Rabu, 26 Juni 2013

Makalah-Munakahat-"Nikah Sirri"



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perkawinan selaian di syariatkan oleh Agama Islam karena merupakan salah satu bentuk usaha memelihara atau  mengembangkan keturunan serta menjadi kunci ketentraman juga merupakan peristiwa alami dan kultur yang sudah menjadi turun temurun dari nenek moyang bangsa kita. Perkawinan adalah ikatan lahir batain antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dan perkainan merupakan suatu hal yang dilakukan sengan serius yang mengakibatkan seseorang akan terikat seumur hidup dengan pasangannya.
Oleh karena itu perkawinan membutuhkan persiapan yang matang baik fisik serta kedewasaan mental. Maka dari itu untuk menjamin kepastian hukum bahwa telah terjadi suatu perkawinan maka Negara kita Indonesia membuat peraturan perundang-undangan tentang perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat UU Perkawinan) dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat PP No. 9 Tahun 1975). Sebagaimana pada Konsideran Bagian Menimbang UU Perkawinan, bahwa “sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara”. Hal ini berarti bahwa mengenai UU Perkawinan berlaku bagi semua warga negara, sehingga tidak membedakan suku bangsa maupun kewarganegaraan.
Akan tetapi sangat di sayangkan masih banyak orang belum memperhatikan hal ini karena berbagai alasan, seperti biaya mahal, Kantor Urusan Agama / Kantor Catatan Sipil jauh dan lain sebagainya.
Dalam hukum Islam, nikah sirri bukan masalah baru. Sebab, dalam kitab al-Muwattha’, karya Imam Malik, salah satu kitab tertua yang dimiliki umat Islam. Selain Al-Qur’an dan al-Hadist ternyata telah mencatat, bahwa istilah nikah sirri itu berasal dari ucapan Umar Ibnu al-Khattab ra, ketika diberi tahu bahwa telah terjadi pernikahan yang tidak dihadiri oleh saksi kecuali hanya seorang lelaki dan seorang perempuan, maka ia berkata:
Ini nikah sirri, aku tidak membolehkannya, dan sekiranya aku datang pasti aku rajam.” (Imam Malik, II, 1978:439).
            Ulama-ulama besar sesudahnya, seperti Abu Hanifah, dan as-Syafi’I berpendapat, bahwa nikah sirri itu tidak boleh, jika terjadi harus difasakh, dibatalkan.
            Di dalam kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, kata sirri berasal dari kata assirru yang mempunyai arti “rahasia”(Munwwir, 1997, H. 625). Menurut Zuhdi, nikah sirri ialah nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya sekalipun keluarga setempat. Menurut terminology nikah sirri adalah tidak sah. Hadist Nabi:
Artinya: “ Adakanlah pesta perkawinan, sekalipun hanya dengan hidangan kambing” (Hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim dll. Dari Anas).
            Istilah nikah di bawah tangan menurut Zuhdi mulai dikenal sejak diberlakukan UU Perkawinan. Keberadaan istilah nikah di bawah tangan tersebut berdasarkan sah tidaknya pernikahan dikaitkan dengan pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 dalam UU Perkawinan. Ada 2 (dua) pendapat  yang berbeda tentang  sah tidaknya pernikahan. Pertama, perkawinan dianggap sah apabila telah dilakukan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan. Pendapat kedua, mengatakan bahwa pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing serta dilakukan pencatatan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Realita, di dalam masyarakat Islam sering terjadi nikah sirri. Dan oleh masyarakat, nikah sirri itu dipandang sebagai perkawinan yang sah menurut agama, tetapi belum sah menurut undang-undang Negara.
Di dalam UU Perkawinan mengatur mengenai dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, putusannya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian, ketentuan-ketentuan lain, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Ketentuan mengenai harta benda dalam perkawinan, menurut pasal 35 UU Perkawinan, menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta yang diperoleh selama perkawinan, yang berarti perkawinan sebagaimana pasal 1 UU Perkawinan, bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Perkawinan tersebut harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan sesuai dengan pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. selain itu harus didasarkan atas syarat perkawinan, sesuai pasal 9 UU Perkawinan menentukan bahwa “Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada  Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini”.







                                                            BAB II                                      
PEMBAHASAN
MASALAH NIKAH SIRRI DITINJAU MENURUT UU PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM

A.    Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Perkawinan selain masalah agama juga masalah negara, masalah agama karena berkaitan dengan pelaksanaannya harus sesuai dengan ketentuan syarat dan rukun agama sehingga memenuhi syarat sebagai sebuah ibadah yang sah, disebut sebagai masalah negara karena berkaitan dengan masalah penertiban adminitrasi negara tentang pencatatan terjadinya perkawinan di Indonesia.
Pada dasarnya UU Perkawinan telah mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menampung kepentingan masyarakat sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, baik menurut Hukum Adat, Hukum Agama, dan Kepercayaan masyarakat.
Undang-Undang Perkawinan memberikan konsep tentang pengertian perkawinan, yang diatur dalam pasal 1 yang berbunyi “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Undang-Undang Perkawinan Pasal 1 tersebut juga merumuskan bahwa ikatan suami-istri berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan tersebut menunjukkan bahwa perkawinan merupakan ikatan suci sesuai dengan agama atau kepercayaan yang dianut oleh pasangan suami-istri, sehingga  perkawinan juga disebut sebagai lembaga yang sakral.
Pada Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Perkawinan tersebut mengemukakan bahwa suatu perkawinan dianggap sah jika telah memenuhi ketentuan menurut hukam agama dan kepercayaan yang dianut suami maupun istri. Perkawinan perlu dicatat oleh PPN sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan perkawinan bagi pasangan yang akan melangsungkan pernikahan harus melalui instansi. Ada dua instansi yang menangani pencatatan perkawinan yaitu KUA bagi yang beragama Islam dan KCS bagi yang bukan beragama Islam.
Prinsip perkawinan menurut UU Perkawinan yang dijelaskan dalam penjelasan umum (Soemiyati, 1997, h. 5-7) adalah sebagai berikut:
  1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
  2. Dalam UU ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Undang-undang ini menganut asas monogamy.
  4. Undang-undang ini menentukan batas usia kawin baik laki-laki maupun perempuan ialah 19 tahunn bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
  5. Karena tujuan perkawinan membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka UU ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian.
Pasal 4 dan 5 UU Perkawinan ini memperlihatkan dengan jelas bahwa semua alasan yang dikemukakan hanyalah memperhatikan kepentingan suami, sementara kepentingan istri tidak dijelaskan apabila dalam perkawinan seorang suami tidak dapat menjalankan tugas sebagai seorang suami, cacat, sakit yang tidak dapat disembuhkan atau tidak dapat memberikan keturunan.
Seharusnya dapat dipahami bahwa istri mandul atau berpenyakitan bukanlah keadaan yang memang disengaja. Keadaan yang demikian itu lebih merupakan takdir Tuhan karena tidak ada istri yang menginginkan mandull atau berpenyakitan.
B.     Perkawinan Menurut Hukum Agama Islam
Perkawinan dalam Ilmu fiqh menggunakan kata nikah yang berasal dari bahasa Arab”nakaha”, atau”nikahan” yang berarti kawin atau mengawini (Munawwir, 1997, h. 1461).Pengertian nikah dalam Ensiklopedi Islam disebutkan ‘nikah adalah akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami-istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu’ (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1992, h. 34).
Sementara itu, Shihab (1999, h. 188) mengemukakan bahwa “Perkawinan di dalam Al-Quran selain menggunakan kata nikah juga menggunakan kata “Zawwaja” dari kata “zauwj” yang berarti “pasangan”. Selanjutnya dijelaskan bahwa pernikahan atau pasangan merupakan ketetapan ILLhi sebelum dewasa dan merupakan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh sebab itu, agama mensyariatkan untuk menjalin hubungan antara laki-laki dan perempuan yang kemudian menuju kea rah perkawinan.
Di dalam lembaga perkawinan, Allah Swt memberikan ketenangan dan kesenangan,  karena keduanya dapat saling mengisi kebutuhan masing-masing, seperti yang difirmankan-Nya dalam  surat Ar-Ruum ayat 21:
                                                                                                                                                                                              
Artinya :        “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
Ayat tersebut menunjukkan bahwa pernikahan bukan hanya sekedar bersatunya laki-laki dan perempuan, melainkan di dalamnya terdapat unsur kasih sayang, rasa tentram, dan rasa senang bahkan perkembangan manusia.
Berdasarkan hukum nikah, pernikahan atau perkawinan dilaksanakan karena mempunyai tujuan mulia. Hadikusumo (1990, h. 24) menyebutkan bahwa tujuan perkawinan, menurut hukum Islam, adalah menegakkan agama, mendapatkan keturunan yang sah, mencegah perzinaan dan pelacuran, serta membina keluarga yang damai dan teratur.
            Sementara itu, perkawinan menurut hukum Islam merupakan akad, yaitu suatu perjanjian yang kuat (miitzaaqan ghaliizhan) sebagaimana yang terdapat dalam surat An-Nissa ayat 21:

Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat’’.

Akad atau perjanjian ini dikatakan sah, apabila dilaksanakan sesuai dengan syarat akad nikah dan rukun nikah yang lengkap dengan syaratnya sesuai dengan ketentuan agama.
Syarat akad nikah menurut mukhtar (1974, h. 37) adalah calon kedua mempelai sanggup melaksanakan akad nikah dan bukan orang yang terlarang untuk melaksanakan pernikahan, serta kedua calon mempelai adalah sejodoh sehingga keharmonisan dalam perkawinan dapat tercapai.
Dalam membangun rumah tangga sesuai dengan ajaran agama Islam, telah ditetapkan beberapa prinsip yang dapat menjadi pedoman bagi calon suami-istri. Prinsip tersebut menurut Mulia (1999, h. 11-15) meliputi kebebasan memilih jodoh, mawaddah wa rahmah ‘cinta dan kasih sayang’, saling melengkapi dan melindungi, serta prinsip mu’asyarah bi al Ma’ruf memperlakukan pasangannya dengan perbuatan baik’. Prinsip-prinsip tersebut merupakakan ruh yang merekatkan suatu perkawinan.
Muhammad (2001, h. 114) mengemukakan bahwa suami-istri harus bersikap sopan, tidak boleh saling menyakiti, memperlihatkan kebencian, dan tidak boleh saling mengungkap jasa baik, maka suasana keluarga akan membawa kedamaian dan ketenangan bagi suami, istri, dan anak-anaknya.
Perintah untuk menggauli istri dengan sopan ini tertuang di dalam Surat An-Nisaa ayat 19:
Artinya :   Bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
Dengan demikian, pernikahan berdasarkan agama Islam merupakan suatu anjuran Allah Swt. Agar manusia berpasangan dan memperoleh kedamaian, terhindar dari perbuatan yang tercela, dapat hidup damai dengan pasangannya, saling mengasihi dan menyayangi serta dapat melanjutkan keturunannya

C.     Persoalan Hukum Perkawinan Tidak Tercatat
Perkawinan yang tidak resmi atau tidak tercatat tersebut menjadi peroblema hukum, karena meskipun sah, akan tetapi dalam ketentuan negara perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, suatu perbuatan hukum yang tidak mempunyai kekuatan hukum maka tidak dapat diakui oleh negara sebagai alas hak untuk mengurus segala kepntingan yang berkaitan dengan negara (karena tidak tercatat pada administrasi perkawinan negara), seperti : Dasar untuk menerbitkan Akta Kelahiran Anak dan menunjuk ayahnya, dasar untuk mendapatkan bagian waris dari ayahnya, Dasar untuk mengurus status kewarisan harta peninggalan ayahnya baik bersumber dari harta peninggalan, hak properti, hak menerima gaji pensiun, simpanan pada bank dari ayahnya, hak dasar untuk pengalihan balik nama atas kekayaan syahnya, dan banyak hal yang lain yang membutuhkan data adanya perkawinan antara suami dan istri tersebut, dan anak hanya disandarkan pada ibunya saja. dan sebagai suami istri tidak mempunyai hubungan hukum untuk saling mewarisi apabila meminta batuan penyelesaian perkara dari pemerintah.
Perkawinan tidak tercatat ini, hampir seluruh akibatnya terdapat pada kerugian istri dan anak, meskipun ada juga kerugian pada ayah, ikatan sebagai contoh anaknya menjadi kaya, karena mendapatkan hadiah atau penghargaan sebagai artis yang berpenghasilan memadai, maka ayahnya tidak dapat dipandang mempunyai hak waris terhadap anaknya tersebut dan seterusnya.
Ayah dan ibu ini, dalam pandangan hukum negara meskipun kemungkinannya sah, akan tetapi di bawah tangan tidak dapat terukur karena tidak terdata, oleh karena itu dalam suatu daerah tidak dapat diperkirakan berapa jumlahnya, akan tetapi tidak dapat diingkari adanya (bahkan banyaknya).
D.    Itsbat Nikah
 Istbat Nikah Sebagai Sebuah Solusi Persoalan Hukum ;
Karena perkawinan tidak tercatat (di bawah tangan), maka telah menjadi persoalan hukum karena melanggar pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mempunyai akibat hukum yang besar, karena hal-hal yang telah diuraikan tersebut di atas, karena telah menjadi masalah hukum, maka sudah menjadi kewenangan Pengadilan (Pengadilan Agama bagi yang beragama islam), Pengesahan Nikah (itsbat nikah), adalah soslusi bagi perkawinan yang tidak tercatat, agar diberi penetapan hukum setelah dilakukan pemeriksaan atas perkawinan yang telah berlangsung tersebut dalam hal :
1.      Apakah syarat hukum agama terpenuhi atas perkawinan tersebut
2.       Apakah rukun agama perkawinan tersebut terpenuhi?
3.      Apakah tidak ada halangan perkawinan menurut agama yang dilanggar perkawinan tersebut.?
4.      Kenapa perkawina tersebut dahulu tidak dicatatkan pada PPN, alasan apa dan apakah tidak termasuk pembangkangan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ?
5.      Apakah perkawinan yang telah berlangsung tersebut, termasuk perkawinan yang keberapa atau perkawinan pligami atau tidak ?
Kalau semua itu tidak ada pelanggaran hanya tidak tercatat, maka pengadilan (majelis hakim) akan mengesahkan perkawinan yang telah berlangsung tersebut, sesuai waktu kejadiannya (dahulu) dan menitahkan kepada pemohon untuk melakukan pencatatan sesuai penetapan pengadilan yang dikeluarkan setelah pemeriksaan tersebut.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam persepsi fikih, sirri adalah nikah yang tidak memenuhi syarat sahnya nikah, yaitu saksi. Karena itu tidak sah, maka harus difasakh. Nikah sirri dalam persepsi masyarakat adalah nikah yang melanggar ketertiban pernikahan masyarakat Islam yang telah diatur oleh Ulil Amri. Anak yang lahir dari hasil nikah sirri hanya dapat dinisbatkan pada ibunya.
Perkawinan yang tidak tercatat atau di bawah tangan atau (sirri) adalah perkawinan yang tidak resmi menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar mengurus segala hal dalam kaitannya perkawinan tersebut dengan urusan pemerintah atau negara.
Solusinya harus dilakukan Pengesahan Nikah (itsbat nikah), melalui pengadilan agama yang mewilayahi tempat perkawinan itu berlangsung, untuk mendapatkan penetapan pengadilan yang mengesahkan atau menolak karena ada halangan, selanjutnya untuk dipergunakan sebagai dasar segala hal kaitan perkawinan tersebut dengan negara (pemerintah).

B.     Saran
Demikianlah makalah ini dibuat. Penulis menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangatlah saya harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi Akhir kata penulis ucapkan terima ka

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan Sujari.M. Fenomena Nikah Sirri. PT. Pustaka Progressif. Cet-1,. Maret :1996.
Muzadi Muchith Abdul.K.H.. Nikah Sirri. Cet-1,. Bandung: juli 2005.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar