BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
MASALAH
Kerajaan Turki Usmani muncul di saat Islam
berada dalam era kemunduran pertama. Berawal dari kerajaan kecil, lalu
mengalami perkembangan pesat, dan akhirnya sempat diakui sebagai negara
adikuasa pada masanya dengan wilayah kekuasaan yang meliputi bagian utara
Afrika, bagian barat Asia dan Eropa bagian Timur.
Masa pemerintahannya berjalan dalam rentang waktu yang cukup panjang sejak tahun
1299 M-1924 M. Kurang lebih enam abad (600 tahun).
Dalam rentang waktu yang demikian panjang
kerajaan Turki Usmani mengalami dinamika yang selalu menghadirkan format dan
ciri khas yang baru dalam pemerintahan, bahkan merupakan penyelamat dan bebas
dunia Islam dari kekacauan yang berkepanjangan terutama di bidang hukum, karena
sebagaimana diketahui, bahwa pemerintahan Turki Usmani tidak hanya terbatas
pada kekuasaan dan wilayah, tapi juga meliputi bidang agama.
Pada periode berikutnya, kerajaan Turki Usmani
yang berpijak kepada Syari’at Islam mulai bergeser menjadi hukum sekuler, ini
terjadi pada akhir abad-19 tepatnya pada era tanzimat (1839-1876) ketika
terjadi persentuhan budaya timur (Islam) dengan budaya Barat (Eropa).
piagam Era tanzimat merupakan gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki
Usmani, yang pada hakikatnya berintikan upaya pemerintah Turki Usmani untuk
melakukan perbaikan dalam tata aturan perundangan di segala bidang, dan salah
satu hukum yang disusun Majallah al-Ahkam al-Adliyahi (1876 M) di
samping Gulhane dan Humayun. Untuk mengetahui lebih jauh tentang perkembangan
hukum Islam pada masa Turki Usmani makalah sederhana ini mencoba menguraikan,
dengan pokok pembahasan; Sekilas tentang Turki Usmani, Sebelum Tanzimat, Era
Tanzimat, Majallah al-Ahkam al-Adliyah dan sesudah tanzimat.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Adapun rumusan
dari masalah ini adalah :
1.
Bagaimana kondisi Tasyri’ pada masa
jatuhnya Baghdad sampai jayanya kerajaan Turki ustmani?
2.
Apa itu Majallah Al-Ahkam
Al-Adliyah?
C.
TUJUAN
Kemudian,
tujuan dari penulisan makalah ini, adalah :
1.
Mengetahui kondisi Tasyri’ pada
masa jatuhnya Baghdad sampai jayanya kerajaan Turki ustmani
2.
Mengetahui Majallah Al-Ahkam
Al-Adliyah
D.
METODE
PENULISAN
Adapun metode yang digunakan penulis dalam
penulisan makalah ini adalah dengan mengumpul bahan-bahan dan mengacu kepada
buku-buku yang terkait dengan masalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Keadaan Ummat
Islam ketika runtuhnya Kerajaan Baghdad
Pada masa ini
banyak timbul permasalahan
B.
Sekilas
Tentang Turki Ustmani
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari
kabilah Oghuz yang
mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu lebih
kurang tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka
masuk Islam sekitar abad ke sembilan atau ke sepuluh ketika menetap di Asia
Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M bangsa
Turki dengan dipimpin Artogol melarikan diri menuju dinasti Saljuk untuk
mengabdi pada penguasa yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Alauddin II.
Artogol dan pasukannya bersekutu dengan
pasukan Saljuk membantu Sultan Alauddin II berperang menyerang Bizantium, dan
usaha ini berhasil, artinya pasukan Saljuk mendapat kemenangan. Atas jasa
baiknya itu Sultan Alauddin II menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang
berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu bangsa Turki terus membina wilayah
barunya dan memilih Kota Syukud sebagai ibu kota. Pada tahun 1289 M Artogol
meninggal dunia. Kepemimpinan- nya dilanjutkan oleh putranya, Usman. Putra
Artogol inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani, beliau memerintah
tahun 1290-1326
M. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak berjasa pada Sultan Alauddin II, dengan
keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium.
Pada tahun 1300 M, Bangsa Mongol menyerang
kerajaan Saljuk dan Sultan Alauddin II terbunuh. Kerajaan Saljuk kemudian
terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan
dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Turki
Usmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering disebut
Usman I. Dalam perkembangannya, Turki Usmani melewati beberapa periode
kepemimpinan. Sejak berdiri tahun 1299 M yang dipimpin oleh Usman I Ibn Artogol
(1299-1326 M) berakhir dengan Mahmud II Ibn Majib (1918-1922 M). Dan dalam
perjalanan sejarah selanjutnya Turki Usmani merupakan salah satu dari tiga
kerajaan besar yang membawa kemajuan dalam Islam.
Di dalam terjemahan buku Tarikh
Tasyri’ Al-Islam Karangan Khudari Bek dikatakan bahwa Unsur turki adalah
suatu unsur yang besar sekali yang terdiri beberapa kabilah yang berbeda-beda,
setelah menyiapkan sarana-sarana berkelana ia jelajahi negeri-negeri Islam
untuk menguasainya sebagai tamabahan atas negeri asalnya.
C.
Sebelum
Tanzimat
Sebagaimana diketahui Kerajaan Turki Usmani
dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan temporal atau dunia dan
kekuasaan spritual atau rohani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai titel
Sultan dan sebagai kepala rohani umat Islam ia memakai gelar Khalifah. Dengan
demikian Raja Usmani mempunyai dua bentuk kekuasaan, kekuasaan memerintah
negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela Islam.
Dalam melaksanakan kedua kekuasaan di atas
Sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi sadrazam untuk urusan
pemerintahan dan syaikh al-Islam untuk urusan keagamaan. Keduanya tidak
mempunyai banyak suara dalam soal pemerintahan dan hanya melaksanakan perintah
Sultan. Dikala Sultan berhalangan atau berpergian ia digantikan sadrazam dalam
menjalankan pemerintahan. Syaikh al-Islam yang mengurus bidang keagamaan
dibantu oleh qadhi askar al-rumali yang membawahi qadhi-qadhi wilayah
Usamniyah bagian Eropa, sedang qadhi askar anduly membawahi qadhi-qadhi
wilayah Usmaniyah di Asia dan Mesir.
Dalam melaksanakan tugasnya para qadhi
tersebut merujuk kepada mazhab Hanafi. Hal ini yang disebabkan mazhab yang
dipakai oleh Sultan adalah mazhab Hanafi. Bentuk-bentuk peradilan pada masa ini
:
1.
Mahkamah
Biasa/Rendah (al-Juziyat), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara
pidana dan perdata.
2.
Mahkamah
Banding (Mahkamah al-Isti’naf), yang bertugas meneliti dan mengkaji
perkara yang berlaku.
3.
Mahkamah Tinggi (Mahkamah
al-Tamayz au al-Naqd wa al-Ibram), yang bertugas memecat para qadhi yang
terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
4.
Mahkamah
Agung (Mahkamah al-Isti’naf al-Ulya), yang langsung di bawah pengawasan
Sultan.
Lembaga peradilan (qadha’) pada masa ini belum
berjalan dengan baik, karena terdapat intervensi dari pemerintah, bahkan sistem
peradilan dikuasai oleh kroni-kroni dan pejabat pemerintah. Jadi belum tampak
dengan jelas pemisahan antara urusan agama dan pemerintahan.
D.
Masa Tanzimat (1839-1876 M)
Secara etimologi tanzimat berasal dari kata nazhzhama-yunazhzhimu-tanzhimat,
yang berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki.
Term ini dimaksudkan untuk menggambarkan seluruh gerakan pembaharuan yang
terjadi di Turki Usmani pada pertengahan abad ke-19. Gerakan ini ditandai
dengan munculnya sejumlah tokoh pembaharuan Turki Usmani yang belajar dari
Barat yaitu bidang pemerintahan, hukum, administrasi, pendidikan, keuangan,
perdagangan dan sebagainya.
Tanzimat merupakan suatu gerakan pembaharuan
sebagai kelanjutan dari kemajuan yang telah dilakukan oleh Sultan Sulaiman
(1520-1566 M) yang termasyhur dengan nama al-Qanuni. Namun pembaharuan
yang sebenarnya lebih membekas dan berpengaruh pada masa Sultan Mahmud II
(1808-1839 M). Ia memusatkan perhatiannya pada berbagai perubahan internal
diantaranya dalam organisasi pemerintahan dan hukum.
Sultan Mahmud II juga dikenal sebagai Sultan
yang pertama kali dengan tegas mengadakan perbedaan antara urusan agama dan
urusan dunia. Urusan agama diatur oleh syari’at Islam (tasyr’ al-dini) dan
urusan dunia diatur oleh hukum yang bukan syari’at (tasyri’ madani).
Hukum syari’at terletak di bawah kekuasaan syaikh al-Islam, sedangkan
hukum bukan syari’at diserahkan kepada dewan perancang hukum untuk mengaturnya,
hukum yang bukan syari’at ini diadopsi dari Eropa, Perancis dan negeri asing
lainnya. Diantaranya adalah: al-Nizham al-Qadha al-Madani (Undang-undang
Peradilan Perdata).
Dengan penerapan al-Nizham al-Qadha
al-madani (Undang-undang Peradilan Perdata) dalam peradilan muncul Mahkamah
al-Nizhamiyah yang terdiri dari Qadha al-Madani (Peradilan Perdata)
dan Qadha-Syar’i (Peradilan gama ). Dikotomi lembaga peradilan pada masa
Sultan Mahmud II memberikan indikasi sudah adanya pemisahan urusan agama dan
urusan dunia. Kemunculan tanzimat
dilatar belakangi oleh: Khusus bidang hukum terjadinya persentuhan hukum Barat
dan hukum Islam. Muncul para tokoh tanzimat
yang ingin membatasi kekuasaan Sultan yang absolut.
Disamping itu pada masa ini kondisi masyarakat
terdiri dari tiga lapisan yaitu:
Tradisional,
yang mempertahankan dan membangun pemikiran berdasarkan fiqh dan berpijak pada
mazhab yang ada. Karena fiqh dianggap telah mapan dan sempurna sehingga mereka
berpendapat mazhab ini harus dikembangkan dan disosialisasikan.
Modernisme, yang
menawarkan agar fiqh perlu diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan kondisi
sosial budaya masyarakat.
Reformasi,
melontarkan gagasan, bahwa fiqh yang ada tidak mampu merespon berbagai
perkembangan yang muncul sebagai akses perkembangan zaman dan kebutuhan manusia
yang multi dimensionalitas. Oleh karena itu diperlukan fiqh baru, yang
menafsirkan nash secara kontekstual.
Mungkin saja keadaan masyarakat ini juga
mempengaruhi munculnya pembaharuan lebih-lebih lapisan modernisme dan
reformasi. Realisasi pembaharuan ini dimulai dengan diumumkannya Piagam Gulhane
(Khatt-i Syarif Gulhane) pada tanggal 3 Nopember 1839 M, kemudian
ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Piagam Humayun (Khatt-i Syarif
al-Humayun) pada tahun 1856 M. Gerakan ini terjadi pada masa Sultan Abdul
Majid (1839-1861 M) putra Sultan Mahmud II. Piagam Gulhane berisikan berbagai
bentuk perubahan yang pada masa permulaan kerajan Turki Usmani, syari’at Islam
dan Undang-undang Negara dipatuhi, sehingga negara menjadi kokoh dan kuat.
Untuk kembali pada masa tersebut, maka perlu
diadakan perubahan-perubahan yang membawa kepada pemerintahan yang baik, yaitu:
1.
Terjaminnya
ketentraman hidup, harta kehormatan dan warga negara.
2.
Peraturan
mengenai pemungutan pajak.
3.
Peraturan
mengenai kewajiban dan lamanya dinas meliter.
Selanjutnya dijelaskan bahwa tertuduh akan
diadili secara terbuka dan sebelum pengadilan pelaksanaan hukuman mati dengan
racun dan jalan lain tidak dibolehkan. Pelanggaran terhadap kehormatan
seseorang juga tidak diperkenankan. Hak milik terhadap harta dijamin dan tiap
orang mempunyai kebebasan terhadap harta yang dimilikinya. Ahli waris dari yang
kena hukuman pidana tidak boleh dicabut haknya untuk mewarisi, dan demikian
pula harta yang kena hukuman pidana tidak boleh disita.
Melihat muatan Piagam Gulhane ini terlihat
adanya usaha pembaharua untuk melakukan rekonsiliasi antar muslim tradisional
dengan kemajuan, serta institusi-institusi baru yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam, bahkan bisa menampung kebutuhan mereka. Menjamin keamanan hidup,
ketenangan, jaminan kepemilikan. Satu hal yang penting dalam piagam ini adalah
adanya ketentuan bahwa aturan-aturan itu berlaku untuk semua lapisan masyarakat
dan semua golongan agama tanpa ada pengecualian. Atas dasar piagam ini, maka
terjadi beberapa pembaharuan dalam berbagai institusi kemasyarakan Turki
Usmani. Diantaranya dalam bidang hukum dirumuskannya kodifikasi hukum perdata
oleh Majelis Ahkam al-Adliyah dan hukum pidana. Sedang dibidang
pemerintahan adanya sistem musyawarah dan di bidang pendidikan adanya pemisahan
antara pendidikan umum dan agama, serta kekuasaan pendidikan umum dilepaskan
dari kekuasaan ulama.
Pada
masa ini mulai masuk pengaruh sistem pendidikan Barat. Agaknya sejak saat ini
pemisahan pendidikan antara hukum dan agama ini berlaku sampai sekarang.
Selanjutnya pada tahun 1856M
Sultan Abdul Majid mengumumkan belakunya piagam Humayun yang lebih banyak
mengandung pembaharuan terhadap kedudukan orang Eropa dan non muslim yang
berada di bawah kekuasaan Turki Usmani,
sehingga antara orang Eropa dan rakyat Islam Turki tidak ada perbedaan lagi
artinya mereka mempunyai hak yang sama dalam hukum. Walaupun piagam Humayun
dikeluarkan untuk memperkuat keberadaan piagam Gulhane, namun jika diperhatikan
lebih jauh piagam ini memberikan hak dan jaminan kepada bangsa Eropa untuk
semakin memantapkan keberadaan di Turki Usmani. Sikap pro-Barat ini pada
akhirnya membawa kelemahan terhadap kerajaan Turki Usmani dalam menghadapi Eropa.
Dapat
dipahami bahwa perkembangan tasyri’ pada masa tanzimat di kerajaan Turki Usmani
banyak dipengaruhi oleh hukum dari Barat, artinya telah bercampur hukum Islam
dengan hukum Barat. Sedangkan Piagam Gulhane menyatakan penghargaan tinggi pada
syari’at Islam tetapi juga mengakui perlunya diadakan sistem baru. Hukum baru
yang disusun banyak dipengaruhi oleh hukum Barat. Apalagi piagam Humayun yang
secara tegas diperlakukan untuk non Islam dan Eropa.
Pada masa ini telah ditetapkan pedoman hakim
dalam menetapkan hukum, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Dusturiyah
pada tahun 1293 H/1877 M. Sehingga terhindar dari hawa nafsu dan keinginan
pribadi dalam menetapkan hukum. Dan juga didirikan Mahkamah al-Tamyiz
(al-Naqdu) yang merupakan lembaga yang diberi wewenang untuk memecat para
qadhi yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum, karena dianggap tidak
melaksanakan tugas sesuai yang ditetapkan. Namun pada akhirnya lembaga yang
didirikan serta undang-undang yang berlaku sebagaimana mestinya karena ada
unsur korupsi dan kolusi dalam pemerintahan. Kondisi ini menjadikan peradilan
seperti barang dagangan yang diperjual belikan.
E.
Majallah
Al-Ahkam Al-Adliyah
Munculnya Majallah
al-Ahkam al-Adliyah merupakan bentuk aplikasi dari ide taqnin (kodifikasi
hukum) yang muncul pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur ketika masa
Daulat Abbasiyah, atas inisiatif dari Ibn Muqaffa’. Namun
ide ini belum terwujud karena penolakan dari para ulama seperti Imam Malik
dengan alasan, bahwa perbedaan pendapat ulama dalam persoalan furu’ merupakan
suatu hal yang positif.
Hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an
tidak membutuhkan
intervensi pemerintahan dalam menetapkannya. Di saat kemajuan kebudayaan Islam,
ilmu pengetahuan berkembang pesat yang melahirkan para ilmuan dan imam-imam
mazhab yang tersebar di seluruh pelosok daerah, sehingga dalam perkembangan
selanjutnya muncul rasa fanatisme mazhab, yang cendrung membawa turunnya
semangat ijtihad, kejumudan dan ketertutupan ijtihad. Kondisi ini berimplikasi
kepada perbedaan dalam menetapkan hukum karena beragamnya mazhab yang mereka
pakai. Berdasarkan kondisi tersebut muncul ide dari Daulah Usmaniyah untuk
mewujudkan kodifikasi hukum Islam agar tidak terjadi keberagaman hukum dalam
satu perkara pada lembaga peradilan.
Pada akhir abad ke-13 H pemerintah Turki
Usmani mengeluarkan pemerintah untuk membentuk panitia yang bertugas
mengumpulkan ketentuan hukum syara’ terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi
yang berkaitan dengan hukum muamalat (perdata). Panitia menetapkan hukum
berpegang pada mazhab Hanafi, dengan memperhatikan kemaslahatan umat dan
perkembangan zaman tanpa harus terikat dengan pendapat yang kuat dalam mazhab
ini. Maksudnya pendapat yang lain juga diperhatikan dalam menetapkan hukum.
Panitia yang terdiri dari
fuqaha ini melaksanakan tugasnya selama 7 ( tujuh) tahun mulai dari tahun
1280-1293 H / 1869-1876 M. Pada tahun 1293 H/1876 M panitia berhasil
merampungkan tugasnya dengan melahirkan peraturan yang bernama Majallah
al-Ahkam al-Adliyah yang diundangkan pada tanggal 26 Sya’ban 1293 H, dan
bersamaan dengan ketetapan pemerintah Turki Usmani untuk menerapkan majallah
ini di pengadilan-pengadilan di Turki dan negeri-negeri yang berada di
bawah kekuasaannya, seperti Libanon dan Siria. Peraturan
Undang-undang ini terdiri dari 1851 pasal yang berisikan:
1.
Muqaddimah,
tentang defenisi ilmu fiqh pembahagiannya serta penjelasan kaidah-kaidah fiqhiyah.
2.
Bab-bab
Muamalah yang dibedakan untuk setiap kitab dan terdiri dari kitab. Pada muqaddimah setiap bab berisikan
istilah-istilah fiqh yang berkaitan dengan setiap kitab.
Majallah
al-Ahkam al-Adliyah merupakan kitab undang-undang perdata pertama
yang diambil dari ketentuan-ketentuan Islam, yang berasal dari mazhab Hanafi di
samping pendapat lain dengan melihat perkembangan dan kondisi umat. Artiya
dalam majallah ini tidak ditemukan perbedaan pendapat sehingga produk
hukum yang dihasilkan beragam. Di samping itu juga ada undang-undang lain yang
ditetapkan yaitu Undang-undang Keluarga (Qanun al-Ailat) tahun 1326 H.
Undang-undang ini khusus menyangkut persoalan pernikahan dan perceraian yang
berasal dari mazhab selain Hanafi. Dengan adanya undang-undang ini membawa umat
keluar dari taqlid buta, dan tidak hanya terikat dengan satu mazhab. Kodifikasi
ini membantu para hakim (qadhi) dalam memutuskan perkara yang dihadapi,
sehingga adanya keseragaman hukum dalam satu perkara.
Namun kodifikasi ini juga
mempunyai kelemahan yang mengakibatkan lemahnya ruh dan semangat ijtihad ulama.
Begitu juga kurangnya ketelitian dalam memutuskan perkara, karena mereka sudah
dipola dengan acuan yang sudah baku dan adanya keharusan pengawasan terhadap
produk hukum yang dihasilkan. Terbatasnya hukum yang ada menyebabkan kurang
fleksibel hukum yang dihasilkan, sementara peristiwa kehidupan masyarakat
senantiasa berubah.
F.
Masa Setelah
Tanzimat
Pada akhir periode Turki Usmani, persoalan
peradilan semakin banyak dan sumber hukum yang dipegang tidak hanya terbatas
pada syari’at Islam saja, tapi juga diambil dari sumber non syari’at Islam, dan
pada masa ini banyak muncul lembaga peradilan yang sumber hukumnya saling
berbeda, yaitu :
1.
Mahkamah
al-Thawaif atau Qadha al-Milli, yaitu peradilan
untuk suatu kelompok (agama), sumbernya dari agama masing-masing.
2.
Qadha
al-Qanshuli, yaitu peradilan untuk warga negara asing
dengan sumber undang-undang asing tersebut.
3.
Qadha
Mahkamah Pidana, bersumber dari Undang-undang Eropa.
4.
Qadha
Mahkamah al-Huquq, (Ahwal al-Madaniyah), mengadili
perkara perdata, bersumber dari Majallah al-Ahkam al-Adliyah.
5.
Majlis
al-Syari’ al-Syarif, mengadili perkara umat Islam khusus masalah
keluarga (al-Syakhsyiyah), sumbernya fiqh Islam. Begitu pula dengan pengadilan sudah terdapat
Mahkamah Biasa, Banding dan Mahkamah Agung.
Dengan demikian kondisi qadha pada masa ini
sudah beragam, dan ini merupakan pembaharuan yang dicapai pada periode
sebelumnya atau masa tanzimat. Pembaharuan yang diadakan pada masa tanzimat
tidak seluruhnya mendapat penghargaan dari pemuka masyarakat Islam, bahkan
mendapat kritikan dari para cedikiawan Islam Kerajaan Turki Usmani. Kritikan
ini timbul dari tokoh nasionalis Turki, Mustafa Kemal al-Taturk (Bapak Turki),37
yang dipengaruhi oleh ide golongan nasionalis Turki dan nasionalis Barat.
Westernisme, sekularisme
dan nasionalisme menjadi pola dan dasar pemikirannya. Ia berpendapat Turki
hanya dapat maju dengan meniru Barat. Untuk mencapai ide tersebut, ia
memproklamirkan Republik Turki Sekuler tahun 1942M Mustafa Kemal selanjutnya
menghilangkan institusi keagamaan dalam pemerintahan dengan menghapuskan Syaik
al-Islam, Kementrian Syari’at dan Mahkamah Syari’at serta hukum
syari’at dan hukum adat dihapuskan diganti dengan hukum Barat, dalam soal
perkawinan diganti dengan hukum Swiss yaitu menurut hukum sipil. Wanita
mendapat hak cerai yang sama dengan kaum pria, dan banyak lagi yang sudah
diubah menjadi hukum Barat. Mustafa Kemal sebagai seorang nasionalis dan
pengagum peradaban Barat tidak menentang Agama Islam, ini terbukti bahwa dalam
mengurus persoalan agama diadakan Derpertemen Urusan Agama, dan masih
memberikan kebebasan beragama kepada rakyat. Sekolah-sekolah pemerintah untuk
mencetak imam dan khatib di Fakultas Illahiyat Istambul sampai saat ini
masih eksis. Ia beranggapan agama Islam merupakan agama rasionalis, namun
dirusak oleh pemahaman yang sempit, untuk itu perlu disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan Negara Turki. Al-Qur’an perlu diterjemahkan ke dalam Bahasa
Turki. Azan harus diberikan dalam bahasa Turki. Azan dalam bahasa Turki ini
mulai diterapkan pemakaiannya tahun 1931 M. Modernisme dan westernisme Mustafa
Kemal bukanlah bertujuan menghilangkan agama, namun yang dimaksudkan adalah
menghilangkan kekuasaan agama dari bidang politik dan pemerintahan tetapi hal
ini sangat membawa pengaruh pada perkembangan hukum Islam dan nampaknya sekularisme
Mustafa Kemal sangat berpengaruh sampai saat ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan hukum Islam pada masa kerajaan
Turki Usmani mengalami dinamika yang beragam pada mula kekuasaan hukum dipegang
oleh syari’at Islam yang diintervensi oleh pemerintah. Kemudian
perkembangan hukum selanjutnya tidak hanya dipegang oleh syari’at Islam
tetapi juga hukum selain Islam yaitu orang non Islam Eropa dan mereka
mendapatkan kedudukan yang sama dalam hukum. Ini terjadi pada masa tanzimat,
dan pada akhirnya muncul hukum sekuler yang dipelopori oleh Mustafa Kemal yang
banyak membawa perubahan dalam syari’at Islam yang kalau diperhatikan
ini diwariskan sampai saat sekarang.
B. Saran
Demikianlah makalah
singkat ini, kami menyadari
banyaknya kekurangan didalam penyusunannya. Maka dari pada itu kami meminta
maaf dan Kami mengharapkan kepada para pembaca, teman-teman dan Bapak Dosen
Pembimbing untuk memberikan kritik dan saran agar makalah kami ini menjadi
lebih baik dimasa yang akan datang. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam
Imperium Turki Usmani. Jakarta; Raja Grafindo.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam
Sejarah pemikiran dan Gerakan. Jakarta; Bulan Bintang
Hudhari Bek, Tarjamah Tarikh Tasyri’
al-Islam (sejarah Pembinaan Hukum Islam), Semarang : Darul Ikhya, tth
Jumni Nelli,
Hukum Islam. Vol. VI No. 4. Desember 2006
Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam
Turki, (Jakarta: Logos, 1997)