Selasa, 25 Juni 2013

Makalah-Zakat-"GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT"



Tugas Makalah                                                                                                          Dosen Pembimbing
FIQIH ZAKAT                                                                                   Drs. M. Abdi Al-maktsur M.A

 
GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT


Disusun Oleh :
MAHARLIS IQBAL ROKHA
NIM. 10921007555



JURUSAN AHWAL AL-SYAKH SIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
1431H

DAFTAR ISI

Daftar Isi  ………………………………………………………………..       i
BAB I   PENDAHULUAN ……………………………………………..       1
BAB II  GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT ………    2
A.    Memerdekakan budak Belian  ……………………………..       2
B.     Orang Yang Berhutang ……………………………………       3
C.     Fi Sabilillah   ……………………………………………….       5
D.    Ibnu Sabil ………………………………………………….       8
Daftar Pustaka ……………………………………………………………       13


BAB I
PENDAHULUAN

Allah berfirman dalam surat At-taubah ayat 60, yang artinya :
  
Artinya :    “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 60)

Soal zakat disebutkan dalam al-Quran secara ringkas, bahkan lebih ringkas lagi seperti hal shalat. Quran tidak menyebutkan harta yang wajib dizakat, juga tidak menyebut berapa besar zakat itu dan apa syarat-syaratnya. Seperti syarat haul (genab setahun), batas nisab dan gugurnya wajib zakat sebelum nisab.
Kemudian datanglah sunnah sebagai penjabaran pelaksaan, baik keterangan itu berupa perkataan ataupun perbuatan. Sunah menyebutkan perincian zakat itu seperti juga halnya salat, sunat tersebut diperoleh dari Rasulullah berdasarkan keterangan yang dapat dipercaya, kemudian disampaikan oleh satu anggatan kepada anggatan lain sampai pada kita. sunah itu tidak mudah difahami tanpa ilmu pendukung lainnya yang memadai, seperti ilmu tafsir, saraf dan ilmu- ilmu lain sebagai penunjang untuk memahami sunnah yang begitu singkat dan sarat maknanya.[1]
dalam makalah ini kami hanya menerangkan empat golongan saja yang menerima zakat. semoga bermanfaat.


BAB II
PEMBAHASAN


GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT

            Para ulama Mazhab sependapat bahwa golongan yang berhak menerima zakat itu ada delapan. Dan semuanya sudah disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 60. Tetapi para ulama Mazhab berbeda pendapat tentang defenisi para penerima zakat (Untuk memerdekakan budak, Orang-orang yang berutang, Fi sabilillah, dan Ibnu sabil).[2]

A.    Memerdekakan Budak Belian
Riqab adalah jamak dari raqabah. Artinya budak belian laki-laki. Cara membebaskan budak bia dilakukan dengan dua hal :
1.      Menolong hamba mukatab, yaitu budak yang telah ada perjanjian dan kesepakatan dengan tuannya, bahwa bila ia sanggup menghasilkan harta dengan nilai dan ukuran tertentu, maka bebaslah ia. Allah telah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk memberikan kepada mereka yang dalam memenuhi tuntutan yang diperlukan.

Artinya :    Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu”.


Membebaskan budak dengan cara ini, diikuti oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Laits bin Saad.

2.      Seseorang dengan harta zakatnya atau seseorang bersama-sama dengan temannya membeli seorang budak kemudian membebaskan.

Cara ini termasuk pendapat yang mashur yang dikuti oleh imam Malik, Ahmad dan Ishak. [3]

Menurut Imam Hanafi :  Zakat dapat juga digunakan untuk membebaskan orang-orang yang sedang menjadi budak, yaitu dengan :
a.   Membantu para budak mukatab, yaitu budak yang sedang menyicil pembayaran sejumlah tertentu untuk pembebasan dirinya dari majikannya agar dapat hidup merdeka. Mereka berhak mendapatkannya dari zakat.
b.   Atau dengan membeli budak kemudian dimerdekakan
Pada zaman sekarang ini, sejak penghapusan sistem perbudakan di dunia, mereka sudah tidak ada lagi. Tetapi menurut sebagian madzhab Maliki dan Hanbali, pembebasan tawanan muslim dari tangan musuh dengan uang zakat termasuk dalam bab perbudakan. Dengan demikian maka mustahik ini tetap akan ada selama masih berlangsung peperangan antara kaum muslimin dengan musuhnya.

B.       Orang Yang Berhutang
Al-Gharimun adalah bentuk jamak dari Gharim, artinya : adalah orang yang berhutang dan tidak mampu membayarnya. Menurut Mazhab Abu Hanifah, gharim adalah orang yang mempunyai hutang, dan tidak memiliki bagian yang lebih dari dari hutangnya. Menurut Imam Malik, Syafi’I dan Ahmad, bahwa orang yang mempunyai hutang terbagi kepada dua golongan, masing-masing mempunyai hukum tersendiri, ada dua macam jenis gharim, yaitu:
           1.            Al-Gharim untuk kepentingan dirinya sendiri.
Yaitu orang yang berhutang untuk menutup kebutuhan primer pribadi dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, seperti rumah, makan, pernikahan, perabotan. Atau orang yang terkena musibah sehingga kehilangan hartanya, dan memaksanya untuk berhutang. Mereka dapat diberi zakat dengan syarat:
1)    Membutuhkan dana untuk membayar hutang
2)    Hutangnya untuk mentaati Allah atau untuk perbuatan mubah bukan untuk berbuat maksiat kepada Allah.
3)    Hutangnya jatuh tempo saat itu atau pada tahun itu
4)    Tagihan hutang dengan sesama manusia, maka hutang kifarat tidak termasuk dalam jenis ini, karena tidak ada seorangpun yang dapat menagihnya.
Syarat ini dikemukakan oleh imam Maliki, sedangkan para fuqaha lain tida mensyaratkan apapun. Imam Ath-Thabari meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Qatadah : Gharim adalah orang yang mempunyai hutang dengan tidak berlebihan.
        2.          Al-Gharim untuk kemaslahatan orang lain.
Orang-orang yang mempunyai nilai-nilai kemanusiaan dan kemuliaan yang tinggi, dan cita-cita yang tinggi pula. Seperti orang yang berhutang untuk mendamaikan dua orang muslim yang sedang berselisih, dan harus mengeluarkan dana untuk meredam kemarahannya. Maka, siapapun yang mengeluarkan dana untuk kemaslahatan umum yang diperbolehkan agama, lalu ia berhutang untuk itu, ia dibantu melunasinya dari zakat.
Diperbolehkan membayar hutangnya mayit dari zakat. Karena gharim mencakup yang masih hidup dan yang sudah mati. Demikian madzhab Maliki, berdasarkan hadits Nabi yang bersabda, “Aku adalah yang terdekat pada seorang mukmin daripada diri mereka sendiri. Barangsiapa yang meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya; dan barangsiapa yang meninggalkan hutang atau kehilangan, maka kepadaku dan kewajibanku.” (muttafaq alaih)
Sebagian ulama hari ini memperbolehkan zakat dipinjamkan dengan qardhul hasan karena qiyas aulawiy (prioritas), yaitu jika hutang yang sudah terjadi boleh dibayarkan dari zakat, maka qardhul hasan yang bersih dari riba lebih prioritas dari pada pembagian zakat. Berhutang dalam dua keadaan itu tujuannya sama, yaitu untuk menutup kebutuhan.
Orang ini dapat diberi zakat untuk membayar hutangnya apabila tidak mampu membayarnyya, dan tidak dapat pula menuntut orang yang dihutanginya karena ia miskin.[4]

C.    Fi sabilillah (di Jalan Allah)
Menurut tafsir Ibnul Atsir, tentang kata Sabilillah berkonotasi umum, yaitu :
1.      Bahwa arti asal kata ini menurut bahasa, adalah setiap amal perbuatan ikhlas yang untuk bertaqarrub kepada Allah SWT, baik yang bersifat pribadi maupun kemasyarakatan.
2.      Bersifat mutlak, adalah jihad, sehingga karena seringnya dipergunakan untuk itu, seolah-olah artinya khusus untuk jihad.[5]
Menurut golongan Hanafi, “sabilillah” adalah sukarelawan yang terputus bekalnya. Yaitu mereka yang tidak sanggup bergabung dengan tentara Islam, karena kefakiran mereka, dengan rusaknya perbekalan atau kendaraan mereka. Maka dihalalkan bagi mereka zakat.
Menurut Imam Muhammad, yaitu : jama’ah haji yang habis perbekalannya.’golongan Hanafi sepakat, bahwa zakat adalah hak seseorang, karenanya zakat tidak boleh untuk biaya pembangunan Masjid dan yang lainnya.
Menurut Ulama Mazhab Maliki, seperti Qadhi Ibnu Arabi dalam Ahkam al-Qur’an menafsirkan dengan bahwa sabilillah adalah tentara yang berperang. Muhammad bin Abdul Hakam berkata : “dikeluarkan zakat untuk membuat baju perang, senjata yang diperlukan, untuk mencegah serbuan musuh. Pendapat Mazhab Maliki bisa disimpulkan :
1.         Sabilillah itu berkaitan dengan perang, jihad dan yang semakna dengan itu.
2.    Mereka berpendapat bahwa boleh memberi bagian dari zakat kepada mujahid dan pengawal perbatasan walaupun dia kaya.
3.    Jumhur Ulama Maliki membolehkan mengeluarkan zakat untuk kepentingan jihad. Seperti senjata, kuda-kuda, benteng, kapal-kapal perang dan sebagainya.
Sedangkan menurut Mazhab Syafi’i bahwa Sabilillah itu sebagaimana tertera di dalam Minhaj, Imam Nawawi dan syarahnya, oleh Ibnu Hajar al-Haitami, bahwa mereka adalah sukarelawan yang tidak mendapat tunjangan tetap dari pemerintah, atau yang tidak tertera dalam daftar gaji. Tetapi mereka berperang bila kuat dan sehat. Bila tidak mereka kembali kepada pekerjaan asalnya.
Imam Syafi’i didalam kitab al-Um, harus diberi zakat dari bagian harta zakat kepada tentara yang berperang walaupun dia kaya atau miskin. Dan bagi yang menghalangi orang Musyrikin boleh juga diberi bagian.
Imam nawawi berkata : “adapun orang yang berperang harus diberi perbekalan dan oakaian selama pulang pergi dan selama tinggal di medan perang.
Dan menurut pendapat dari Mazhab Hambali sama dengan menurut pendapat Syafi’i. Adapun untuk ibadah haji, terdapat dua riwayat dari Imam Ahmad. Pertama, termasuk sabilillah orang fakir yang berhak diberi zakat, yang menyebabkan ia dapat melaksanakan ibadah haji wajib, atau yang dapat menolong melaksanakannya. Kedua, bahwa tidak boleh menyerahkan bagian sabilillah untuk keperluan ibadah haji, sebagaimana pendapat jumhur ulama.[6]
Menurut empat madzhab, mereka bersepakat bahwa jihad termasuk ke daladi m makna fi sabilillah, dan zakat diberikan kepadanya sebagai personil mujahidin. Sedangkan pembagian zakat kepada selain keperluan zakat, madzhab Hannafi tidak sependapat dengan madzhab lainnya, sebagaimana mereka telah bersepakat untuk tidak memperbolehkan penyaluran zakat kepada proyek kebaikan umum lainnya seperti majid, madrasah, dan lain-lain.
Rasyid Ridha berkata, sabilillah di sana adalah kemaslahatan umum kaum muslimin yang digunakan untuk menegakkan urusan dunia dan agama, bukan pada individunya. Yang utama dan pertama adalah persiapan perang seperti pembelian senjata, perbekalan tentara, alat transportasi, pemberangkatan pasuka. dan termasuk juga dalam hal ini adalah mendirikan rumah sakit, membuka jalan, mempersiapkan para dai yang menyerukan Islam, mengirimkan mereka ke daerah-daerah kafir (lihat Tafsir Al-Manar).[7]
Syeikh Mahmud Syaltut dalam bukunya Islam Aqidah dan Syari’ah dalam hal ini  menyatakan, sabilillah adalah seluruh kemaslahatan umum yang tidak dimiliki oleh seseorang dan tidak memberi keuntungan kepada perorangan. Lalu dia menyebutkan, setelah pembentukan satuan perang adalah rumah sakit, jalan, rel kereta, dan mempersiapkan para dai.

D.    Ibnu Sabil
Menurut Jumhur Ulama, Mereka adalah kiasan untuk para musafir, yaitu orang yang melintas dari satu daerah kedaerah lain.
Ibnu sabil Dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an menerangkan lafaz ini sebanyak delapan tempat dalam keadaan menunjuk kasih saying berbuat baik kepadanya. Seperti firman Allah dalam surat al-Isra ayat 26 :

Artinya : “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”.

Dan dalam surat ar-Rum ayat 38 :

Artinya : “Maka berikanlah kepada Kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan[1171]. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung.
Adapun rahasia mementingkan ibnu sabil dalam Qur’an ini, karena Islam senantiasa merangsang untuk melakukan bepergian dan memberi khabar gembira, karena sebab yang banyak :
1.      Ada perjalanan yang diperintahkan Islam untuk mencari rizki.
2.      Ada pula perjalanan yang disuruh Islam untuk mencari Ilmu, memperhatikan dan merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta.
3.      Ada pula perjalanan yang disuruh Islam untuk berperang di jalan Allah
4.      Ada pula perjalanan yang disuruh Islam untuk melaksanakan ibadah yang tinggi dan istimewa. Yaitu ibadah haji.[8]

Pendapat Jumhur Ulama
Bahwa orang yang bermaksud mengadakan perjalanan tidak termasuk pada ibnu sabil, dengan alasan :
1.      Ibnu sabil artinya orang yang tidak berpisah dengan jalan yang ada padanya. Orang berada di negerinya tentu tidak berjalan.
2.      orang asing yang ada di negeri tersebut yang melakukan perjalanan, baginya mendapat bagian.

Pendapat Imam Syafi’i tentang Ibnu Sabil
Ibnu sabil adalah orang yang terputus bekalnya dan juga termasuk orang yang bermaksud melakukan perjalanan yang tidak mempunyai bekal, keduanya diberi untuk memenuhi kebutuhan, karena orang yang bermaksud melakukan perjalanan bukan untuk bermaksiat.[9]
Ibnu sabil yang kehabisan biaya di negera lain, meskipun ia kaya di kampung halamannya. Mereka dapat menerima zakat sebesar biaya yang dapat mengantarkannya pulang ke negerinya, meliputi ongkos jalan dan perbekalan, dengan syarat:
a.   Ia membutuhkan di tempat ia kehabisan biaya.
b.   Perjalanannya bukan perjalanan maksiat, yaitu dalam perjalanan sunnah atau mubah.
c.   Sebagian madzhab Maliki mensyaratkan: tidak ada yang memberinya pinjaman dan ia mampu membayarnya.

Berapa besar bagian Ibnu sabil diberikan
Pertama, mereka berhak diberi biaya dan pakaian hingga mencukupi atau berhasil sampai tempat hartanya, apabila ia memilika harta ditengah perjalannya. Dan mencukupi sampai tujuan bagi yang tidak mempunyai harta sama ekali.
Kedua,persiapkan baginya kendaraan, apabila perjalanannya jauh.
Ketiga, diberi semua biaya perjalanan dan tidak boleh lebih dari itu, ini adalah pendappat yang Shahih.[10]

Penyaluran zakat kepada para mustahiq
1.   Imam Syafi’i berpendapat bahwa zakat harus dibagikan kepada delapan kelompok itu dengan merata, kecuali jika salah satu kelompok itu tidak ada, maka zakat diberikan kepada ashnaf yang masih ada. Jika muzakki itu sendiri yang membagikan langsung zakatnya, maka gugur pula bagian amil.
2.   Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa zakat boleh diberikan kepada sebagian ashnaf, tidak kepada seluruh ashnaf yang ada. Bahkan mereka memperbolehkan pemberian zakat hanya kepada salah satu ashnaf saja sesuai dengan kondisi. Inilah pendapat mayoritas ulama dan pendapat yang paling kuat dengan memperhatikan hal-hal berikut ini:
a.   Tidak diperbolehkan menghilangkan hak salah satu mustahiq tanpa ada sebab, jika imam yang melakukan pembagian dan jumlah zakat cukup banyak.
b.   Diperbolehkan memberikan zakat hanya kepada satu ashnaf saja jika ada kemaslahatan yang dapat dipertannggungjawabkan, seperti ketika perang yang mengharuskan zakat untuk pembiayaan mujahid di medan perang.
c.   Ketika membagikan zakat kepada semua ashnaf secara menyeluruh tidak diharuskan membagi rata kepada mereka. Dan yang diwajibkan adalah memberikan bagian pada masing-masing sesuai dengan jumlah dan kebutuhan.
d.   Selalu diperhatikan bahawa kelompok prioritas adalah fakir miskin. Kelompok yang diulang-ulang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka tidak diperbolehkan menghalangi hak mereka dari zakat, kecuali karena kondisi darurat sesaat.
e.   Jika muzakki yang membagikan langsung zakatnya dan jumlah zakatnya kecil, boleh diberikan kepada satu kelompok dan satu orang saja untuk mencapai tujuan zakat, yaitu menutup kebutuhan.
f.    Jika imam yang membagikan, maka bagian amilin tidak boleh lebih banyak dari seperdelapan, menurut Imam Syafi’i, agar zakat tidak habis di tangan para pegawai saja.[11]


DAFTAR PUSTAKA

Murad, Jawad, Mughniyah, Fiqih 5 Mazhab, PT. Lentera Basritama, cet ke 12, 2004, Jakarta, Hlm :189.
Qardhawi, Yusuf, Dr., Hukum  Zakat, 2006, Bogor, pt. Mitra Kerjaya, Indonesia,,



             [1] http://www.MursyidMesra.com/sasaran zakat.
             [2] Murad, Jawad, Mughniyah, Fiqih 5 Mazhab, PT. Lentera Basritama, cet ke 12, 2004, Jakarta, Hlm :189.
             [3] Qardhawi, Yusuf, Dr., Hukum  Zakat, 2006, Bogor, pt. Mitra Kerjaya, Indonesia, Hlm : 587-588.
             [4] Ibid, Hlm : 594-598.
             [5] Ibid, : Hlm : 610-611.
             [6] Ibid : Hlm : 611-614.
             [7] Ibid :  Hlm :
             [8] Murad, Jawad, Mughniyah, Fiqih 5 Mazhab, PT. Lentera Basritama, cet ke 12, 2004, Jakarta Hlm : 571.
             [9] Qhardhawi, Op,Cit,  : Hlm : 654-655.
             [10] Qhardhawi,Op,Cit,  : Hlm : 659.
             [11] http://www.MursyidMesra.com/sasaran zakat min

1 komentar: