Tugas Makalah Dosen Pembimbing
FIQIH ZAKAT Drs. M. Abdi Al-maktsur M.A
GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT
Disusun Oleh :
MAHARLIS IQBAL ROKHA
NIM. 10921007555
JURUSAN AHWAL AL-SYAKH
SIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU
HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
1431H
DAFTAR ISI
Daftar Isi ……………………………………………………………….. i
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….. 1
BAB II GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT ……… 2
A.
Memerdekakan
budak Belian …………………………….. 2
B.
Orang Yang
Berhutang …………………………………… 3
C.
Fi
Sabilillah ………………………………………………. 5
D.
Ibnu Sabil …………………………………………………. 8
Daftar Pustaka …………………………………………………………… 13
BAB I
PENDAHULUAN
Allah berfirman dalam surat
At-taubah ayat 60, yang artinya :
Artinya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan
yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(At-Taubah: 60)
Soal zakat disebutkan dalam al-Quran secara ringkas, bahkan lebih
ringkas lagi seperti hal shalat. Quran tidak menyebutkan harta yang wajib
dizakat, juga tidak menyebut berapa besar zakat itu dan apa syarat-syaratnya.
Seperti syarat haul (genab setahun), batas nisab dan gugurnya wajib zakat
sebelum nisab.
Kemudian datanglah sunnah sebagai penjabaran pelaksaan, baik
keterangan itu berupa perkataan ataupun perbuatan. Sunah menyebutkan perincian
zakat itu seperti juga halnya salat, sunat tersebut diperoleh dari Rasulullah
berdasarkan keterangan yang dapat dipercaya, kemudian disampaikan oleh satu
anggatan kepada anggatan lain sampai pada kita. sunah itu tidak mudah difahami
tanpa ilmu pendukung lainnya yang memadai, seperti ilmu tafsir, saraf dan ilmu-
ilmu lain sebagai penunjang untuk memahami sunnah yang begitu singkat dan sarat
maknanya.[1]
dalam makalah ini kami hanya menerangkan empat golongan saja yang menerima zakat. semoga bermanfaat.
BAB II
PEMBAHASAN
GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT
Para ulama Mazhab sependapat bahwa
golongan yang berhak menerima zakat itu ada delapan. Dan semuanya sudah disebutkan
dalam surat At-Taubah ayat 60. Tetapi para ulama Mazhab berbeda pendapat
tentang defenisi para penerima zakat (Untuk memerdekakan budak, Orang-orang
yang berutang, Fi sabilillah, dan Ibnu sabil).[2]
A. Memerdekakan Budak Belian
Riqab adalah jamak dari
raqabah. Artinya budak belian laki-laki. Cara membebaskan budak bia dilakukan
dengan dua hal :
1. Menolong hamba mukatab,
yaitu budak yang telah ada perjanjian dan kesepakatan dengan tuannya, bahwa
bila ia sanggup menghasilkan harta dengan nilai dan ukuran tertentu, maka
bebaslah ia. Allah telah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk memberikan
kepada mereka yang dalam memenuhi tuntutan yang diperlukan.
Artinya : Dan budak-budak yang kamu miliki yang
memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika
kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka
sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu”.
Membebaskan budak
dengan cara ini, diikuti oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Laits bin
Saad.
2. Seseorang dengan harta
zakatnya atau seseorang bersama-sama dengan temannya membeli seorang budak
kemudian membebaskan.
Cara ini termasuk
pendapat yang mashur yang dikuti oleh imam Malik, Ahmad dan Ishak. [3]
Menurut Imam Hanafi : Zakat dapat
juga digunakan untuk membebaskan orang-orang yang sedang menjadi budak, yaitu
dengan :
a. Membantu
para budak mukatab, yaitu budak yang sedang menyicil pembayaran sejumlah
tertentu untuk pembebasan dirinya dari majikannya agar dapat hidup merdeka. Mereka berhak mendapatkannya dari zakat.
b. Atau dengan
membeli budak kemudian dimerdekakan
Pada zaman sekarang ini, sejak penghapusan sistem perbudakan di
dunia, mereka sudah tidak ada lagi. Tetapi menurut sebagian madzhab Maliki dan
Hanbali, pembebasan tawanan muslim dari tangan musuh dengan uang zakat termasuk
dalam bab perbudakan. Dengan demikian maka mustahik ini tetap akan ada selama
masih berlangsung peperangan antara kaum muslimin dengan musuhnya.
B. Orang Yang Berhutang
Al-Gharimun adalah bentuk jamak dari Gharim, artinya : adalah
orang yang berhutang dan tidak mampu membayarnya. Menurut Mazhab Abu Hanifah,
gharim adalah orang yang mempunyai hutang, dan tidak memiliki bagian yang lebih
dari dari hutangnya. Menurut Imam Malik, Syafi’I dan Ahmad, bahwa orang yang
mempunyai hutang terbagi kepada dua golongan, masing-masing mempunyai hukum
tersendiri, ada dua macam jenis gharim, yaitu:
1.
