zakat akan memiliki dampak sosial akan menyuburkan (menumbuhkan) perekonomian
melalui peningkatan produktifitas sektor mustahiq. Zakat akan mendorong sektor
ini berubah dari ketidakberdayaan menjadi mampu untuk melakukan interaksi di
pasar. Zakat yang diberikan dalam bentuk barang konsumsi atau uang cash akan
meningkatkan daya beli mustahiq terutama terhadap kebutuhan-kebutuhan pokok
mereka. Namun ketika kebutuhan pokok mereka terpenuhi, zakat bisa mendorong
produktivitas mereka sehingga akan meningkatkan kesejahteraan secara makro. Hal
ini sudah dijelaskan melalui gambar diatas, bahwa zakat bisa menambah
permintaan ataupun penawaran di sektor mustahiq yang pada gilirannya juga akan
meningkatkan perekonomian secara umum.
Di sisi lain,
zakat memberikan insentif yang berbeda dengan pajak. Pajak pada hakikatnya
merupakan hutang pemerintah kepada warganya, yang harus dibayar dalam bentuk
fasilitas umum atau redistribusi kesejahteraan. Hal ini yang mendorong pajak
akan melahirkan tuntutan bagi pembayarnya dan berpengaruhnya para pembayar
pajak dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah. Sedangkan zakat dibayarkan
dengan motivasi keikhlasan dan didistribusikan oleh amil untuk
individu-individu yang tidak mampu. Oleh karena itu zakat memberikan kebebasan
kepada amil ataupun mustahiq untuk menggunakannya sehingga diharapkan akan memberikan
kreativitas dalam peningatan perekonomian.
3. Zakat Membangun Moralitas Ekonomi
Allah
menjelaskan bahwa perintah zakat ditujukan untuk dua hal, yaitu untuk
membersihkan (harta) dan mengsucikan (QS 9:103).
Artinya : “Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui”[3].
Ayat-ayat
Qur’an yang menjelaskan tentang zakat lebih menekankan pada kewajiban
membayarnya daripada proses distribusi ataupun dampaknya. Pesan-pesan moral
yang disampaikan bahwa pembayaran zakat dimaksudkan untuk membesihkan harta
manusia (Muslim) serta mengsucikan jiwa-jiwa mereka dari sifat iri, dengki,
kikir dan tabdzir (boros). Kehidupan harmoni antar masyarakat inilah yang
diharapkan lahir dari pelaksanaan zakat, terutama zakat yang dibayarkan secara
ikhlas dan tidak mengharap imbalan apapun dari pihak yang menerima zakat.
Ibaratkan
kehidupan alam ini berisikan muatan positif dan muatan negatif, maka resiko
terjadinya pertemuan antar dua muatan ini tidak bisa dihindari dan bisa
memungkinkan terjadinya ledakan. Sebagai misal petir yang sering
terjadi di musim penghujan merupakan akibat berdekatannya muatan positif dan
negatif raksasa.
Meski
demikian, ledakan ini bisa dihindari dengan cara memasangkan kabel penghubung
antar kedua muatan tersebut yaitu penangkal petir. Demikian pula mekanisme
zakat bekerja dengan cara yang hampir sama, yaitu sebagai katalisator antar dua
titik kutub yaitu kutub berlebihan (positif-muzakki) dan kutub kekurangan
(negatif-mustahiq) sehingga keharminisan-lah yang diharapkan akan terjadi.
Pelaksanaan
zakat akan mendidik bagi pembayar maupun penerima zakat untuk memiliki kesucian
hati. Pembayar zakat akan disucikan dari perasaan sombong dan kikir. Di sisi
lain, penerima zakat akan disucikan dari perasaan iri dan dengki terhadap
perbedaan kekayaan dengan orang lain[4].
Zakat dilihat
dari segi ekonomi adalah merangsang si pemilik harta kepada amal perbuatan untuk mengganti apa yang telah diambil dari
mereka. Ini terutama jelas sekali pada zakat mata uang, di mana Islam melarang menumpuknya, menahannya
dari peredaran dan pengembangan. Dalam hal ini ada ancaman Allah :
Artinya : “...dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya
pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan
mendapat) siksa yang pedih. (at-Taubah : 34)[5].
Tentu tidaklah cukup dengan sekedar ancaman yang berat ini, akan tetapi
Islam mengumumkan perang dalam praktek terhadap usaha penumpukan dan membuat
garis yang tegas dan bijaksana untuk mengeluarkan dari kas simpanan. Hal itu
tercermin ketika Islam mewajibkan 2½% dari kekayaan uang., apakah diusahakan
oleh pemiliknya atau tidak. Dengan demikian, maka zakat itu merupakan suatu cambuk
yang bisa menggiring untuk mengeluarkan uang agar diusahakan, diamalkan dan
dikembangkan sehingga tidak habis dimakan waktu[6].
C.
Urgensi Zakat Dalam
Membangun Kesalehan Sosial
Pada sasaran zakat ini ada yang
bersifat identitas sosial, seperti menolong orang yang mempunyai kebutuhan,
menolong orang-orang yang lemah, seperti fakir, miskin, orang yang berutang,
dan ibnu sabil.
Menolong mereka, meskipun
sifatnya pribadi, akan tetapi mempunyai dampak sosial, karena masing-masing
saling berkaitan erat, sebab secara pasti antara pribadi dengan masyarakat akan
saling berpengaruh, bahkan masyarakat itu tidak lain merupakan kumpulan
pribadi-pribadi. Segala sesuatu yang memperkuat pribadi, mengembangkan
cita-citanya dan kemampuan material serta spiritualnya, dengan tidak diragukan
lagi akan memperkuat dan mempertinggi masyarakatnya. Sebaliknya segala sesuatu yang
mengokohkan masyarakat dengan sifatnya yang umum akan berakibat kepada
anggotanya, baik 'disadari maupun tidak. Maka, tidaklah aneh, dengan
menyibukkan para penganggur, menolong orang yang lemah dan membutuhkan, seperti
fakir, miskin, budak belian dan orang yang berutang akan mempunyai sasaran
kemasyarakatan, karena di dalamnya ada unsur sosial, yang pada waktu yang
bersamaan mempunyai sasaran individual, jika dilihat dari orang yang menerima
zakat.
Zakat, adalah salah satu bagian
dari aturan jaminan sosial dalam Islam, di mana aturan jaminan sosial ini tidak
dikenal Barat, kecuali dalam ruang lingkup yang sempit, yaitu jaminan
pekerjaan, dengan menolong kelompok orang yang lemah dan fakir
Islam memperkenalkan aturan ini
dalam ruang lingkup yang lebih dalam dan lebih luas, yang mencakup segi
kehidupan material dan spiritual, seperti jaminan akhlak, pendidikan, jaminan
politik, jaminan pertahanan, jaminan pidana, jaminan ekonomi, jaminan
kemanusiaan, jaminan kebudayaan dan yang terakhir adalah "jaminan
sosial".[7]
Secara prinsipil zakat dapat
dijadikan sebagai pintu masuk (gapura) bagi umat Islam jika memang mereka
benar-benar dan sungguh-sungguh ingin berupaya menegakkan amanah
kekhalifahannya dengan menegakkan keadilan dan kesalehan sosial dalam kehidupan
masyarakat.
Pada prinsipnya ajaran zakat
harus dipahami sebagai kewajiban bagi setiap umat Islam yang diperintahkan
Allah SWT guna menegakkan keadilan dan kesejahteraan sosial, karena hanya
dengan pemahaman ini, zakat akan benar-benar dapat mewujudkan kemaslahatan
bersama. Apa yang diinginkan oleh agama dengan kesalihan diri tentu tidak cukup
ditegakkan hanya dengan pendekatan-pendekatan personal, melainkan harus
dibarengi dengan pasangannya “nasihat bil al-hal” yang bertolak dari
realitas sosio struktural.
Zakat dalam pandangan Islam
merupakan suatu kewajiban yang memiliki dua dimensi, yakni dimensi spiritual
dan dimensi sosial. Dalam fungsinya yang bersifat sosial, zakat dapat
dipergunakan sebagai sarana pemerataan pendapatan masyarakat melalui
pendistribusian harta kepada orang-orang yang memerlukan sebagaimana yang telah
disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 60.
Artinya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para
mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana[8].
Ternyata dalam penerapan,
pengelolaan dan pemberdayaan zakat masih jauh dari harapan.
Padahal, dari kelima rukun Islam,
ajaran zakatlah yang paling dekat dengan inti ketidakadilan secara
sosio-ekonomis dalam masyarakat muslim. Tapi nyatanya hingga saat ini
problematika zakat masih buntu dan tidak kondusif.
Dengan dikelolanya zakat secara efektif dan
efisien, diharapkan kehidupan orang-orang miskin dan yang kekurangan dapat
ditingkatkan, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an “Dan pada harta-harta
mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak
mendapat bagian” (Al-Dzariyat ayat 19).
Artinya : “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk
orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian[9].
Jika ditelaah pengelolaan zakat pada BAZ Kabupaten,
maka akan dipahami bahwa apa yang dilakukan oleh lembaga ini jelas sudah
mencoba melakukan upaya menjadikan zakat sebagai sarana untuk mewujudkan
kemaslahatan umat, meskipun memang di sana sini masih ada yang masih perlu
untuk disempurnakan. Adanya variasi program dan layanan yang ditawarkan lembaga
ini jelas merupakan refleksi teologis terhadap ajaran zakat yang sudah
dianalisis dengan pendekatan sosiologis. Di samping itu, pada saat yang
bersamaan, program dan layanan tersebut juga ditunjukkan sebagai langkah dan
sarana penyadaran kepada para muzakki agar mereka mau menunaikan zakatnya
secara sadar diri, tidak merasa tertekan dan terpaksa. Tentu saja program dan
layanan tersebut merupakan hasil perencanaan yang komperehensif dari
partisipasi semua pihak, baik pengurus, cendikiawan, maupun masyarakat luas.
Kemudian program dan layanan itu diaktualkan dalam
wujud nyata oleh team work yang ada didalamnya, yakni pegawai tetap.
Sementara evaluasi dan perumusan kebijakan-kebijakan baru harus selalu
dilakukan, baik insidental maupun terencana untuk memperbaiki
kekurangan-kekurangan yang ada. Khusus evaluasi yang terencana (terprogram)
baik mingguan, bulanan dan khususnya tahunan, ketika dilakukan tutup buku.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan beberapa hal :
1. Zakat dapat digunakan untuk mempengaruhi
kinerja suatu perekonomian dengan cara meredistribusi zakat kepada mustahiq
jika diperlukan sesuai dengan siklus bisnis. Pengeluaran zakat dapat
ditingkatkan ketika perekonomian sedang melemah untuk meningkatkan pengeluaran
agregat dan aktivitas ekonomi. Karena jumlah penerima zakat meningkat pada saat
resesi ekonomi, pemerintah dapat mengalokasikan zakat lebih banyak dengan
menggunakan surplus zakat yang diperoleh saat ekonomi booming.
2. Zakat bisa berfungsi ganda, yaitu menurunkan
tingkat permintaan kelompok kaya sehingga mampu mengerem tingkat pertambahan
harga. Di sisi lain zakat juga akan meningkatkan daya beli serta produktivitas
masyarakat miskin, sehingga jika kedua hal ini terjadi beriringan maka proses
harmonisasi kedua kelompok akan terjadi.
B.
PENUTUP
Demikianlah makalah singkat ini, kami menyadari banyaknya kekurangan didalam penyusunannya. Maka dari pada
itu kami meminta maaf dan Kami mengharapkan kepada para pembaca, teman-teman
dan Bapak Dosen Pembimbing untuk memberikan kritik dan saran agar makalah kami
ini menjadi lebih baik dimasa yang akan datang. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Malik Kamal bin
As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih SUnnah, Jakarta : Pustaka Azzam, 2006.
Daud, Drs. Kgs. H. M. M.Hi Pentingnya
reinterpretasi zakat Di tengah perubahan sosial, Palembang :
http://lazisuii.org/index.php/hikmah/artikel-zis/item/26-peran-zakat-dalam-pemulihan
dan-transformasi-ekonomi.
Manan, Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam,
Alih Bahasa M. Nastangin, Dana Bhaktiyasa,
Jakarta, tt.
Mohammad Taufiq, Qur’an in Word, ver : 1.2.0.
Yusuf Qardhawi. Fiqih
Zakat.
[2] Meski demikian, penerapan zakat
ini berbeda dampaknya dengan pajak penjualan, karena pajak penjualan dikenakan
atas harga sehingga berpengaruh pada naiknya harga barang. Sedangkan zakat
dipungut dalam bentuk unit produk sehingga tidak akan berdampak menaikkan harga
namun hanya menurunkan laba usaha.
[6] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih
Fiqih SUnnah, Jakarta : Pustaka Azzam, 2006, hal : 881-882.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar