Kamis, 08 Oktober 2015

jalan-jalan : Masjid Jami' Air Tiris




Masjid ini dibangun pada tahun 1901 M[1] atas prakarsa seorang ulama bernama Engku Mudo Songkal, sebagai panitia pembangunannya adalah yang disebut dengan “Ninik Mamak Nan Dua Belas” yaitu para ninik-mamak dari berbagai suku yang ada dalam seluruh kampung. Tahun 1904 masjid ini selesai dibangun dan diresmikan oleh seluruh masyarakat Air Tiris dengan menyembelih 10 ekor kerbau.







Di luar masjid terdapat bak air yang di dalamnya terendam batu besar yang mirip kepala kerbau.
Konon, batu tersebut selalu berpindah tempat tanpa ada yang memindahkannya















Arsitektur masjid ini menunjukkan adanya perpaduan gaya arsitektur Melayu dan Cina, dengan atap berbentuk limas. Keunikan masjid ini adalah, bahwa seluruh bagian bangunan terbuat dari kayu, tanpa menggunakan besi sedikitpun, termasuk paku. Pada dinding bangunan, terdapat ornamen ukiran yang mirip dengan ukiran yang terdapat di dalam masjid di Pahang, Malaysia.

 Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Jami_Air_Tiris




Selasa, 22 September 2015

jalan-jalan : Masjid Agung Kota Dumai pinggir


Setiap touring ke Kota Dumai, tidak pernah luput singgah di Masjid yang satu ini.
keindahan struktur bangunan mempunyai pesona tersendiri.




 
 

 







jalan-jalan : Air tidak terjun


Setelah selesai dari undangan nikahan teman, lanjut cari tempat hilangkan stresss,
Ketemu, sebuah tempat di pelosok desa, tepatnya di Desa Kuok (kalau gk salah, udah lupa) Kab. Kampar.




kebetulan air sedang surut

Kamis, 17 September 2015

Balada Jalan

sepenggal kata : Jalan
-----------





Jalan masih panjang terbentang di hadapan.
Usah berputus Asa, sebab putus asa bukanlah sebuah jalan
Jalan masih panjang..
Jika ingin melakukan hal yang benar, maka lakukanlah sekarang,
Jalan masih panjang namun akhir tak terduga
Maka berhati-hatilah melaluinya, sebab nyawa direnggut kapan saja
Jalan masih panjang,
Sekarang bangkitlah!, Lalui perjalananmu degan Semangat.

'any source'

Jumat, 03 Juli 2015

RAMADHAN 1436H


TADARUS

tadaruz yok...









RAMADHAN 1436H


BUKA BERSAMA

Suasana buka bersama teman-teman jurusan Akhwal Sakhsiyyah angkatan 2009,
acara yang setiap bulan Ramadhan dilaksanakan,
merajut ukhuwah persaudaraan..


 ngopi dulu sebelum berbuka, hehehehe



semangka nya tuh... merona



penampakan,, hihihi



Rabu, 01 Juli 2015

RAMADHAN MUBAROK


Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramadhon 1436 H
semoga amalan kita diterima Allah SWT.
Aamiin

Jumat, 23 Januari 2015

Senin, 19 Januari 2015

Makalah-Munakahat-"SEJARAH LAHIRNYA UU NO.1 TAHUN.1974, PELAKSANAAN SERTA KENDALANYA "



Tugas Makalah                                                                                                       Dosen Pembimbing
FIQIH MUNAKAHAT                                                                              Dra. Hj. ASMAH SALUT



SEJARAH LAHIRNYA UU NO.1 TAHUN.1974, PELAKSANAAN SERTA KENDALANYA











Ditulis Oleh :
MAHARLIS IQBAL ROKHA
DONO HARIANTO. H
 WALDI SAPUTRA
AGUSNIDAR
AHMAD REFLI
AHMAD ARFIN LUBIS


JURUSAN AHWAL AL-SYAKH SIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
1431H
DAFTAR ISI


DAFTAR ISI …………………………………………………………….      i

BAB I       PENDAHULUAN ……………………………………………     1
BAB II      Sejarah Lahirnya UU No.1 Tahun 1974 Pelaksanaan Serta Kendalanya                               …………………………….……………...
A.    Sejarah Lahirnya ………………………………………...
B.     Pelaksanaan  ……………………………………………..
C.    Kendalanya ………………………………………………
BAB III    PENUTUP ……………………………………………………
A.    KESIMPULAN ………………………………………….     
B.     SARAN ……………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA


 


BAB I
PENDAHULUAN

Lahirnya UUP No. 1/1974 pada hakekatnya telah melewati suatu proses panjang dari rentetan perjuangan kaum perempuan di Indonesia menuntut keadilan dan pengakuan atas hak-hak asasinya. Setidaknya kita bisa mencatat sejak perjuangan R.A. Kartini baik melalui surat-suratnya yang menceritakan kegelisahan beliau terhadap kondisi kaumnya maupun melalui pengalamannya sendiri dalam keluarganya. Sepanjang hidupnya beliau menentang kungkungan tradisi yang ditanamkan lewat institusi keluarga dan perkawinan, termasuk ketika beliau pada akhirnya tidak berdaya menolak poligami, bentuk kekerasan yang paling nyata atas harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Jelas kaum perempuan berkepentingan dengan adanya UUP. Mewujudkan UUP yang mengangkat harkat dan martabat perempuan merupakan harapan dari semua kelompok perempuan saat itu. Tambah lagi menjelang tahun-tahun lahirnya UUP, berbagai masalah di seputar perkawinan semakin menguat dan menjadi keprihatinan organisasi-organisasi perempuan, antara lain kasus poligami, kawin paksa, kawin anak-anak, perceraian dan perkawinan sewenang-wenang. Dengan adanya UU tentang perkawinan ini membuat Perempuan terasa semakin dilindungi.[1]





BAB II
SEJARAH LAHIRNYA UU NO.1 TAHUN.1974, PELAKSANAAN SERTA KENDALANYA

  1. Sejarah
Lahirnya UUP No. 1/1974 pada hakekatnya telah melewati suatu proses panjang dari rentetan perjuangan kaum perempuan di Indonesia menuntut keadilan dan pengakuan atas hak-hak asasinya. Setidaknya kita bisa mencatat sejak perjuangan R.A. Kartini baik melalui surat-suratnya yang menceritakan kegelisahan beliau terhadap kondisi kaumnya maupun melalui pengalamannya sendiri dalam keluarganya. Sepanjang hidupnya beliau menentang kungkungan tradisi yang ditanamkan lewat institusi keluarga dan perkawinan, termasuk ketika beliau pada akhirnya tidak berdaya menolak poligami, bentuk kekerasan yang paling nyata atas harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Sepanjang sejarah Indonesia, wacana UU Perkawinan setidaknya selalu melibatkan tiga pihak / kepentingan, yakni kepentingan agama, negara dan perempuan. Dalam wacana dikotomi publik-privat, perbincangan seputar perkawinan cendrung dianggap sebagai wilayah privat. Pengaturan perkawinan tidak dapat dilepaskan dari wacana keluarga. Dalam konteks inilah baik agama sebagai sebuah institusi maupun negara memiliki kepentingan untuk mengadakan pengaturan. Agama sebagai sebuah institusi memiliki kepentingan yang signifikan atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial terkecil memiliki peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama. Sementara itu negara, sebagai institusi modern pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam mengatur dan menciptakan tertib warganya. Meskipun kepentingan negara ini tidak selalu sama dari pemerintahan satu ke pemerintahan yang lain.


Pada jaman kolonial, penguasa Hindia Belanda berkepentingan untuk mengukuhkan pengaruh dan kekuasaannya atas warga jajahan dengan cara mengatur mereka melalui serangkaian produk UU, termasuk di dalamnya hukum perkawinan. Melalui pengaturan inilah tata kependudukan negara jajahan di atur. Pada masa itu RUU Perkawinan dari pemerintah tidak sepenuhnya dapat mengakomodir kepentingan perempuan berkaitan dengan hubungan laki-laki perempuan yang setara dalam keluarga. Ini nampak dalam rumusan pengaturan perkawinan yang mendudukkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan sebagai konsekuensinya perempuan mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab terhadap urusan domestik rumah tangga. Perempuan bahkan bukan subjek hukum  yang dalam berurusan dengan hukum harus selalu didampingi suaminya. (Lihat BW buku kesatu bab V pasal 105-107)
Pada masa Orde Baru, Pada masa paska kemerdekaan, pemerintah menggunakan pengaturan bidang perkawinan sebagai kompromi dengan kepentingan berbagai kelompok yang menghendaki kesatuan antara hukum negara dan hukum agama dalam kehidupan umum. Di sini perempuan lebih parah nasibnya, karena dalam perkembangannya di kemudian hari banyak terjadi perceraian yang sewenang-wenang dan perkawinan perempuan di bawah umur.
Pemerintah menggunakan pengaturan perkawinan sebagai salah satu sarana pendukung strategi pembangunan, meskipun harus berkompromi dengan kepentingan kelompok dominan Islam. Pada saat yang sama kelompok Islam itu juga melihat pengaturan perkawinan ini sebagai kesempatan untuk menegakkan dan memperluas penerapan ajaran agama dalam kehidupan bernegara. Ini dilakukan karena sejak jaman kolonial, kepentingan Islam untuk mempengaruhi kehidupan kenegaraan selalu dikalahkan oleh prinsip penataan negara modern. Rumusan RUU Perkawinan dari pemerintah sangat dipengaruhi model civil marriage dan menghilangkan beberapa ketentuan seperti rumusan pengaturan kepala rumah tangga, kewajiban perempuan atas urusan rumah tangga dan ijin istri dalam perceraian. Namun harapan perbaikan nasib perempuan ini kembali tenggelam karena pembakuan peran dimunculkan kemudian sebagai upaya untuk kompromistis dengan kepentingan agama.

  1. Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan unifikasi hukum perkawinan di Indonesia yang cukup komprehensif. Namun sebagaimana diketahui bahwa masih ada ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perkawinan yang belum mendapat pengaturan dalam Undang-Undang Perkawinan ataupun dalam Peraturan Pelaksanaannya, sehingga belum berlaku secara efektif.
 Diantara ketentuan perkawinan yang belum berlaku secara efektif tersebut adalah harta benda perkawinan, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, kedudukan anak perwalian. Terhadap ketentuan-ketentuan yang belum berlaku efektif tersebut, Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan memberi kemungkinan untuk memberlakukan ketentuan peraturan lama.


BAB I. KETENTUAN UMUM

Pas. 1. Dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan:
a.      Undang-undang adalah Undang-undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan;
b.      Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan pengadilan Negeri bagi yang lainnya;
c.       Pengadilan Negeri adalah pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum;
d.      Pegawai pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian.

BAB II. PENCATATAN PERKAWINAN

Pasal 2.
(1)     pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
(2)     Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
(3)     Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintah ini.

Pasal 3.
(1)     Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.
(2)     Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3)     Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

Pasal 4.
          Pemberitahuan dilakukan secara Lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.

Pasal 5.
          Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu.

Pasal 6.
(1)     Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.
(2)     Setelah  penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1), pegawai pencatat meneliti pula:
a.       Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai.  Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;
b.       Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal  orang tua calon mempelai;
c.       Izin tertulis/izin pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;
d.       Izin  pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 Undang ndang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri;
e.       Dispensasi  pengadilan/pejabat sebagai dimaksud pasal 7 ayat (2) Undang-undang;
f.       Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
g.       Izin tertulis  dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;
h.       Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.     

  1. Kendala
Jelas kaum perempuan berkepentingan dengan adanya UUP. Mewujudkan UUP yang mengangkat harkat dan martabat perempuan merupakan harapan dari semua kelompok perempuan saat itu. Tambah lagi menjelang tahun-tahun lahirnya UUP, berbagai masalah di seputar perkawinan semakin menguat dan menjadi keprihatinan organisasi-organisasi perempuan, antara lain kasus poligami, kawin paksa, kawin anak-anak, perceraian dan perkawinan sewenang-wenang.  Namun, dalam pembahasan mengenai pengaturan perkawinan dalam keluarga dapat menjadi potret yang cukup jelas untuk menunjukkan tersingkirnya kepentingan perempuan ke dalam wilayah privat, wilayah yang secara sepihak dilekatkan pada perempuan. 
Hasilnya UUP yang lahir telah mempertegas subordinasi perempuan (istri) terhadap laki-laki (suami). Di satu sisi misalnya, pasal 31 ayat 2 menjelaskan adanya kapasitas dan kemampuan yang sama antara perempuan dan laki-laki baik dalam mengelola rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Mereka juga sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum. Namun di dalam pasal 31 ayat 3 terdapat ketentuan yang mendudukkan laki-laki sebagai sentral figur keluarga, yaitu sebagai kepala rumah tangga. Selain itu mengukuhkan stereotype peran seksual perempuan sebagai pekerja domestik. Lewat UUP jugalah privilis seksual laki-laki untuk menikahi perempuan lebih dari satu, dilegitimasi dan diatur. Melihat kenyataan ini, maka pendapat yang mengatakan bahwa UUP adalah respon dari pemerintah dalam hal ini ditujukan untuk mengubah status hukum perempuan, tidak sepenuhnya benar. UUP yang dilahirkan dalam era orde baru dengan strategi pertumbuhan ekonomi itu justru membakukan domestikasi perempuan. Domestikasi ini mengarah pada penjinakan, segregasi dan upaya depolitisasi perempuan. Domestikasi juga menghasilkan kepatuhan pekerja perempuan dengan bayaran rendah (karena dianggap bukan pencari nafkah utama) untuk menunjang industri terutama industri ringan yang berorientasi eksport.       

 

BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN
Tidak terlalu mengejutkan bahwa UUP sejauh ini terlihat masih jauh dari harapan kelompok perempuan. Dari proses pembentukannya, UUP pada dasarnya merupakan cerminan pertarungan dari tiga kelompok kepentingan yang ada saat itu. Pertama, adalah negara/pemerintahan Orde Baru yang berkepentingan untuk menyelamatkan strategi pembangunannya (Ideologi pembangunanisme). Kedua, agama dengan kepentingan pengukuhan kekuasaan dan kewenangannya. Terakhir, perempuan, meskipun merupakan kelompok yang paling awal mengambil momentum pembahasan RUU sebagai sebuah kesempatan untuk memperjuangkan perbaikan nasib, secara perlahan-lahan tersingkir ke pinggir arena dan menyerah terhadap kepentingan pihak lain yang semakin melanggengkan struktur yang tidak adil tersebut.

B.     SARAN
Demikianlah makalah singkat, kami menyadari banyaknya kekurangan didalam penyusunannya. Maka dari pada itu kami meminta maaf dan Kami mengharapkan kepada para pembaca, teman-teman dan Bapak Dosen Pembimbing untuk memberikan kritik dan saran agar makalah kami ini menjadi lebih baik dimasa yang akan datang.
Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.





DAFTAR PUSTAKA



PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PP No. 9 Tahun 1975, LN. 1975-12
\



             [1]http://alumniman.wordpress.com/2008/05/04/undang-undang-perkawinan-nomor-1-tahun-1974-analisis-gender/