Al-Gharim
untuk kepentingan dirinya sendiri.
Yaitu orang yang berhutang untuk menutup kebutuhan primer pribadi
dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, seperti rumah, makan,
pernikahan, perabotan. Atau orang yang terkena musibah sehingga kehilangan
hartanya, dan memaksanya untuk berhutang. Mereka dapat diberi zakat dengan
syarat:
1) Membutuhkan dana
untuk membayar hutang
2) Hutangnya untuk
mentaati Allah atau untuk perbuatan mubah bukan untuk berbuat maksiat kepada
Allah.
3) Hutangnya jatuh tempo saat itu atau pada
tahun itu
4) Tagihan hutang
dengan sesama manusia, maka hutang kifarat tidak termasuk dalam jenis ini,
karena tidak ada seorangpun yang dapat menagihnya.
Syarat ini dikemukakan oleh imam Maliki, sedangkan para fuqaha lain
tida mensyaratkan apapun. Imam Ath-Thabari meriwayatkan dari Abu Ja’far dan
Qatadah : Gharim adalah orang yang mempunyai hutang dengan tidak berlebihan.
2.
Al-Gharim
untuk kemaslahatan orang lain.
Orang-orang yang mempunyai nilai-nilai kemanusiaan dan kemuliaan
yang tinggi, dan cita-cita yang tinggi pula. Seperti orang yang berhutang untuk
mendamaikan dua orang muslim yang sedang berselisih, dan harus mengeluarkan
dana untuk meredam kemarahannya. Maka, siapapun yang mengeluarkan dana untuk
kemaslahatan umum yang diperbolehkan agama, lalu ia berhutang untuk itu, ia
dibantu melunasinya dari zakat.
Diperbolehkan membayar hutangnya mayit dari zakat. Karena gharim
mencakup yang masih hidup dan yang sudah mati. Demikian madzhab Maliki,
berdasarkan hadits Nabi yang bersabda, “Aku adalah yang terdekat pada seorang
mukmin daripada diri mereka sendiri. Barangsiapa yang meninggalkan harta, maka
itu untuk ahli warisnya; dan barangsiapa yang meninggalkan hutang atau
kehilangan, maka kepadaku dan kewajibanku.” (muttafaq alaih)
Sebagian ulama hari ini memperbolehkan zakat dipinjamkan dengan qardhul
hasan karena qiyas aulawiy (prioritas), yaitu jika hutang yang sudah
terjadi boleh dibayarkan dari zakat, maka qardhul hasan yang bersih dari riba
lebih prioritas dari pada pembagian zakat. Berhutang dalam dua keadaan itu
tujuannya sama, yaitu untuk menutup kebutuhan.
Orang ini dapat diberi zakat untuk membayar hutangnya apabila tidak
mampu membayarnyya, dan tidak dapat pula menuntut orang yang dihutanginya
karena ia miskin.[4]
C. Fi sabilillah (di Jalan
Allah)
Menurut tafsir Ibnul Atsir, tentang kata
Sabilillah berkonotasi umum, yaitu :
1.
Bahwa arti asal kata ini menurut bahasa, adalah setiap amal perbuatan
ikhlas yang untuk bertaqarrub kepada Allah SWT, baik yang bersifat pribadi
maupun kemasyarakatan.
2.
Bersifat mutlak, adalah jihad, sehingga karena seringnya dipergunakan untuk
itu, seolah-olah artinya khusus untuk jihad.[5]
Menurut golongan Hanafi, “sabilillah”
adalah sukarelawan yang terputus bekalnya. Yaitu mereka yang tidak sanggup
bergabung dengan tentara Islam, karena kefakiran mereka, dengan rusaknya
perbekalan atau kendaraan mereka. Maka dihalalkan bagi mereka zakat.
Menurut Imam Muhammad, yaitu : jama’ah haji yang
habis perbekalannya.’golongan Hanafi sepakat, bahwa zakat adalah hak seseorang,
karenanya zakat tidak boleh untuk biaya pembangunan Masjid dan yang lainnya.
Menurut Ulama Mazhab Maliki, seperti Qadhi
Ibnu Arabi dalam Ahkam al-Qur’an menafsirkan dengan bahwa sabilillah
adalah tentara yang berperang. Muhammad bin Abdul Hakam berkata : “dikeluarkan
zakat untuk membuat baju perang, senjata yang diperlukan, untuk mencegah
serbuan musuh. Pendapat Mazhab Maliki bisa disimpulkan :
1.
Sabilillah itu berkaitan dengan perang, jihad dan yang semakna dengan itu.
2.
Mereka berpendapat bahwa boleh memberi bagian dari zakat kepada mujahid dan
pengawal perbatasan walaupun dia kaya.
3.
Jumhur Ulama Maliki membolehkan mengeluarkan zakat untuk kepentingan jihad.
Seperti senjata, kuda-kuda, benteng, kapal-kapal perang dan sebagainya.
Sedangkan menurut Mazhab Syafi’i bahwa
Sabilillah itu sebagaimana tertera di dalam Minhaj, Imam Nawawi dan syarahnya,
oleh Ibnu Hajar al-Haitami, bahwa mereka adalah sukarelawan yang tidak mendapat
tunjangan tetap dari pemerintah, atau yang tidak tertera dalam daftar gaji.
Tetapi mereka berperang bila kuat dan sehat. Bila tidak mereka kembali kepada
pekerjaan asalnya.
Imam Syafi’i didalam kitab al-Um, harus
diberi zakat dari bagian harta zakat kepada tentara yang berperang walaupun dia
kaya atau miskin. Dan bagi yang menghalangi orang Musyrikin boleh juga diberi
bagian.
Imam nawawi berkata : “adapun orang yang berperang
harus diberi perbekalan dan oakaian selama pulang pergi dan selama tinggal di
medan perang.
Dan menurut pendapat dari Mazhab Hambali
sama dengan menurut pendapat Syafi’i. Adapun untuk ibadah haji, terdapat dua
riwayat dari Imam Ahmad. Pertama, termasuk sabilillah orang fakir yang
berhak diberi zakat, yang menyebabkan ia dapat melaksanakan ibadah haji wajib,
atau yang dapat menolong melaksanakannya. Kedua, bahwa tidak boleh
menyerahkan bagian sabilillah untuk keperluan ibadah haji, sebagaimana pendapat
jumhur ulama.[6]
Menurut empat madzhab, mereka bersepakat bahwa
jihad termasuk ke daladi m makna fi sabilillah, dan zakat diberikan kepadanya
sebagai personil mujahidin. Sedangkan pembagian zakat kepada selain keperluan
zakat, madzhab Hannafi tidak sependapat dengan madzhab lainnya, sebagaimana
mereka telah bersepakat untuk tidak memperbolehkan penyaluran zakat kepada
proyek kebaikan umum lainnya seperti majid, madrasah, dan lain-lain.
Rasyid Ridha berkata, sabilillah di sana adalah kemaslahatan umum
kaum muslimin yang digunakan untuk menegakkan urusan dunia dan agama, bukan
pada individunya. Yang utama dan pertama adalah persiapan perang seperti
pembelian senjata, perbekalan tentara, alat transportasi, pemberangkatan
pasuka. dan termasuk juga dalam hal ini adalah mendirikan rumah sakit, membuka
jalan, mempersiapkan para dai yang menyerukan Islam, mengirimkan mereka ke
daerah-daerah kafir (lihat Tafsir Al-Manar).[7]
Syeikh Mahmud Syaltut dalam bukunya Islam Aqidah dan Syari’ah
dalam hal ini menyatakan, sabilillah
adalah seluruh kemaslahatan umum yang tidak dimiliki oleh seseorang dan tidak
memberi keuntungan kepada perorangan. Lalu dia menyebutkan, setelah pembentukan
satuan perang adalah rumah sakit, jalan, rel kereta, dan mempersiapkan para
dai.
D. Ibnu Sabil
Menurut Jumhur Ulama, Mereka adalah kiasan untuk para musafir, yaitu
orang yang melintas dari satu daerah kedaerah lain.
Ibnu sabil
Dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an menerangkan lafaz ini sebanyak delapan tempat dalam
keadaan menunjuk kasih saying berbuat baik kepadanya. Seperti firman Allah
dalam surat al-Isra ayat 26 :
Artinya : “Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang
dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”.
Dan dalam surat ar-Rum ayat 38 :
Artinya : “Maka berikanlah kepada
Kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan[1171]. Itulah yang lebih baik bagi
orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka Itulah orang-orang
beruntung.
Adapun rahasia mementingkan ibnu sabil dalam Qur’an ini, karena
Islam senantiasa merangsang untuk melakukan bepergian dan memberi khabar
gembira, karena sebab yang banyak :
1.
Ada
perjalanan yang diperintahkan Islam untuk mencari rizki.
2.
Ada pula
perjalanan yang disuruh Islam untuk mencari Ilmu, memperhatikan dan merenungkan
tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta.
3.
Ada pula perjalanan
yang disuruh Islam untuk berperang di jalan Allah
4.
Ada pula
perjalanan yang disuruh Islam untuk melaksanakan ibadah yang tinggi dan
istimewa. Yaitu ibadah haji.[8]
Pendapat
Jumhur Ulama
Bahwa orang yang bermaksud mengadakan perjalanan tidak termasuk pada
ibnu sabil, dengan alasan :
1.
Ibnu sabil
artinya orang yang tidak berpisah dengan jalan yang ada padanya. Orang berada
di negerinya tentu tidak berjalan.
2.
orang
asing yang ada di negeri tersebut yang melakukan perjalanan, baginya mendapat
bagian.
Pendapat
Imam Syafi’i tentang Ibnu Sabil
Ibnu sabil adalah orang yang terputus bekalnya dan juga termasuk
orang yang bermaksud melakukan perjalanan yang tidak mempunyai bekal, keduanya
diberi untuk memenuhi kebutuhan, karena orang yang bermaksud melakukan
perjalanan bukan untuk bermaksiat.[9]
Ibnu sabil yang kehabisan biaya di negera lain, meskipun ia kaya di
kampung halamannya. Mereka dapat menerima zakat sebesar biaya yang dapat
mengantarkannya pulang ke negerinya, meliputi ongkos jalan dan perbekalan,
dengan syarat:
a. Ia membutuhkan
di tempat ia kehabisan biaya.
b. Perjalanannya
bukan perjalanan maksiat, yaitu dalam perjalanan sunnah atau mubah.
c. Sebagian madzhab Maliki
mensyaratkan: tidak ada yang memberinya pinjaman dan ia mampu membayarnya.
Berapa
besar bagian Ibnu sabil diberikan
Pertama, mereka berhak diberi biaya dan
pakaian hingga mencukupi atau berhasil sampai tempat hartanya, apabila ia
memilika harta ditengah perjalannya. Dan mencukupi sampai tujuan bagi yang
tidak mempunyai harta sama ekali.
Kedua,persiapkan baginya kendaraan,
apabila perjalanannya jauh.
Ketiga, diberi semua biaya perjalanan
dan tidak boleh lebih dari itu, ini adalah pendappat yang Shahih.[10]
Penyaluran
zakat kepada para mustahiq
1. Imam Syafi’i
berpendapat bahwa zakat harus dibagikan kepada delapan kelompok itu dengan
merata, kecuali jika salah satu kelompok itu tidak ada, maka zakat diberikan
kepada ashnaf yang masih ada. Jika muzakki itu sendiri yang membagikan langsung
zakatnya, maka gugur pula bagian amil.
2. Madzhab Hanafi dan Maliki
berpendapat bahwa zakat boleh diberikan kepada sebagian ashnaf, tidak kepada
seluruh ashnaf yang ada. Bahkan mereka memperbolehkan pemberian zakat hanya
kepada salah satu ashnaf saja sesuai dengan kondisi. Inilah pendapat mayoritas
ulama dan pendapat yang paling kuat dengan memperhatikan hal-hal berikut ini:
a. Tidak
diperbolehkan menghilangkan hak salah satu mustahiq tanpa ada sebab, jika imam
yang melakukan pembagian dan jumlah zakat cukup banyak.
b. Diperbolehkan memberikan
zakat hanya kepada satu ashnaf saja jika ada kemaslahatan yang dapat
dipertannggungjawabkan, seperti ketika perang yang mengharuskan zakat untuk
pembiayaan mujahid di medan perang.
c. Ketika membagikan zakat
kepada semua ashnaf secara menyeluruh tidak diharuskan membagi rata kepada
mereka. Dan yang diwajibkan adalah memberikan bagian pada masing-masing sesuai
dengan jumlah dan kebutuhan.
d. Selalu diperhatikan bahawa
kelompok prioritas adalah fakir miskin. Kelompok yang diulang-ulang dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka tidak diperbolehkan menghalangi hak mereka dari
zakat, kecuali karena kondisi darurat sesaat.
e. Jika muzakki yang
membagikan langsung zakatnya dan jumlah zakatnya kecil, boleh diberikan kepada
satu kelompok dan satu orang saja untuk mencapai tujuan zakat, yaitu menutup
kebutuhan.
f. Jika imam yang
membagikan, maka bagian amilin tidak boleh lebih banyak dari seperdelapan,
menurut Imam Syafi’i, agar zakat tidak habis di tangan para pegawai saja.[11]
DAFTAR PUSTAKA
http://www.MursyidMesra.com/sasaran
zakat min.
Murad, Jawad, Mughniyah, Fiqih 5 Mazhab, PT. Lentera
Basritama, cet ke 12, 2004, Jakarta, Hlm :189.
Qardhawi, Yusuf, Dr., Hukum
Zakat, 2006, Bogor, pt. Mitra Kerjaya, Indonesia,,
assalam..
BalasHapusbg.. izin copas y..
makacih