BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perkawinan selaian di syariatkan oleh
Agama Islam karena merupakan salah satu bentuk usaha memelihara atau mengembangkan keturunan serta menjadi kunci
ketentraman juga merupakan peristiwa alami dan kultur
yang sudah menjadi turun temurun dari nenek moyang bangsa kita. Perkawinan adalah ikatan lahir batain antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dan perkainan merupakan suatu hal yang
dilakukan sengan serius yang mengakibatkan seseorang akan terikat seumur hidup dengan pasangannya.
Oleh karena itu perkawinan membutuhkan persiapan yang matang baik
fisik serta kedewasaan mental. Maka dari itu untuk menjamin kepastian hukum
bahwa telah terjadi suatu perkawinan maka Negara kita
Indonesia membuat peraturan perundang-undangan tentang perkawinan yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya
disingkat UU Perkawinan) dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat PP No. 9 Tahun 1975).
Sebagaimana pada Konsideran Bagian Menimbang UU Perkawinan, bahwa “sesuai
dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional perlu
adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara”.
Hal ini berarti bahwa mengenai UU Perkawinan berlaku bagi semua warga negara,
sehingga tidak membedakan suku bangsa maupun kewarganegaraan.
Akan tetapi sangat di sayangkan masih banyak orang belum
memperhatikan hal ini karena berbagai alasan, seperti biaya mahal, Kantor
Urusan Agama / Kantor Catatan Sipil jauh dan lain sebagainya.
Dalam hukum Islam, nikah
sirri bukan masalah baru. Sebab, dalam kitab al-Muwattha’, karya Imam Malik,
salah satu kitab tertua yang dimiliki umat Islam. Selain Al-Qur’an dan
al-Hadist ternyata telah mencatat, bahwa istilah nikah sirri itu berasal dari
ucapan Umar Ibnu al-Khattab ra, ketika diberi tahu bahwa telah terjadi
pernikahan yang tidak dihadiri oleh saksi kecuali hanya seorang lelaki dan
seorang perempuan, maka ia berkata:
“ Ini nikah sirri, aku tidak membolehkannya,
dan sekiranya aku datang pasti aku rajam.” (Imam Malik, II, 1978:439).
Ulama-ulama
besar sesudahnya, seperti Abu Hanifah, dan as-Syafi’I berpendapat, bahwa nikah
sirri itu tidak boleh, jika terjadi harus difasakh, dibatalkan.
Di
dalam kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, kata sirri berasal dari kata assirru
yang mempunyai arti “rahasia”(Munwwir, 1997, H. 625). Menurut Zuhdi, nikah
sirri ialah nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk
istrinya atau jamaahnya sekalipun keluarga setempat. Menurut terminology nikah
sirri adalah tidak sah. Hadist Nabi:
Artinya: “ Adakanlah pesta perkawinan,
sekalipun hanya dengan hidangan kambing” (Hadis riwayat Al-Bukhari dan
Muslim dll. Dari Anas).
Istilah
nikah di bawah tangan menurut Zuhdi mulai dikenal sejak diberlakukan UU
Perkawinan. Keberadaan istilah nikah di bawah tangan tersebut berdasarkan sah
tidaknya pernikahan dikaitkan dengan pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 dalam UU
Perkawinan. Ada 2 (dua) pendapat yang
berbeda tentang sah tidaknya pernikahan.
Pertama, perkawinan dianggap sah apabila telah dilakukan sesuai dengan hukum
agama dan kepercayaan. Pendapat kedua, mengatakan bahwa pernikahan dianggap sah
apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing serta dilakukan
pencatatan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Realita, di dalam masyarakat Islam
sering terjadi nikah sirri. Dan oleh masyarakat, nikah sirri itu dipandang
sebagai perkawinan yang sah menurut agama, tetapi belum sah menurut
undang-undang Negara.
Di dalam UU Perkawinan mengatur mengenai dasar
perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya
perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta benda
dalam perkawinan, putusannya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak
dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian, ketentuan-ketentuan lain,
ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Ketentuan mengenai harta benda dalam perkawinan, menurut
pasal 35 UU Perkawinan, menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. Harta yang diperoleh selama perkawinan, yang
berarti perkawinan sebagaimana pasal 1 UU Perkawinan, bahwa “Perkawinan ialah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan pasal 2 ayat
(1) UU Perkawinan. Perkawinan tersebut harus dicatatkan menurut peraturan
perundang-undangan sesuai dengan pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. selain itu
harus didasarkan atas syarat perkawinan, sesuai pasal 9 UU Perkawinan
menentukan bahwa “Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain
tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang
ini”.
BAB
II
PEMBAHASAN
MASALAH NIKAH SIRRI DITINJAU MENURUT UU
PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM
A.
Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974
Perkawinan selain masalah agama juga
masalah negara, masalah agama karena berkaitan dengan pelaksanaannya harus
sesuai dengan ketentuan syarat dan rukun agama sehingga memenuhi syarat sebagai
sebuah ibadah yang sah, disebut sebagai masalah negara karena berkaitan dengan
masalah penertiban adminitrasi negara tentang pencatatan terjadinya perkawinan
di Indonesia.
Pada dasarnya UU Perkawinan telah mewujudkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menampung kepentingan
masyarakat sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, baik menurut Hukum
Adat, Hukum Agama, dan Kepercayaan masyarakat.
Undang-Undang Perkawinan memberikan konsep tentang pengertian
perkawinan, yang diatur dalam pasal 1 yang berbunyi “Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal,
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Undang-Undang Perkawinan Pasal 1 tersebut juga merumuskan bahwa ikatan
suami-istri berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan tersebut
menunjukkan bahwa perkawinan merupakan ikatan suci sesuai dengan agama atau
kepercayaan yang dianut oleh pasangan suami-istri, sehingga perkawinan juga disebut sebagai lembaga yang
sakral.
Pada Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Perkawinan tersebut
mengemukakan bahwa suatu perkawinan dianggap sah jika telah memenuhi ketentuan
menurut hukam agama dan kepercayaan yang dianut suami maupun istri. Perkawinan
perlu dicatat oleh PPN sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan perkawinan bagi pasangan yang akan melangsungkan pernikahan
harus melalui instansi. Ada dua instansi yang menangani pencatatan perkawinan
yaitu KUA bagi yang beragama Islam dan KCS bagi yang bukan beragama Islam.
Prinsip perkawinan menurut UU Perkawinan yang dijelaskan dalam
penjelasan umum (Soemiyati, 1997, h. 5-7) adalah sebagai berikut:
- Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
- Dalam UU ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Undang-undang ini menganut asas monogamy.
- Undang-undang ini menentukan batas usia kawin baik laki-laki maupun perempuan ialah 19 tahunn bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
- Karena tujuan perkawinan membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka UU ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian.
Pasal 4 dan 5 UU Perkawinan ini memperlihatkan dengan jelas bahwa semua
alasan yang dikemukakan hanyalah memperhatikan kepentingan suami, sementara
kepentingan istri tidak dijelaskan apabila dalam perkawinan seorang suami tidak
dapat menjalankan tugas sebagai seorang suami, cacat, sakit yang tidak dapat
disembuhkan atau tidak dapat memberikan keturunan.
Seharusnya dapat dipahami bahwa istri mandul atau berpenyakitan bukanlah
keadaan yang memang disengaja. Keadaan yang demikian itu lebih merupakan takdir
Tuhan karena tidak ada istri yang menginginkan mandull atau berpenyakitan.
B. Perkawinan
Menurut Hukum Agama Islam
Perkawinan dalam Ilmu fiqh menggunakan kata nikah yang berasal dari
bahasa Arab”nakaha”, atau”nikahan” yang berarti kawin atau mengawini (Munawwir,
1997, h. 1461).Pengertian nikah dalam Ensiklopedi Islam disebutkan ‘nikah
adalah akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami-istri dengan
lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu’ (Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam, 1992, h. 34).
Sementara itu, Shihab (1999, h. 188) mengemukakan bahwa “Perkawinan di
dalam Al-Quran selain menggunakan kata nikah juga menggunakan kata “Zawwaja”
dari kata “zauwj” yang berarti “pasangan”. Selanjutnya dijelaskan bahwa pernikahan
atau pasangan merupakan ketetapan ILLhi sebelum dewasa dan merupakan dorongan
yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh sebab itu, agama mensyariatkan untuk
menjalin hubungan antara laki-laki dan perempuan yang kemudian menuju kea rah
perkawinan.
Di dalam lembaga perkawinan, Allah Swt
memberikan ketenangan dan kesenangan,
karena keduanya dapat saling mengisi kebutuhan masing-masing, seperti
yang difirmankan-Nya dalam surat Ar-Ruum
ayat 21:
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
Ayat tersebut menunjukkan bahwa pernikahan bukan
hanya sekedar bersatunya laki-laki dan perempuan, melainkan di dalamnya
terdapat unsur kasih sayang, rasa tentram, dan rasa senang bahkan perkembangan
manusia.
Berdasarkan hukum nikah, pernikahan atau
perkawinan dilaksanakan karena mempunyai tujuan mulia. Hadikusumo (1990, h. 24)
menyebutkan bahwa tujuan perkawinan, menurut hukum Islam, adalah menegakkan
agama, mendapatkan keturunan yang sah, mencegah perzinaan dan pelacuran, serta
membina keluarga yang damai dan teratur.
Sementara
itu, perkawinan menurut hukum Islam merupakan akad, yaitu suatu perjanjian yang
kuat (miitzaaqan ghaliizhan) sebagaimana yang terdapat dalam surat An-Nissa
ayat 21:
Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu
Perjanjian yang kuat’’.
Akad atau perjanjian ini dikatakan sah, apabila
dilaksanakan sesuai dengan syarat akad nikah dan rukun nikah yang lengkap
dengan syaratnya sesuai dengan ketentuan agama.
Syarat akad nikah menurut mukhtar (1974, h. 37)
adalah calon kedua mempelai sanggup melaksanakan akad nikah dan bukan orang
yang terlarang untuk melaksanakan pernikahan, serta kedua calon mempelai adalah
sejodoh sehingga keharmonisan dalam perkawinan dapat tercapai.
Dalam membangun rumah tangga sesuai dengan
ajaran agama Islam, telah ditetapkan beberapa prinsip yang dapat menjadi
pedoman bagi calon suami-istri. Prinsip tersebut menurut Mulia (1999, h. 11-15)
meliputi kebebasan memilih jodoh, mawaddah wa rahmah ‘cinta dan kasih sayang’,
saling melengkapi dan melindungi, serta prinsip mu’asyarah bi al Ma’ruf
memperlakukan pasangannya dengan perbuatan baik’. Prinsip-prinsip tersebut
merupakakan ruh yang merekatkan suatu perkawinan.
Muhammad (2001, h. 114) mengemukakan bahwa
suami-istri harus bersikap sopan, tidak boleh saling menyakiti, memperlihatkan
kebencian, dan tidak boleh saling mengungkap jasa baik, maka suasana keluarga
akan membawa kedamaian dan ketenangan bagi suami, istri, dan anak-anaknya.
Perintah untuk menggauli istri dengan sopan ini
tertuang di dalam Surat An-Nisaa ayat 19:
Artinya : “Bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
Dengan demikian, pernikahan berdasarkan agama
Islam merupakan suatu anjuran Allah Swt. Agar manusia berpasangan dan
memperoleh kedamaian, terhindar dari perbuatan yang tercela, dapat hidup damai
dengan pasangannya, saling mengasihi dan menyayangi serta dapat melanjutkan
keturunannya
C. Persoalan Hukum Perkawinan Tidak
Tercatat
Perkawinan yang tidak resmi atau tidak
tercatat tersebut menjadi peroblema hukum, karena meskipun sah, akan tetapi
dalam ketentuan negara perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum,
suatu perbuatan hukum yang tidak mempunyai kekuatan hukum maka tidak dapat
diakui oleh negara sebagai alas hak untuk mengurus segala kepntingan yang
berkaitan dengan negara (karena tidak tercatat pada administrasi perkawinan
negara), seperti : Dasar untuk menerbitkan Akta Kelahiran Anak dan menunjuk
ayahnya, dasar untuk mendapatkan bagian waris dari ayahnya, Dasar untuk
mengurus status kewarisan harta peninggalan ayahnya baik bersumber dari harta
peninggalan, hak properti, hak menerima gaji pensiun, simpanan pada bank dari
ayahnya, hak dasar untuk pengalihan balik nama atas kekayaan syahnya, dan
banyak hal yang lain yang membutuhkan data adanya perkawinan antara suami dan
istri tersebut, dan anak hanya disandarkan pada ibunya saja. dan sebagai suami
istri tidak mempunyai hubungan hukum untuk saling mewarisi apabila meminta
batuan penyelesaian perkara dari pemerintah.
Perkawinan tidak tercatat ini, hampir
seluruh akibatnya terdapat pada kerugian istri dan anak, meskipun ada juga
kerugian pada ayah, ikatan sebagai contoh anaknya menjadi kaya, karena
mendapatkan hadiah atau penghargaan sebagai artis yang berpenghasilan memadai,
maka ayahnya tidak dapat dipandang mempunyai hak waris terhadap anaknya
tersebut dan seterusnya.
Ayah dan ibu ini, dalam pandangan hukum
negara meskipun kemungkinannya sah, akan tetapi di bawah tangan tidak dapat
terukur karena tidak terdata, oleh karena itu dalam suatu daerah tidak dapat
diperkirakan berapa jumlahnya, akan tetapi tidak dapat diingkari adanya (bahkan
banyaknya).
D.
Itsbat
Nikah
Istbat Nikah Sebagai Sebuah
Solusi Persoalan Hukum ;
Karena perkawinan tidak tercatat (di bawah tangan), maka telah
menjadi persoalan hukum karena melanggar pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mempunyai akibat hukum yang besar, karena
hal-hal yang telah diuraikan tersebut di atas, karena telah menjadi masalah
hukum, maka sudah menjadi kewenangan Pengadilan (Pengadilan Agama bagi yang
beragama islam), Pengesahan Nikah (itsbat nikah), adalah soslusi bagi
perkawinan yang tidak tercatat, agar diberi penetapan hukum setelah dilakukan
pemeriksaan atas perkawinan yang telah berlangsung tersebut dalam hal :
1.
Apakah
syarat hukum agama terpenuhi atas perkawinan tersebut
2.
Apakah rukun agama
perkawinan tersebut terpenuhi?
3.
Apakah
tidak ada halangan perkawinan menurut agama yang dilanggar perkawinan
tersebut.?
4.
Kenapa
perkawina tersebut dahulu tidak dicatatkan pada PPN, alasan apa dan apakah
tidak termasuk pembangkangan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan ?
5.
Apakah
perkawinan yang telah berlangsung tersebut, termasuk perkawinan yang keberapa
atau perkawinan pligami atau tidak ?
Kalau semua itu tidak ada pelanggaran hanya tidak tercatat, maka
pengadilan (majelis hakim) akan mengesahkan perkawinan yang telah berlangsung
tersebut, sesuai waktu kejadiannya (dahulu) dan menitahkan kepada pemohon untuk
melakukan pencatatan sesuai penetapan pengadilan yang dikeluarkan setelah
pemeriksaan tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam persepsi fikih, sirri adalah nikah yang
tidak memenuhi syarat sahnya nikah, yaitu saksi. Karena itu tidak sah, maka
harus difasakh. Nikah sirri dalam persepsi masyarakat adalah nikah yang
melanggar ketertiban pernikahan masyarakat Islam yang telah diatur oleh Ulil
Amri. Anak yang lahir dari hasil nikah sirri hanya dapat dinisbatkan pada
ibunya.
Perkawinan yang tidak tercatat atau di bawah tangan atau (sirri) adalah
perkawinan yang tidak resmi menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak dapat dipergunakan
sebagai dasar mengurus segala hal dalam kaitannya perkawinan tersebut dengan
urusan pemerintah atau negara.
Solusinya harus dilakukan Pengesahan Nikah (itsbat nikah), melalui
pengadilan agama yang mewilayahi tempat perkawinan itu berlangsung, untuk
mendapatkan penetapan pengadilan yang mengesahkan atau menolak karena ada
halangan, selanjutnya untuk dipergunakan sebagai dasar segala hal kaitan
perkawinan tersebut dengan negara (pemerintah).
B. Saran
Demikianlah makalah ini
dibuat. Penulis menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan dalam
makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
sangatlah saya harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi Akhir kata
penulis ucapkan terima ka
DAFTAR
PUSTAKA
Dahlan Sujari.M. Fenomena
Nikah Sirri. PT. Pustaka Progressif. Cet-1,. Maret :1996.
Muzadi Muchith Abdul.K.H.. Nikah
Sirri. Cet-1,. Bandung: juli 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar