Tugas Makalah Dosen Pembimbing
Fiqih
Munakahat Dra. Hj. Asmah Salut
HAK DAN
KEWAJIBAN SUAMI ISTRI SETELAH BERCERAI
Disusun Oleh :
CAHYUNI ROKHA
11121200304
JURUSAN AHWAL SYAKH SIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN
SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2013
HAK DAN
KEWAJIBAN SUAMI ISTRI SETELAH BERERAI
Dasar dari Hak
dan Kewajiban suami istri terdapat dalam beberapa ayat diantranya :
Artinya : “Hai Nabi, apabila kamu
menceraikan istri-istrimu hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka
dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta
bertakwalah kepada Allah. Jangan kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah
mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang
terang, itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan
sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (at-Thalaq : 1)[1].
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para istri) di
mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan hati mereka dan jika mereka istri-istri yang sudah
ditalak itu sedang hamil maka berikanlah kepada mereka nafkah hingga mereka
bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu maka berikanlah kepada
mereka upahnya; dan musyawarakanlah diantara segala sesuatu, dengan baik; dan
jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu
untuknya.” (at-Thalaq : 6)[2].
Suami istri yang telah resmi bercerai masih mempunyai hak dan kewajiban
masing-masing yaitu :
A. Kewajiban Suami
Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan : Akibat putusnya perkawinan
karena perceraian ialah :
1.
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
2.
Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut[3];
Perhatikan ketentuan Pasal
41 huruf (b), berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat diartikan bahwasanya
tuntutan perceraian dengan tuntutan pemenuhan nafkah anak adalah 2 hal yang
berbeda jadi, bisa saja tuntutan pemenuhan nafkah anak diajukan terpisah dari
tuntutan cerai.
Ketentuan ini sejalan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Dalam Pasal 26 ayat (1) UU No. 23/ 2002 ditegaskan, Orang
tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Pasal 30-nya dikatakan :
1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan
atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.
2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan
kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan
pengadilan.
Sesuai dengan ketentuan di atas jelas dan tegas untuk meminta tanggung
jawab mantan suami atas pemenuhan nafkah anak harus dilakukan dengan terlebih
dahulu mengajukan gugatan mengenai hal tersebut ke Pengadilan.Mengupayakan
pemenuhan kewajiban mantan suami untuk memberi nafkah anak bisa juga dilakukan
melalui jalur hukum pidana. Untuk hal ini terlebih dahulu harus mengupayakan
laporan polisi bahwa mantan suami telah melakukan penelantaran anak. Dalam UU
Perlindungan Anak, dikatakan penelantaran anak apabila si orang tua melakukan
tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara,
merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya. Dengan tidak memberikan
nafkah sudah cukup dikategorikan sebagai penelantaran anak.
Berdasarkan
uraian pembahasan yang terdapat dalam bab-bab sebelumnya, maka pada bab penutup
ini penulis memberikan kesimpulan terhadap permasalahan yang diangkat yaitu
tentang kewajiban mantan suami setelah perceraian, sebagai berikut :
a. Tanggung jawab bekas suami terhadap bekas isteri dan
anak-anaknya setelah putusan perceraian yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama,
adalah untuk tanggung jawab atau kewajiban suami setelah perceraian jika
tercantum di dalam gugatan dan disetujui oleh Pengadilan Agama maka hal
tersebut harus dilaksanakan oleh suami. Tetapi jika tidak tercantum dalam
gugatan dan bila Pengadilan Agama tidak menyetujui gugatan dari isteri tentang
kewajiban suami setelah perceraian, berarti setelah putusan perceraian
dikeluarkan/ dijatuhkan oleh majelis hakim, tidak ada yang harus diberikan oleh
bekas suami terhadap isteri dan anak-anaknya. Untuk kewajiban suami yang
tercantum dalam gugatan dan disetujui oleh bekas suami, maka harus melaksanakan
putusan Pengadilan Agama itu dengan sebaik-baiknya. Tetapi pada prakteknya
pelaksanaan untuk memberikan biaya nafkah bagi bekas isteri dan biaya pendidikan bagi anak-anaknya hanya berjalan
beberapa waktu saja, hal ini akan berhenti sama sekali jika bekas suami
tersebut telah menikah lagi. Sejauh ini untuk masalah terhentinya biaya-biaya
tersebut, isteri tidak lagi mengadakan gugatan kembali terhadap mantan
suaminya. Karena mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama hams keluar biaya dan perlu
persiapan mental serta terbuangnya waktu, sehingga isteri lebih baik memilih
untuk pasrah dan berusaha membiayai kebutuhan hidupnya sendiri beserta
anak-anaknya.
b. Adanya beberapa faktor yang menyebabkan pelaksanaan
gugatan Pengadilan Agama tentang kewajiban bekas suami memberikan biaya
penghidupan kepada isteri dan biaya pendidikan kepada anak-anaknya kurang
sesuai dalam arti pelaksanaannya kurang efektif. Hal ini disebabkan karena
faktor kesadaran dan keadaan dari bekas suami, artinya kurangnya niat suami
untuk membantu isteri dan anak serta kurang atau tidak memahami ajaran Islam
tentang hakekat perkawinan dan arti dari perceraian itu sendiri. Dan juga
faktor ekonomi dari bekas suami mencukupi atau tidak dapat membantu biaya
penghidupan dan biaya pemeliharaan yang dibutuhkan oleh isteri dan
anak-anaknya.
Jika suami istri bercerai karena ketidak cocokan. Bagaimana tanggung jawab mantan suami atau pun mantan istri terhadap anak ?
Hubungan anak dengan orang tuanya adalah abadi, sedangkan hubungan istri
dengan suami bisa terputus,dan sebutannya menjadi bekas istri dengan perceraian
tetapi apabila hubungan dengan anak maka tidak akan ada yang namanya bekas
anak, terus seumur hidup menjadi anak, dan anak lelaki sampai dia mampu
membiayai hidupnya sendiri maka tetap menjadi tanggungan sang ayah yang lebih
wajib memberi nafkah kepada semua orang yg menjadi tanggungannya, dan seorang
perempuan sampai dia bisa mendapatkan suami.
Sedangkan hak pengasuhan anak lebih kepada ibu pada saat suatu keluarga
bercerai dengan asumsi bahwa si ibu lebih baik dalam memberikan perhatian dan
curahan kasih sayang , juga waktu dari pada ayah yang bekerja di luar rumah
banting tulang dan peras keringat, bahkan bekas istri pun masih berhak mendapat
nafkah (untuk kehidupan si anak )selama dia masih mengasuh anak hasil
perceraian tersebut karena tanggung jawab memberi nafkah tetap ada pada
ayahnya,baik sebelum ada setelah perceraian.Akan tetapi akan lebih baik apabila
masalah memberi nafkah / ini khususnya dalam hal pendidikan ini dibicarakan
dengan istri , berapa bagiannya, berapa kesanggupannya, kapan diperlukan untuk
apa saja,,,dll
B. Hak isteri yang didapat pasca perceraian
1.
Bila terjadi perceraian atas inisiatif suami, maka bekas isteri berhak
mendapatkan nafkah lahir dari suami selama masa iddah.
Hal tersebut tercantum
dalam pasal 149 KHI huruf (b). Dan dalam pasal 151KHI tersebut diwajibkan bahwa
“bekas isteri yang sedang dalam masa iddah wajib menjaga dirinya, tidak
menerima pinangan dan tidak menikah dengan laki-laki lain” maka konsekwensi
logis dari kewajiban tersebut adalah bekas suami wajib memenuhi nafkah lahir,
sebagai hak yang harus didapatkan akibat kewajibannya tersebut, kecuali isteri
berlaku nusyuz, maka tak ada hak nafkah iddah baginya. Namun perlu diketahui
pula bahwa hak nafkah yang diterimanya apakah secara penuh atau tida juga
adalah tergantung dari pada bentuk perceraiannya, bukan pada lamanya masa
iddahnya.
Hak isteri yang
bercerai dari suaminya dihibungkan dengan hak yang diterimanya itu ada 3
(tiga), macam ( Prof. DR. Amir Syarifuddin) yaitu:
a) Isteri yang dicerai dalam bentuk talak Raj’I, dalam hal ini para ulama
sepakat bahwa hak yang diterima bekas isteri adalah penuh, sebagaimana yang
berlaku pada saat berumah tangga sebelum terjadi perceraian, baik sandang
maupun pangan dan tempat kediaman.
b) Seorang isteri yang dicerai dalam bentuk Ba’in, apakah itu ba’in sughra
atau ba’in kubra, dan dia sedang hamil berhak atas nafkah dan tempat tinggal.
Dalam hal ini para ulama sepakat, dasar hukum yang diambil oleh golongan ini
adalah Al-Qur’an surat At-Thalaq ayat 6. Tetapi bila isteri tersebut dalam
keadaan tidak hamil, maka terdapat perbedaan pendapat seperti antara lain Ibnu
Mas’ud, Imam Malik dan Imam Syafi’i bekas isteri tersebut hanya berhak atas
tempat tinggal dan tidak berhak atas nafkah. Adapun Ibnu Abbas dan Daud
Adzdzahiriy dan beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa bekas isteri tersebut
tidak mendapat hak atas nafkah juga tempat tinggal, mereka mendasarkan
pendapatnya pada alasan bahwa perkawinan itu telah putus sama sekali serta
perempuan itu tidak dalam keadaan mengandung.. Mungkin pendapat ini yang
dipakai dasar dalam ketentuan KHI dalam hal istri dijatuhi dengan bain dan
dalam keadaan tidak hamil tidak mendapatkan nafkah, maskan dan kiswah ( Pasal
149 huruf (b) KHI.
c) Hak istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Bila si isteri tersebut dalam
keadaan mengandung para ulama sepakat isteri itu berhak atas nafkah dan tempat
tinggal, namun bila tidak dalam keadaan hamil para ulama terjadi perbedaan
pendapat yaitu: al. Imam Malik. Imam Syafi’iy mengatakan “berhak atas tempat
tinggal”, sedangkan sebagian ulama lainnya seperti Imam Ahmad berpendapat bila isteri
tidak hamil maka tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal, karena ada hak
dalam bentuk warisan[4].
2.
Hak isteri atas harta bersama
Harta bersama dalam
khazanah Fiqh Islam memang pada dasarnya tidak populer, sehingga tidak ada
pembahasan khusus dalam fiqh.Namun di Indonesia harta sejenis ini memang
dikenal dan ada dihampir semua daerah. sehingga lahirlah berbagai istilah yang
ada di masyarakat. seperti antara lain di sunda dikenal dengan seburtan “ guna
kaya atau tumpang kaya”, di Madura dikenal dengan sebutan”ghuna –ghana” istilah
suku Jawa adalah” gono-gini. dan lain sebagainya. Mungkin atas dasar keadaan
adat di Indonesia seperti inilah sehingga dalam UU No.1 Thun 1974 Tentang
Perkawinann Pasal 35, 36 dan 37 serta tercantum pula dalam KHI mulai dari Pasal
85 sampai Pasal 97.
Berdasarkan kenyataan
bahwa banyak suami isteri yang sama-sama membanting tulang dalam upaya memenuhi
kebutuhan nafkah keluarga sehari-hari, dan fenomena kekinian yang justru banyak
isteri yang mendapat penghasilan lebih banyak daripada suami. Saat ini
peraturan mengenai harta bersama ini masih berlaku pembagian sama yang didapat
oleh istri maupun suami dengan tanpa melihat apakah dan siapakah yang paling
banyak menghasilkan income selama berumah tangga. Tetapi mungkin saat ini kita
boleh mengharap dengan adanya RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang
Perkawinan yang mudah2an dapat melahirkan aturan yang berkeadilan gender.
Dalam pembagian harta
bersama ini mungkin diharapka lebih pada prinsip keadilan dan perlunya
kesadaran dari kedua belah pihak agar tidak terjadi kezaliman yang berawal dari
pelanggaran hak.
3.
Hak atas Mut’ah
Menurut Fiqh Islam
telah disinggung sebelumnya, sedangkan dalam KHI terdapat 3 (tiga) Pasal yang
membicarakan tentang mut’ah ini, yaitu dalam Pasal 158, 159, dan Pasal 160,
yang menyebutkan bahwa seorang suami yang hendak mencerai isterinya wajib
memberi mut’ah dengan syarat:
a) Belum ditetapkan maharnya bagi isteri yang qobla dukhul;
b) Perceraian itu atas kehendak suami;
Tetapi pemberian
mut’ah ini hanyalah sunnah diberikan oleh bekas suami bila tanpa syarat-syarat
tersebut, dan besarnya mut’ah juga di isesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan
suami[5];
4.
Hak atas hadlanah
Dalam istilah Fiqh
hadlanah ini disebut juga dengan Kafalah yang pengertiannya sama yaitu
”pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Seorang isteri yang bercerai dengan suaminya
juga mempunyai hak atas pengasuhan anak yang belum mumayiz, kecuali ditentukan
lain oleh UU yang membatalkan haknya tersebut.
Menurut Guru besar
fiqh Islam dari suriyah Wahbah Az-Zuhaili: “Hak hadlanah adalah hak berserikat
antara ibu, ayah dan anak, meski bila terjadi pertentangan hak yang
diprioritaskan adalah hak anak.”
C. Kewajiban istri
1. Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara
terang-terangan maupun dengan cara sindiran. Namun bagi wanita yang ditinggal
mati suaminya dikecualikan bahwa ia boleh dipinang dengan sindiran.
2. Dilarang keluar rumah menurut jumhur ulama fikih
selain mazhab Syafi’i apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Alasan yang digunakan ialah surah
ath-Talaq ayat 1 yang artinya “janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar
kecuali kalau mereka mengerjakan pekerjaan yang keji dan terang. Larangan
ini jg dikuatkan dengan beberapa hadis Rasululullah SAW.
3. Berhak untuk tetap tinggal dirumah suaminya selama
menjalani masa iddah.
4. Wanita yang derada dalam iddah talak raj’i terlebih lagi yang sedang hamil, berhak mendapatkan
nafkah lahir dari suaminya. Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya tenru
tidak lagi mendapatkan apa-apa kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap
tinggal di rumah suaminya sampai berakhirnya masa iddah.
5. Wanita tersebut wajib berihdad (iddah wanita yang ditinggal mati suaminya) yaitu tidak
mempergunakan alat-alat kosmetik untuk mempercantik diri selama empat bulan
sepuluh hari.
6. Wanita yang berada dalam iddah talak raj’i ia berhak mendapatkan harta waris dari suaminya yang
wafat, sedangkan wanita yang telah ditalak tiga tidak berhak mendapatkanya.
KESIMPULAN
Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan : Akibat putusnya perkawinan
karena perceraian ialah :
1.
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
2.
Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Abu Malik Kamal binAs-Sayid Salim, Sahih
Fiqih Sunnah, Jakarta : Pustaka Azzam, 2007.
Qur’an in Word, At-Thalaq : 1.
Syaikh Kamil, Fiqih Wanita, Jakarta : Al-Kautsar, 2008.
[1] Qur’an in Word, At-Thalaq : 1.
[2] Qur’an in Word, At-Thalaq : 6.
[3] Syaikh Kamil, Fiqih Wanita, Jakarta : Al-Kautsar, 2008, hal : 451.
[4] Ibid, hal: 463.
[5] Abu Malik Kamal binAs-Sayid Salim, Sahih
Fiqih Sunnah, Jakarta : Pustaka Azzam, 2007.
Terimakasih atas pengetahuannya. semoga bermanfaat utk banyak orang
BalasHapusthanks atas pengetahuannya
BalasHapusoke.. sama2 :-)
Hapussungguh bermanfaat buat saya, namun dari pemaparan di atas "yg mana kah hak suami " mohon di jelaskan lebih lanjut trims
Hapus