BAB
PEMBAHASAN
A.
Kafa’ah (Sekufu)
1.
Pengertian
Kafa’ah adalah Kufu’.
Maka yang dimaksud dengan kufu' adalah bahwa
seorang laki-laki harus kufu' (seimbang) dengan wanita, di mana wanita itu
tidak dinikahi seorang laki-laki yang akan menyebabkan dirinya (wanita itu)
atau keluarganya menjadi terhina menurut kebiasaan atau tradisi masyarakat.
Sedangkan laki-laki yang menikahi
wanita yang tidak kufu' dengannya, maka hal itu tidak akan membahayakannya,
karena seorang suami akan mengangkatnya ke posisi yang sederajat dengannya.
Selain itu, wanita tersebut tidak akan menyebabkan dirinya terhina atau
ternoda. Dan anak-anak yang dilahirkan dari wanita itu pun akan mempunyai
kedudukan sosial yang dimiliki ayahnya, dan kedudukan ibunya yang tidak
sederajat dengan ayah mereka itu tidak berpengaruh pada mereka. Demikian itu
yang berlaku pada kehidupan banyak orang.
Oleh sebagian orang, kufu' ini dianggap
sebagai salah satu syarat sahnya akad nikah. Sedangkan sebagian lainnya
menganggap persetujuan wali dan calon pengantin wanita sebagai syarat sahnya
akad nikah, dan jika tidak ada persetujuan dari keduanya maka akad nikah itu
dianggap batal. Dan masih banyak lagi pendapat yang lain.
Berkenaan dengan kufu (keseimbangan)
ini, terdapat banyak pendapat. Berikut ini beberapa pendapat menyangkut masalah
kufu :
Diriwayatkan dari Imam Ahmad dalam
sebuah riwayat bawha kafa'ah (kufu) merupakan syarat sahnya nikah. Dan orang
non-Arab yang akan menikah dengan orang Arab harus dipisahkan (diceraikan)
antara keduanya. Demikian menurut pendapat Sufyan.
Mengenai orang yang meminum khamer, Imam
Ahmad mengatakan :
"Orang yang demikian itu harus
dipisahkan dari wanita yang akan dinikahinya."
Demikian halnya dengan laki-laki yang
menjadi tukang sampah atau tukang sapu, Imam Ahmad mengatakan, Juga harus
dipisahkan karena tidak adanya kafa'ah dalam pekerjaan.
Dalam pendapat yang kedua, Imam Ahmad
mengemukakan, bahwa kafa'ah itu meskipun diperlukan, tetapi is bukan sebagai
syarat sahnya nikah. Pernikahan akan tetap sahtanpa adanya kafa'ah.
Dan yang terakhir ini merupakan
pendapat mayoritas ulama, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab AI-Mughni.
Dan hal itu juga diriwayatkan dari Umar, Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz,
Ubaid bin Umair, Hamad bin Abi Sulaiman, Ibnu Sirin, Ibnu Aun, Malik, Abu
Hanifah dan Syafi'i.
Aisyah menyebutkan, bahwa Abu Hudzaifah
bin Utbah bin Rabi'ah pernah mengadopsi Salim dan menikahkannya dengan anak
perempuan saudaranya, yang bernama Hindun binti al-Walid bin Utbah, is adalah
seorang budak milik seorang wanita dari kaum Anshar." Demikian yang
diriwayatkan Bukhari.[1]
2.
Keadaan kafa’ah
Dalam hal apa sajakah kafa'ah itu
menurut para ahli fiqih? Imam Malik berpendapat, kafa'ah itu dalam hal agama
saja. Imam Syafi' juga mempunyai pendapat yang sama dengan Imam Malik.
Pendapat lain menyebutkan, bahwa
kafa'ah itu dalam enam hal, yaitu : keturunan, agama, kebebasan, pekerjaan,
usia dan terlepas dari empat aib, yakni : pernyakit kusta, penyakit sopak, gila
dan impoten.
Demikian juga pendapat Abu Hanifah,
ats-Tsauri, al-Hasan bin Hayyi kecuali dalam hal pekerjaan dan kebebasan dari
keempat aib tersebut.
Sedangkan ulama penganut madzhab
Hanbali berpendapat bahwa kafa'ah itu dalam hal-hal selain keempat aib di atas.
Para ulama telah berbeda pendapat, dan
yang kuat adalah pendapat Zaid bin Ali, Malik dan riwayat dari Umar, Ibnu
Mas'ud, Ibnu Sirin, Umar bin Abdul Aziz, dan hal itu merupakan salah satu
pendapat an-Nashir, bahwa yang paling diutamakan adalah agama. Yang demikian
itu berdasarkan firman Allah (al-hujarat : 13) :
Artinya : “Hai manusia, Sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.
Imam Bukhari memberikan isyarat yang
mengarah pada dukungan terhadap pendapat ini, di mana is mengatakan, masalah
kafa'ah itu hanya dalam agama berdasarkan firman Allah
"Dan Dialah yang menciptakan
manusia dari air.” Kesimpulan dari ayat tersebut adalah persamaan di antara
anak cucu Adam. Kemudian diikuti dengan tindakan Abu Hudzaifah dalam menikahkan
Salim dengan anak perempuan saudaranya, Hindun binti al-Walid bin Utbah bin
Rubai'ah, dan Salim adalah salah seorang budak milik seorang wanita dari kaum
Anshar. Sebagaimana di depan telah dikemukakan sebuah hadits yang menyebutkan,
"Hendaklah engkau memilih wanita yang taat beragama."[2]
B.
Pernikahan Campuran dalam Konsep Islam
dan UU perkawinan
1.
Menurut Para Ulama
Menyikapi fenomena
yang berkembang di masyarakat dewasa ini, seputar kontroversi yang sering
dikampanyekan oleh kalangan liberal, bahkan juga masuk dalam draft Kompilasi
Hukum Islam-nya Musdah Mulia, dkk, yakni pernikahan beda Agama, perlu adanya
pemaparan ulang pendapat-pendapat ulama salaf tentang hukum perkawinan campur
beda agama tersebut.
Surat Al Baqarah ayat
221 menjelaskan tentang pengharaman seorang lelaki muslim menikahi wanita
musyrik, dan seorang muslim yang menikahkan wanita muslimah dengan lelaki
musyrik. Para ulama salaf memaparkan penyebab pengharaman tersebut, karena
orang-orang musyrik selalu mengajak manusia ke arah neraka, sedangkan Allah
mengajak manusia menuju ke surga dan ampunan-Nya.
Allah SWT berfirman
(yang artinya) : "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik
sebelum mereka beriman, seseungguhnya wanita budak yang mukminah lebih baik
dari wanita musyrikah walaupun dia (wanita musyrikah) menarik hatimu dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukminah)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayatnya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran. (QS. Albaqarah : 221).
Yang tergolong
orang-orang musyrik adalah kaum Majusi (penyembah api) dan kaum paganis penyembah
berhala, seperti penganut agama Budha, Hindu, Khong Hu Cu, Shinto, dsb. Sedang
ahli kitab (penganut Nasrani dan Yahudi) tidak tergolong dalam kategori kaum
musyrikin. Dalam hal ini, mayoritas ulama berpegang teguh pada dzahir ayat 5
surat Al Maidah, yang menjelaskan tentang bolehnya seorang muslim memakan
makanan hasil penyembelihan binatang ternak oleh orang-orang ahli kitab, dan
bolehnya lelaki muslim menikahi wanita-wanita ahli kitab tersebut. Sebaliknya,
para ulama juga berpegang teguh atas keharaman wanita muslimah dikawin oleh
lelaki ahli kitab.
Sahabat Qatadah RA
juga berpendapat yang sama dalam menyikapi ayat di atas. Yang dimaksud
orang-orang musyrik, sesuai pendapatnya, adalah penganut agama yang tidak
mempunyai kitab samawi (kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah melalui para
nabi). Karena itu, Yahudi dan Nasrani tidak termasuk orang-orang musyrik, sebab
mereka mempunyai kitab samawi, yaitu Taurat dan Injil.
Pendapat sebaliknya
disampaikan oleh Sahabat Abdullah Ibnu Umar RA, beliau mengharamkan
secara mutlak pernikahan seorang muslim maupun muslimah dengan kaum Yahudi dan
Nasrani, disebabkan faktor-faktor tertentu. Diantaranya karena kaum Yahudi dan
Nasrani juga termasuk orang-orang musyrik, sebab mereka telah menganggap
nabinya sebagai putra Allah, sebagaimana ucapan orang-orang Yahudi bahwa Uzair
putra Allah, dan ucapan orang-orang Nasrani bahwa Isa putra Allah.
Allah SWT berfirman
(yang artinya) : "Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera
Allah" dan orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Maryam".
Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan
orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka
sampai berpaling?. Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib
mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih
putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa;
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa
yang merka persekutukan". (QS. At-Taubah ayat 30-31)
Pendapat sahabat
Abdullah Ibnu Umar RA ini (tentang pengharaman secara mutlak perkawinan campur
beda agama) sangat signifikan, termasuk vonis beliau bahwa kaun Yahudi dan Nasrani
termasuk orang-orang musyrik. Terlebih jika ditinjau pada konteks zaman
sekarang ini. Bagaimana tidak, mayoritas kerusakan yang ada dimuka bumi ini
dimotori oleh kaum Yahudi pada khususnya, dan `diamini` oleh kaum Nasrani.
Belum lagi, permusuhan abadi antara Zionis Yahudi dan Missionaris Nasrani
terhadap kepentingan ummat Islam.
Allah telah menegaskan
dalam firman-Nya (yang artinya) : Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah sesungguhnya
petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti
kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu maka Allah tidak lagi
menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS. Al Baqarah: 120)
Perkawinan beda Agama
yang banyak terjadi saat ini, banyak berdampak negatif pada pihak istri maupun
suami yang semula muslim menjadi murtad. Sedangkan dampak negatif yang terjadi
pada anak-anaknya adalah rawan menjadi kafir karena mengikuti orang tuanya yang
non-Muslim. Dengan alasan inilah, sebagian ulama dari kalangan ahlus sunnah wal
jama`ah, mengharamkan pernikahan campur beda agama, mengikuti pendapat sahabat
Abdullah ibnu Umar RA. Hal ini dengan hikmah agar umat Islam lebih hati-hati
dalam melestarikan keislamannya, keluarga, serta anak turunnya. Rasulullah SAW
telah mengajarkan doa demi pelestarian keislaman: Yaa muqallibal quluub,
tsabbit quluubanaa alaa diinika, "Wahai Dzat (Allah) yang berkuasa
membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami atas agama-Mu (Islam)".
Diantara penyebab pelarangan
kawin campur beda agama terutama antara wanita muslimah dengan lelaki Ahlil
Kitab, dikarenakan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu kafir dan mengajak kepada
kekufuran. Pada dasar kefitrahannya, kaum lelaki mempunyai kekuatan dan
kekuasaan terhadap wanita, sehingga kaum lelaki mampu menggiring dan
mempengaruhi wanita, untuk mengikuti keyakinan agamanya. Begitu juga anak
keturunannya, akan lebih condong mengikuti doktrin-doktrin sang ayah, apabila
sang ayah menfungsikan diri sesuai dengan nilai kefitrahannya sebagai lelaki.
Kasus kawin campur
beda agama yang terjadi baru-baru ini, adalah pernikahan pesulap Deddy Corbuzer
(Nasrani) dengan aktris Kalina Octarina (Muslimah), yang dipromotori oleh
kelompok Islam Liberal, dengan penghulu Zainun Kamal, tokoh liberal dan dosen
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta diusahakan legalitasnya oleh aktifis
Yayasan Paramadina, walau akhirnya dibatalkan oleh Menteri Agama Maftuh Basuni.
Pernikahan itu sendiri dilaksanakan di masjid lantas dilanjutkan di gereja, kemudian
dirayakakan dengan resepsi pesta hallowen.
Islam mengajarkan tata
cara pernikahanan yang benar dan baik sesuai dengan syariat, tentunya dengan
memenuhi rukun dan syaratnya. Tata cara pernikahan yang benar dan baik ini
telah banyak ditulis oleh para ulama salaf dalam kitab-kitab mereka, yang
mengacu pada Firman Allah SWT dan Hadits-Hadits Nabi SAW.
Imam Malik berujar,
"yuhdatsu lin naasi fatawa bi qadri maa ahdatsu minal fujur",
(fatwa yang disampaikan pada manusia harus diperbarui sesuai kadar perbuatan
dosa model baru yang mereka lakukan). Untuk itu perlu dipertimbangkan lagi
pembolehan kawin campur lelaki muslim dengan wanita ahlil kitab (Yahudi dan
Nasrani) karena banyaknya kaum lelaki yang lemah di dalam menfungsikan diri
sebagai pemimpin absolut dalam membina keluarga, khususnya untuk menjaga
keislaman keturunannya. Realitas kerawanan yang terjadi pada kawin campur ini
adalah anak tidak secara otomatis akan masuk Islam mengikuti ayahnya, bahkan
yang sering terjadi justru mengikuti kekafiran ibunya, dengan memeluk Yahudi
atan Nasrani.
Secara eksplisit Nabi
Muhammad SAW telah mengingatkan umat untuk berhati-hati dalam melaksanakan
pernikahan yang akan berpengaruh terhadap keturunan yang dilahirkan dalam sabda
beliau : Kullu mauludin yuuladu `alal fitrah (Setiap bayi itu dilahirkan atas
kefitrahan (Islam) hingga kedua orangtuanyalah yang menjadikan ia Yahudi atau
Nasrani atau Majusi (kaum paganis).
Karena itu alangkah
tepat apabila ummat Islam dewasa ini memutuskan untuk melaksanakan fatwa sahabat
Abdullah Ibnu Umar RA, beliau mengatakan bahwa kawin campur beda agama hukumnya
haram secara mutlak, tanpa pengecualian, demi memperoleh keturunan yang
muslim-muslimah, mukmin-mukminah, dan shalih- shalihah. Maka salah satu
poin fatwa MUI hasil Munas VII di Jakarta tanggal 26-29 Juli 2005 tentang
pengharaman kawin beda agama, adalah pernyataan sikap yang sudah sesuai dengan
syariat Islam.
Allah memperbolehkan seseorang menikahi
perempuan ahli Kitab, yaitu wanita yahudi dan nashrani dengan tetap memeluk agama
masing-masing :
Artinya : “Pada hari ini Dihalalkan
bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk
orang-orang merugi. (al-Maidah : 5).
Demikianlah ketentuan yang disyariatkan
Allah agar dakwah kepada ahli Kitab dilakukan dengan perbuatan. Agama
memperbolehkan seorang muslim menikahi perempuan kitabiyah, karena dengan
perkawinan itu akan memperkokoh tali kekeluargaan dengan keluarga ahli Kitab.[3]
Sebelum ini kita telah membicarakan
hukum mengenai halalnya perempuan kitabiyah, seperti yang ditetapkan oleh Allah
dalam Qur'an.
Kita belum membicarakan tentang halal
atau haramnya perempuan muslimah bagi laki-laki ahli Kitab. Al-Qur'an hanya
menyebutkan tentang halalnya perempuan kitabiyah bagi laki-laki muslim tetapi
Al-Qur'an tidak menyebut-nyebut tentang halalnya perempuan muslimah bagi
laki-laki kitabi. dengan alasan apa, maka para ulama mengharamkannya?
Pertama, dengan firman Allah:
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan
terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu
kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang)
beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan
(kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan
membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan
di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan
kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
(an-Nisa : 141).
Orang-orang ahli Kitab meskipun mereka
menganut agama samawi tetapi mereka telah mengubahnya menyelengkan ajarannya
dan tidak beriman dengan KeNabian Muhammad s.a.w., maka dianggap kafir. Seorang
perempuan bila kawin dengan laki-laki lain dikhawatirkan atau terpengaruh oleh
kekuasaan suaminya, akan berubah agamanya, lebih-lebih apabila suaminya itu
lebih pintar dari isterinya seperti yang banyak terjadi dewasa ini, mereka
akhirnya akan ragu terhadap kebenaran Islam kemudian akan murtad, baik atas
kemauannya sendiri atau karena terpaksa.
Kedua, beralasan dengan ijmak kaum muslimin di masa Rasulullah
s.a.w. dan diikuti oleh para tabi'in dan tabi tabi'in. Sampai sekarang orang
tetap mengharamkar perkawinan perempuan Islam dengan laki-laki kitabi. Kita
tidak pernah mendengar dari sejarah tentang adanya laki-laki Kitabi yang kawin
dengan perempuan muslimah secara suka rela dan atas pilihan masing-masing dan
disetuju walinya meskipun wali itu menikahkan secara terpaksa atau buta tentang
Islam.[4]
C.
UU Perkawinan
Pasal 56
(1). Perkawinan yang dilangsungkan di
luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara
Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi
warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
(2). Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah
suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka
harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
Bagian Ketiga
Perkawinan
Campuran
Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan
campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia
Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan
kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh
kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan
kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang
kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Pasal 59
(1). Kewarganegaraan yang diperoleh
sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang
berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.
(2). Perkawinan campuran yang
dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini
Pasal 60
(1). Perkawinan campuran tidak dapat
dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan
oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
(2). Untuk membuktikan bahwa
syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada
rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang
menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat
perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
(3). Jika pejabat yang bersangkutan
menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang
berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta
tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian
surat keterangan itu beralasan atau tidak.
(4). Jika Pengadilan memutuskan bahwa
penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang
tersebut ayat (3).
(5). Surat keterangan atau keputusan
pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak
dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
Pasal 61
(1). Perkawinan campuran dicatat oleh
pegawai pencatat yang berwenang.
(2). Barang siapa melangsungkan
perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat
yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang
disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
(3). Pegawai pencatat perkawinan yang
mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan
pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya
3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.[5]
DAFTAR PUSTAKA
Al-hamdani, H.S.A., Risalah Nikah, Jakarta : Pustaka
http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=santri&var=detail&id=36
Syaikh hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Jakarta Timur, Pustaka
al-Kautsar, 2008.
UU No. 1 tahun 1974.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar