Tugas Makalah Dosen Pembimbing
FIQIH MUNAKAHAT Dra. Hj. ASMAH SALUT
SEJARAH
LAHIRNYA UU NO.1 TAHUN.1974, PELAKSANAAN SERTA KENDALANYA
Ditulis Oleh :
MAHARLIS IQBAL ROKHA
DONO HARIANTO. H
WALDI SAPUTRA
AGUSNIDAR
AHMAD REFLI
AHMAD ARFIN LUBIS
JURUSAN AHWAL
AL-SYAKH SIYAH
FAKULTAS
SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
1431H
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ……………………………………………………………. i
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………… 1
BAB II Sejarah Lahirnya UU No.1 Tahun 1974 Pelaksanaan Serta
Kendalanya …………………………….……………...
A. Sejarah Lahirnya ………………………………………...
B. Pelaksanaan ……………………………………………..
C. Kendalanya ………………………………………………
BAB III PENUTUP ……………………………………………………
A. KESIMPULAN ………………………………………….
B. SARAN ……………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Lahirnya UUP No. 1/1974 pada
hakekatnya telah melewati suatu proses panjang dari rentetan perjuangan kaum
perempuan di Indonesia menuntut keadilan dan pengakuan atas hak-hak asasinya.
Setidaknya kita bisa mencatat sejak perjuangan R.A. Kartini baik melalui
surat-suratnya yang menceritakan kegelisahan beliau terhadap kondisi kaumnya
maupun melalui pengalamannya sendiri dalam keluarganya. Sepanjang hidupnya
beliau menentang kungkungan tradisi yang ditanamkan lewat institusi keluarga
dan perkawinan, termasuk ketika beliau pada akhirnya tidak berdaya menolak
poligami, bentuk kekerasan yang paling nyata atas harkat dan martabatnya
sebagai manusia.
Jelas kaum perempuan berkepentingan
dengan adanya UUP. Mewujudkan UUP yang mengangkat harkat dan martabat perempuan
merupakan harapan dari semua kelompok perempuan saat itu. Tambah lagi menjelang
tahun-tahun lahirnya UUP, berbagai masalah di seputar perkawinan semakin
menguat dan menjadi keprihatinan organisasi-organisasi perempuan, antara lain
kasus poligami, kawin paksa, kawin anak-anak, perceraian dan perkawinan
sewenang-wenang. Dengan adanya UU tentang perkawinan ini membuat Perempuan
terasa semakin dilindungi.
BAB II
SEJARAH LAHIRNYA UU NO.1 TAHUN.1974,
PELAKSANAAN SERTA KENDALANYA
- Sejarah
Lahirnya UUP No.
1/1974 pada hakekatnya telah melewati suatu proses panjang dari rentetan
perjuangan kaum perempuan di Indonesia menuntut keadilan dan pengakuan atas
hak-hak asasinya. Setidaknya kita bisa mencatat sejak perjuangan R.A. Kartini
baik melalui surat-suratnya yang menceritakan kegelisahan beliau terhadap
kondisi kaumnya maupun melalui pengalamannya sendiri dalam keluarganya.
Sepanjang hidupnya beliau menentang kungkungan tradisi yang ditanamkan lewat
institusi keluarga dan perkawinan, termasuk ketika beliau pada akhirnya tidak
berdaya menolak poligami, bentuk kekerasan yang paling nyata atas harkat dan
martabatnya sebagai manusia.
Sepanjang sejarah
Indonesia, wacana UU Perkawinan setidaknya selalu melibatkan tiga pihak /
kepentingan, yakni kepentingan agama, negara dan perempuan. Dalam wacana
dikotomi publik-privat, perbincangan seputar perkawinan cendrung dianggap sebagai
wilayah privat. Pengaturan perkawinan tidak dapat dilepaskan dari wacana
keluarga. Dalam konteks inilah baik agama sebagai sebuah institusi maupun
negara memiliki kepentingan untuk mengadakan pengaturan. Agama sebagai sebuah
institusi memiliki kepentingan yang signifikan atas keluarga, sebab keluarga
sebagai satuan kelompok sosial terkecil memiliki peran penting dalam melakukan
sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama. Sementara itu negara, sebagai
institusi modern pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam mengatur dan
menciptakan tertib warganya. Meskipun kepentingan negara ini tidak selalu sama
dari pemerintahan satu ke pemerintahan yang lain.
Pada jaman
kolonial, penguasa Hindia
Belanda berkepentingan untuk mengukuhkan pengaruh dan kekuasaannya atas warga
jajahan dengan cara mengatur mereka melalui serangkaian produk UU, termasuk di
dalamnya hukum perkawinan. Melalui pengaturan inilah tata kependudukan negara
jajahan di atur. Pada masa itu RUU Perkawinan dari pemerintah tidak sepenuhnya
dapat mengakomodir kepentingan perempuan berkaitan dengan hubungan laki-laki
perempuan yang setara dalam keluarga. Ini nampak dalam rumusan pengaturan
perkawinan yang mendudukkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan sebagai
konsekuensinya perempuan mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab terhadap
urusan domestik rumah tangga. Perempuan bahkan bukan subjek hukum yang
dalam berurusan dengan hukum harus selalu didampingi suaminya. (Lihat BW buku
kesatu bab V pasal 105-107)
Pada masa Orde
Baru, Pada masa paska kemerdekaan, pemerintah menggunakan pengaturan bidang perkawinan sebagai
kompromi dengan kepentingan berbagai kelompok yang menghendaki kesatuan antara
hukum negara dan hukum agama dalam kehidupan umum. Di sini perempuan lebih
parah nasibnya, karena dalam perkembangannya di kemudian hari banyak terjadi
perceraian yang sewenang-wenang dan perkawinan perempuan di bawah umur.
Pemerintah
menggunakan pengaturan perkawinan sebagai salah satu sarana pendukung strategi
pembangunan, meskipun harus berkompromi dengan kepentingan kelompok dominan
Islam. Pada saat yang sama kelompok Islam itu juga melihat pengaturan
perkawinan ini sebagai kesempatan untuk menegakkan dan memperluas penerapan
ajaran agama dalam kehidupan bernegara. Ini dilakukan karena sejak jaman kolonial,
kepentingan Islam untuk mempengaruhi kehidupan kenegaraan selalu dikalahkan
oleh prinsip penataan negara modern. Rumusan RUU Perkawinan dari pemerintah
sangat dipengaruhi model civil marriage dan menghilangkan beberapa ketentuan
seperti rumusan pengaturan kepala rumah tangga, kewajiban perempuan atas urusan
rumah tangga dan ijin istri dalam perceraian. Namun harapan perbaikan nasib
perempuan ini kembali tenggelam karena pembakuan peran dimunculkan kemudian
sebagai upaya untuk kompromistis dengan kepentingan agama.
- Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan merupakan unifikasi hukum perkawinan di Indonesia yang cukup
komprehensif. Namun sebagaimana diketahui bahwa masih ada ketentuan-ketentuan
yang berkaitan dengan perkawinan yang belum mendapat pengaturan dalam
Undang-Undang Perkawinan ataupun dalam Peraturan Pelaksanaannya, sehingga belum
berlaku secara efektif.
Diantara
ketentuan perkawinan yang belum berlaku secara efektif tersebut adalah harta
benda perkawinan, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, kedudukan anak
perwalian. Terhadap ketentuan-ketentuan yang belum berlaku efektif tersebut,
Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan memberi kemungkinan untuk memberlakukan
ketentuan peraturan lama.
BAB I. KETENTUAN UMUM
Pas.
1. Dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan:
a. Undang-undang adalah Undang-undang Nomor I
Tahun 1974 tentang Perkawinan;
b. Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi
mereka yang beragama Islam dan pengadilan Negeri bagi yang lainnya;
c. Pengadilan Negeri adalah pengadilan dalam
Lingkungan Peradilan Umum;
d. Pegawai pencatat adalah pegawai pencatat
perkawinan dan perceraian.
BAB II. PENCATATAN PERKAWINAN
Pasal
2.
(1) pencatatan perkawinan dari mereka yang
melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai
pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang
melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan
sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai
pencatatan perkawinan.
(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan
yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai
peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana
ditentukan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintah ini.
Pasal
3.
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan akan
dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1)
dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut
dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat
atas nama Bupati Kepala Daerah.
Pasal
4.
Pemberitahuan dilakukan secara Lisan
atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.
Pasal
5.
Pemberitahuan memuat nama, umur,
agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah
seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami
terdahulu.
Pasal
6.
(1) Pegawai pencatat yang menerima
pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan meneliti apakah syarat-syarat
perkawinan telah dipenuhi dan apakah terdapat halangan perkawinan menurut
Undang-undang.
(2) Setelah
penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1), pegawai
pencatat meneliti pula:
a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal
lahir calon mempelai. Dalam hal tidak
ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan
yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala
Desa atau yang setingkat dengan itu;
b. Keterangan mengenai nama,
agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal
orang tua calon mempelai;
c. Izin tertulis/izin pengadilan sebagai
dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang, apabila salah
seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun;
d. Izin
pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 Undang ndang; dalam hal calon
mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri;
e. Dispensasi
pengadilan/pejabat sebagai dimaksud pasal 7 ayat (2) Undang-undang;
f. Surat kematian isteri atau suami yang
terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi
perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
g. Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota
Angkatan Bersenjata;
h. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan
yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau
keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga
mewakilkan kepada orang lain.
- Kendala
Jelas kaum perempuan berkepentingan
dengan adanya UUP. Mewujudkan UUP yang mengangkat harkat dan martabat perempuan
merupakan harapan dari semua kelompok perempuan saat itu. Tambah lagi menjelang
tahun-tahun lahirnya UUP, berbagai masalah di seputar perkawinan semakin
menguat dan menjadi keprihatinan organisasi-organisasi perempuan, antara lain
kasus poligami, kawin paksa, kawin anak-anak, perceraian dan perkawinan
sewenang-wenang. Namun, dalam pembahasan
mengenai pengaturan perkawinan dalam keluarga dapat menjadi potret yang cukup
jelas untuk menunjukkan tersingkirnya kepentingan perempuan ke dalam wilayah
privat, wilayah yang secara sepihak dilekatkan pada perempuan.
Hasilnya UUP yang lahir telah
mempertegas subordinasi perempuan (istri) terhadap laki-laki (suami). Di
satu sisi misalnya, pasal 31 ayat 2 menjelaskan adanya kapasitas dan kemampuan
yang sama antara perempuan dan laki-laki baik dalam mengelola rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Mereka juga sama-sama berhak
melakukan perbuatan hukum. Namun di dalam pasal 31 ayat 3 terdapat ketentuan
yang mendudukkan laki-laki sebagai sentral figur keluarga, yaitu sebagai kepala
rumah tangga. Selain itu mengukuhkan stereotype peran seksual perempuan sebagai
pekerja domestik. Lewat UUP jugalah privilis seksual laki-laki untuk menikahi
perempuan lebih dari satu, dilegitimasi dan diatur. Melihat kenyataan ini, maka
pendapat yang mengatakan bahwa UUP adalah respon dari pemerintah dalam hal ini
ditujukan untuk mengubah status hukum perempuan, tidak sepenuhnya benar. UUP
yang dilahirkan dalam era orde baru dengan strategi pertumbuhan ekonomi itu
justru membakukan domestikasi perempuan. Domestikasi ini mengarah pada
penjinakan, segregasi dan upaya depolitisasi perempuan. Domestikasi juga
menghasilkan kepatuhan pekerja perempuan dengan bayaran rendah (karena dianggap
bukan pencari nafkah utama) untuk menunjang industri terutama industri ringan
yang berorientasi eksport.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tidak terlalu mengejutkan bahwa UUP
sejauh ini terlihat masih jauh dari harapan kelompok perempuan. Dari proses
pembentukannya, UUP pada dasarnya merupakan cerminan pertarungan dari tiga
kelompok kepentingan yang ada saat itu. Pertama, adalah negara/pemerintahan
Orde Baru yang berkepentingan untuk menyelamatkan strategi pembangunannya
(Ideologi pembangunanisme). Kedua, agama dengan kepentingan pengukuhan
kekuasaan dan kewenangannya. Terakhir, perempuan, meskipun merupakan kelompok
yang paling awal mengambil momentum pembahasan RUU sebagai sebuah kesempatan
untuk memperjuangkan perbaikan nasib, secara perlahan-lahan tersingkir ke
pinggir arena dan menyerah terhadap kepentingan pihak lain yang semakin
melanggengkan struktur yang tidak adil tersebut.
B. SARAN
Demikianlah makalah
singkat, kami menyadari banyaknya kekurangan didalam penyusunannya. Maka dari
pada itu kami meminta maaf dan Kami mengharapkan kepada para pembaca,
teman-teman dan Bapak Dosen Pembimbing untuk memberikan kritik dan saran agar
makalah kami ini menjadi lebih baik dimasa yang akan datang.
Atas perhatiannya
kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PP No. 9 Tahun 1975, LN. 1975-12
\
http://alumniman.wordpress.com/2008/05/04/undang-undang-perkawinan-nomor-1-tahun-1974-analisis-gender/