Selasa, 25 Juni 2013

Makalah-Munakahat-"Kafa’ah (Sekufu) | Pernikahan Campuran dalam Konsep Islam dan UU perkawinan"



BAB
PEMBAHASAN


A.    Kafa’ah (Sekufu)
1.      Pengertian
Kafa’ah adalah Kufu’. Maka yang dimaksud dengan kufu' adalah bahwa seorang laki-laki harus kufu' (seimbang) dengan wanita, di mana wanita itu tidak dinikahi seorang laki-laki yang akan menyebabkan dirinya (wanita itu) atau keluarganya menjadi terhina menurut kebiasaan atau tradisi masyarakat.
Sedangkan laki-laki yang menikahi wanita yang tidak kufu' dengannya, maka hal itu tidak akan membahayakannya, karena seorang suami akan mengangkatnya ke posisi yang sederajat dengannya. Selain itu, wanita tersebut tidak akan menyebabkan dirinya terhina atau ternoda. Dan anak-anak yang dilahirkan dari wanita itu pun akan mempunyai kedudukan sosial yang dimiliki ayahnya, dan kedudukan ibunya yang tidak sederajat dengan ayah mereka itu tidak berpengaruh pada mereka. Demikian itu yang berlaku pada kehidupan banyak orang.
Oleh sebagian orang, kufu' ini dianggap sebagai salah satu syarat sahnya akad nikah. Sedangkan sebagian lainnya menganggap persetujuan wali dan calon pengantin wanita sebagai syarat sahnya akad nikah, dan jika tidak ada persetujuan dari keduanya maka akad nikah itu dianggap batal. Dan masih banyak lagi pendapat yang lain.
Berkenaan dengan kufu (keseimbangan) ini, terdapat banyak pendapat. Berikut ini beberapa pendapat menyangkut masalah kufu :
Diriwayatkan dari Imam Ahmad dalam sebuah riwayat bawha kafa'ah (kufu) merupakan syarat sahnya nikah. Dan orang non-Arab yang akan menikah dengan orang Arab harus dipisahkan (diceraikan) antara keduanya. Demikian menurut pendapat Sufyan.
Mengenai orang yang meminum khamer, Imam Ahmad mengatakan :
"Orang yang demikian itu harus dipisahkan dari wanita yang akan dinikahinya."
Demikian halnya dengan laki-laki yang menjadi tukang sampah atau tukang sapu, Imam Ahmad mengatakan, Juga harus dipisahkan karena tidak adanya kafa'ah dalam pekerjaan.
Dalam pendapat yang kedua, Imam Ahmad mengemukakan, bahwa kafa'ah itu meskipun diperlukan, tetapi is bukan sebagai syarat sahnya nikah. Pernikahan akan tetap sahtanpa adanya kafa'ah.
Dan yang terakhir ini merupakan pendapat mayoritas ulama, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab AI-Mughni. Dan hal itu juga diriwayatkan dari Umar, Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz, Ubaid bin Umair, Hamad bin Abi Sulaiman, Ibnu Sirin, Ibnu Aun, Malik, Abu Hanifah dan Syafi'i.
Aisyah menyebutkan, bahwa Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi'ah pernah mengadopsi Salim dan menikahkannya dengan anak perempuan saudaranya, yang bernama Hindun binti al-Walid bin Utbah, is adalah seorang budak milik seorang wanita dari kaum Anshar." Demikian yang diriwayatkan Bukhari.[1]

2.      Keadaan kafa’ah
Dalam hal apa sajakah kafa'ah itu menurut para ahli fiqih? Imam Malik berpendapat, kafa'ah itu dalam hal agama saja. Imam Syafi' juga mempunyai pendapat yang sama dengan Imam Malik.
Pendapat lain menyebutkan, bahwa kafa'ah itu dalam enam hal, yaitu : keturunan, agama, kebebasan, pekerjaan, usia dan terlepas dari empat aib, yakni : pernyakit kusta, penyakit sopak, gila dan impoten.
Demikian juga pendapat Abu Hanifah, ats-Tsauri, al-Hasan bin Hayyi kecuali dalam hal pekerjaan dan kebebasan dari keempat aib tersebut.
Sedangkan ulama penganut madzhab Hanbali berpendapat bahwa kafa'ah itu dalam hal-hal selain keempat aib di atas.
Para ulama telah berbeda pendapat, dan yang kuat adalah pendapat Zaid bin Ali, Malik dan riwayat dari Umar, Ibnu Mas'ud, Ibnu Sirin, Umar bin Abdul Aziz, dan hal itu merupakan salah satu pendapat an-Nashir, bahwa yang paling diutamakan adalah agama. Yang demikian itu berdasarkan firman Allah (al-hujarat : 13) :


Artinya : “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Imam Bukhari memberikan isyarat yang mengarah pada dukungan terhadap pendapat ini, di mana is mengatakan, masalah kafa'ah itu hanya dalam agama berdasarkan firman Allah
"Dan Dialah yang menciptakan manusia dari air.” Kesimpulan dari ayat tersebut adalah persamaan di antara anak cucu Adam. Kemudian diikuti dengan tindakan Abu Hudzaifah dalam menikahkan Salim dengan anak perempuan saudaranya, Hindun binti al-Walid bin Utbah bin Rubai'ah, dan Salim adalah salah seorang budak milik seorang wanita dari kaum Anshar. Sebagaimana di depan telah dikemukakan sebuah hadits yang menyebutkan, "Hendaklah engkau memilih wanita yang taat beragama."[2]

B.     Pernikahan Campuran dalam Konsep Islam dan UU perkawinan
1.      Menurut Para Ulama
Menyikapi fenomena yang berkembang di masyarakat dewasa ini, seputar kontroversi yang sering dikampanyekan oleh kalangan liberal, bahkan juga masuk dalam draft Kompilasi Hukum Islam-nya Musdah Mulia, dkk, yakni pernikahan beda Agama, perlu adanya pemaparan ulang pendapat-pendapat ulama salaf tentang hukum perkawinan campur beda agama tersebut.
Surat Al Baqarah ayat 221 menjelaskan tentang pengharaman seorang lelaki muslim menikahi wanita musyrik, dan seorang muslim yang menikahkan wanita muslimah dengan lelaki musyrik. Para ulama salaf memaparkan penyebab pengharaman tersebut, karena orang-orang musyrik selalu mengajak manusia ke arah neraka, sedangkan Allah mengajak manusia menuju ke surga dan ampunan-Nya.
Allah SWT berfirman (yang artinya) : "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman, seseungguhnya wanita budak yang mukminah lebih baik dari wanita musyrikah walaupun dia (wanita musyrikah) menarik hatimu dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukminah) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatnya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Albaqarah : 221).
Yang tergolong orang-orang musyrik adalah kaum Majusi (penyembah api) dan kaum paganis penyembah berhala, seperti penganut agama Budha, Hindu, Khong Hu Cu, Shinto, dsb. Sedang ahli kitab (penganut Nasrani dan Yahudi) tidak tergolong dalam kategori kaum musyrikin. Dalam hal ini, mayoritas ulama berpegang teguh pada dzahir ayat 5 surat Al Maidah,  yang menjelaskan tentang bolehnya seorang muslim memakan makanan hasil penyembelihan binatang ternak oleh orang-orang ahli kitab, dan bolehnya lelaki muslim menikahi wanita-wanita ahli kitab tersebut. Sebaliknya, para ulama juga berpegang teguh atas keharaman wanita muslimah dikawin oleh lelaki ahli kitab.
Sahabat Qatadah RA juga berpendapat yang sama dalam menyikapi ayat di atas. Yang dimaksud orang-orang musyrik, sesuai pendapatnya, adalah penganut agama yang tidak mempunyai kitab samawi (kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah melalui para nabi). Karena itu, Yahudi dan Nasrani tidak termasuk orang-orang musyrik, sebab mereka mempunyai kitab samawi, yaitu Taurat dan Injil.
Pendapat sebaliknya disampaikan oleh Sahabat Abdullah Ibnu Umar RA, beliau  mengharamkan secara mutlak pernikahan seorang muslim maupun muslimah dengan kaum Yahudi dan Nasrani, disebabkan faktor-faktor tertentu. Diantaranya karena kaum Yahudi dan Nasrani juga termasuk orang-orang musyrik, sebab mereka telah menganggap nabinya sebagai putra Allah, sebagaimana ucapan orang-orang Yahudi bahwa Uzair putra Allah, dan ucapan orang-orang Nasrani bahwa Isa putra Allah.
Allah SWT berfirman (yang artinya) : "Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Maryam". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?. Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang merka persekutukan". (QS. At-Taubah ayat 30-31)
Pendapat sahabat Abdullah Ibnu Umar RA ini (tentang pengharaman secara mutlak perkawinan campur beda agama) sangat signifikan, termasuk vonis beliau bahwa kaun Yahudi dan Nasrani termasuk orang-orang musyrik. Terlebih jika ditinjau pada konteks zaman sekarang ini. Bagaimana tidak, mayoritas kerusakan yang ada dimuka bumi ini dimotori oleh kaum Yahudi pada khususnya, dan `diamini` oleh kaum Nasrani. Belum lagi, permusuhan abadi antara Zionis Yahudi dan Missionaris Nasrani terhadap kepentingan ummat Islam.
Allah telah menegaskan dalam firman-Nya (yang artinya) : Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS. Al Baqarah: 120)
Perkawinan beda Agama yang banyak terjadi saat ini, banyak berdampak negatif pada pihak istri maupun suami yang semula muslim menjadi murtad. Sedangkan dampak negatif yang terjadi pada anak-anaknya adalah rawan menjadi kafir karena mengikuti orang tuanya yang non-Muslim. Dengan alasan inilah, sebagian ulama dari kalangan ahlus sunnah wal jama`ah, mengharamkan pernikahan campur beda agama, mengikuti pendapat sahabat Abdullah ibnu Umar RA. Hal ini dengan hikmah agar umat Islam lebih hati-hati dalam melestarikan keislamannya, keluarga, serta anak turunnya. Rasulullah SAW telah mengajarkan doa demi pelestarian keislaman: Yaa muqallibal quluub, tsabbit quluubanaa alaa diinika,  "Wahai Dzat (Allah) yang berkuasa membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami atas agama-Mu (Islam)".
Diantara penyebab pelarangan kawin campur beda agama terutama antara wanita muslimah dengan lelaki Ahlil Kitab, dikarenakan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu kafir dan mengajak kepada kekufuran. Pada dasar kefitrahannya, kaum lelaki mempunyai kekuatan dan kekuasaan terhadap wanita, sehingga kaum lelaki mampu menggiring dan mempengaruhi wanita, untuk mengikuti keyakinan agamanya. Begitu juga anak keturunannya, akan lebih condong mengikuti doktrin-doktrin sang ayah, apabila sang ayah menfungsikan diri sesuai dengan nilai kefitrahannya sebagai lelaki.
Kasus kawin campur beda agama yang terjadi baru-baru ini, adalah pernikahan pesulap Deddy Corbuzer (Nasrani) dengan aktris Kalina Octarina (Muslimah), yang dipromotori oleh kelompok Islam Liberal, dengan penghulu Zainun Kamal, tokoh liberal dan dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta diusahakan legalitasnya oleh aktifis Yayasan Paramadina, walau akhirnya dibatalkan oleh Menteri Agama Maftuh Basuni. Pernikahan itu sendiri dilaksanakan di masjid lantas dilanjutkan di gereja, kemudian dirayakakan dengan resepsi pesta hallowen.
Islam mengajarkan tata cara pernikahanan yang benar dan baik sesuai dengan syariat, tentunya dengan memenuhi rukun dan syaratnya. Tata cara pernikahan yang benar dan baik ini telah banyak ditulis oleh para ulama salaf dalam kitab-kitab mereka, yang  mengacu pada Firman Allah SWT dan Hadits-Hadits Nabi SAW. 
Imam Malik berujar, "yuhdatsu lin naasi fatawa bi qadri maa ahdatsu minal fujur",  (fatwa yang disampaikan pada manusia harus diperbarui sesuai kadar perbuatan dosa model baru yang mereka lakukan). Untuk itu perlu dipertimbangkan lagi pembolehan kawin campur lelaki muslim dengan wanita ahlil kitab (Yahudi dan Nasrani) karena banyaknya kaum lelaki yang lemah di dalam menfungsikan diri sebagai pemimpin absolut dalam membina keluarga, khususnya untuk menjaga keislaman keturunannya. Realitas kerawanan yang terjadi pada kawin campur ini adalah anak tidak secara otomatis akan masuk Islam mengikuti ayahnya, bahkan yang sering terjadi justru mengikuti kekafiran ibunya, dengan memeluk Yahudi atan Nasrani.
Secara eksplisit Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan umat untuk berhati-hati dalam melaksanakan pernikahan yang akan berpengaruh terhadap keturunan yang dilahirkan dalam sabda beliau : Kullu mauludin yuuladu `alal fitrah (Setiap bayi itu dilahirkan atas kefitrahan (Islam) hingga kedua orangtuanyalah yang menjadikan ia Yahudi atau Nasrani atau Majusi (kaum paganis).
Karena itu alangkah tepat apabila ummat Islam dewasa ini memutuskan untuk melaksanakan fatwa sahabat Abdullah Ibnu Umar RA, beliau mengatakan bahwa kawin campur beda agama hukumnya haram secara mutlak, tanpa pengecualian, demi memperoleh keturunan yang muslim-muslimah, mukmin-mukminah, dan shalih- shalihah.  Maka salah satu poin fatwa MUI hasil Munas VII di Jakarta tanggal 26-29 Juli 2005 tentang pengharaman kawin beda agama, adalah pernyataan sikap yang sudah sesuai dengan syariat Islam.
Allah memperbolehkan seseorang menikahi perempuan ahli Kitab, yaitu wanita yahudi dan nashrani dengan tetap memeluk agama masing-masing :

Artinya : “Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi. (al-Maidah : 5).

Demikianlah ketentuan yang disyariatkan Allah agar dakwah kepada ahli Kitab dilakukan dengan perbuatan. Agama memperbolehkan seorang muslim menikahi perempuan kitabiyah, karena dengan perkawinan itu akan memperkokoh tali kekeluargaan dengan keluarga ahli Kitab.[3]
Sebelum ini kita telah membicarakan hukum mengenai halalnya perempuan kitabiyah, seperti yang ditetapkan oleh Allah dalam Qur'an.
Kita belum membicarakan tentang halal atau haramnya perempuan muslimah bagi laki-laki ahli Kitab. Al-Qur'an hanya menyebutkan tentang halalnya perempuan kitabiyah bagi laki-laki muslim tetapi Al-Qur'an tidak menyebut-nyebut tentang halalnya perempuan muslimah bagi laki-laki kitabi. dengan alasan apa, maka para ulama mengharamkannya?
Pertama, dengan firman Allah:
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (an-Nisa : 141).

Orang-orang ahli Kitab meskipun mereka menganut agama samawi tetapi mereka telah mengubahnya menyelengkan ajarannya dan tidak beriman dengan KeNabian Muhammad s.a.w., maka dianggap kafir. Seorang perempuan bila kawin dengan laki-laki lain dikhawatirkan atau terpengaruh oleh kekuasaan suaminya, akan berubah agamanya, lebih-lebih apabila suaminya itu lebih pintar dari isterinya seperti yang banyak terjadi dewasa ini, mereka akhirnya akan ragu terhadap kebenaran Islam kemudian akan murtad, baik atas kemauannya sendiri atau karena terpaksa.
Kedua, beralasan dengan ijmak kaum muslimin di masa Rasulullah s.a.w. dan diikuti oleh para tabi'in dan tabi tabi'in. Sampai sekarang orang tetap mengharamkar perkawinan perempuan Islam dengan laki-laki kitabi. Kita tidak pernah mendengar dari sejarah tentang adanya laki-laki Kitabi yang kawin dengan perempuan muslimah secara suka rela dan atas pilihan masing-masing dan disetuju walinya meskipun wali itu menikahkan secara terpaksa atau buta tentang Islam.[4]

C.    UU Perkawinan
Pasal 56
(1). Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
(2). Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
Bagian Ketiga
Perkawinan Campuran
Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia
Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Pasal 59
(1). Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.
(2). Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini
Pasal 60
(1). Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
(2). Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
(3). Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
(4). Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).
(5). Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
Pasal 61
(1). Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
(2). Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
(3). Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.[5]

DAFTAR PUSTAKA


Al-hamdani, H.S.A., Risalah Nikah, Jakarta : Pustaka
http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=santri&var=detail&id=36
Syaikh hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Jakarta Timur, Pustaka al-Kautsar, 2008.
UU No. 1 tahun 1974.



[1] Syaikh hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Jakarta Timur, Pustaka al-Kautsar, 2008, hal : 61-62.
[2] Ibid, hal : 63-65.
[3] Al-hamdani, Risalah Nikah, Jakarta : Pustaka Amani, 2002, hal : 50.
[4] Ibid, hal : 53-54.
[5] UU No. 1 tahun 1974

Tidak ada komentar:

Posting Komentar