Tugas Makalah Dosen
Pembimbing
Praktikum
Peradilan Amru Muzan, SH. MH.
PROSES PERADILAN DI MAHKAMAH
KONSTITUSI DAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Disusun Oleh :
MAHARLIS IQBAL ROKHA
NADIAH BT ADNAN
NURLIZA
JURUSAN AHWAL
SYAKHSIYYAH
FAKULTAS
SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) dibentuk dengan Keputusan Presiden (Keppres), dan sampai dengan sekarang
ada 26 PTUN. Berdasarkan Keppres No. 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan PTUN di
Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, Ujung Pandang. Keppres No. 16 Tahun 1992
tentang Pembentukan PTUN di Bandung, Semarang dan Padang. Keppres No. 41 Tahun
1992 tentang Pembentukan PTUN Pontianak, Banjarmasin dan Manado. Keppres No. 16
Tahun 1993 tentang Pembentukan PTUN Kupang, Ambon, dan Jayapura. Keppres No. 22
Tahun 1994 tentang Pembentukan PTUN Bandar Lampung, Samarinda dan Denpasar.
Keppres No. 2 Tahun 1997 tentang Pembentukan PTUN Banda Aceh, Pakanbaru, Jambi,
Bengkulu, Palangkaraya, Palu, Kendari, Yogyakarta, Mataram dan Dili. Untuk
wilayah hukum PTUN Dili, setelah Timor Timur merdeka bukan lagi termasuk
wilayah Republik Indonesia. PTUN mempunyai wewenang untuk memeriksa, memutus
dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara pada tingkat pertama.
Ide pembentukan MK merupakan
ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul
pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan
dari otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan MK menjadi diskursus
penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim
demokrasi, dalam proses perubahan itulah MK dibentuk. Pelanggaran demi
pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat
konstitusi bernilai semantik, juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip
kedaulatan rakyat.
Di dalam makalah ini kami akan
menejelaskan lebih lanjut tentang proses peradilan di MKdan PTUN.
BAB II
PROSES PERADILAN DI MK
A. Pemeriksaan Pendahuluan
Sidang pertama harus ditetapkan dalam jangka waktu
14 hari setelah permohonan dicatat dalam buku register sebagaimana diatur dalam
Pasal 34 UU MK. Sidang pertama ini adalah sidang untuk pemeriksaan pendahuluan
yang akan mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan permohonan. Perbedaannya
dengan pemeriksaan administratif yang dilakukan oleh panitera yang diatur dalam
Pasal 32 UU MK adalah dalam praktik pemeriksaan pendahuluan tersebut kebanyakan
melihat pada dasar legal standing pemohon dan uraian posita maupun
petitum. Umumnya hakim memberi saran yang boleh digunakan atau tidak yang
kemudian akan memberi waktu bagi pemohon untuk melakukan perbaikan. Adapun
pemeriksaan administratif yang dilakukan panitera hanyalah menyangkut
kelengkapan administratif permohonan saja seperti adanya surat kuasa, alat
bukti awal yang perlu, dan syarat formal permohonan.
Boleh jadi hakim dalam pemeriksaan pendahuluan mungkin
masih memeriksanya, tetapi tidak dilihat adanya tumpang tindih kewenangan. Hal
ini karena panitera hanya memeriksa permohonan untuk dapat didaftar atau tidak
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), sedangkan hakim memeriksanya
dalam hal apakah pemeriksaan dapat dilanjutkan apabila syarat-syarat permohonan
telah dipenuhi. Panitera tidak akan mendaftar perkara dimaksud dalam BRPK untuk
memperoleh nomor perkara jikalau bukti minimum yang ditentukan belum
disertakan.
Dalam praktik yang terjadi selama ini,
sesungguhnya pemeriksaan pendahuluan sebelum pemeriksaan pokok perkara
memerlukan sejumlah perbaikan dalam arah maupun item yang hares dipersiapkan
baik oleh pemohon maupun oleh MK sendiri sebelum pemeriksaan perkara dilakukan
oleh pleno. Akan tetapi, sebelum mengemukakan substansi masalah yang hares
dipersiapkan dalam pemeriksaan pendahuluan, ada baiknya untuk menyepakati serta
membahas terlebih dahulu apa sesungguhnya tujuan pemeriksaan pendahuluan
tersebut.
Pemeriksaan pendahuluan adalah satu pemeriksaan
yang dilakukan oleh hakim (panel) dan dihadiri pemohon untuk mempersiapkan
permohonan tersebut secara lengkap sebelum diadakan persidangan, baik untuk
mendengar keterangan dari pemerintah, DPR, maupun pihak terkait dengan cara
yang efektif, efisien, dan lancar. Sifat pemeriksaan pendahuluan adalah
informatif, dalam arti pemeriksaan pendahuluan dimaksudkan untuk memberi
penjelasan dan memperoleh informasi, sehingga masalah yang diajukan dapat
dipahami secara baik dan benar oleh hakim maupun oleh pemohon sendiri.
Dalam menghindari kesulitan maka harus dielakkan
adanya hal-hal yang sifatnya mendadak di mana pihak-pihak tidak mempersiapkan
sebelumnya karena adanya unsur yang timbul dan diajukan ketika proses sedang
berjalan. Yaitu dapat berupa jumlah saksi maupun ahli yang tidak
memperhitungkan faktor waktu di mana diajukan saksi atau ahli sekaligus secara
banyak dan serentak. Maka, pemeriksaan pendahuluan boleh jadi dilakukan lebih
dari satu kali yang kebutuhannya ditentukan sendiri oleh hakim (panel) yang
memeriksa.
1. Pemeriksaan Persidangan
Pihak-pihak yang beperkara
harus diberi kesempatan untuk memberi keterangan dan menyatakan pendapatnya
tentang permohonan dari pemohon torsebut. Hal ini tentu akan dilakukan dengan
pemberitahuan pada pemerintah, DPR maupun pihak terkait tentang adanya
permohonan tersebut dengan disertai salinannya yang telah diperbaiki dalam pemeriksaan
pendahuluan dan sidang pemeriksaan yang akan dilakukan oleh MK.
Meskipun UU MK tidak menyebut
secara tegas tenggang waktu yang harus dilalui untuk sahnya pemberitahuan atau
panggilan, tetapi secara umum panggilan itu paling lambat sekurang-kurangnya 3
hari. Bahkan biasanya ka rena pembuatan keterangan tersebut memerlukan
koordinasi, MK mengirimkan pemberitahuan 2 minggu sebelumnya.
Keterangan tersebut
diberikan baik secara lisan maupun tertulis. Keterangan yang diperlukan boleh
saja menyangkut lembaga negara yang tidak secara tegas disebut dalam
permohonan, tetapi jika MK memandang perlu untuk mendengarnya, maka dalam hal
demikian MK dapat meminta lembaga negara dimaksud untuk memberi keterangan yang
diperlukan.
Lembaga negara dimaksud
dalam jangka waktu 7 hari wajib memberi keterangan yang diminta. Dalam praktik,
pada persidangan awal diminta kehadiran Menteri Hukum dan HAM sebagai kuasa
tetap Presiden/Pemerintah dan Menteri yang menangani secara teknis, minimal
harus hadir satu kali. Keterangan yang diberikan adalah keterangan lisan dengan
menyatakan keterangan lisan tersebut akan disusul dengan keterangan secara
tertulis. Hal ini telah diatur demikian dalam Peraturan MK No. 001/PMK/2005.
a. Kehadiran Kuasa
Pasal 43 UU MK mengatur bahwa pemohon dan/atau
termohon dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa
khusus. Akan tetapi, khusus untuk permohonan pengujian UU karena sifatnya yang lebih
banyak mendengarkan keterangan pemerintah maupun DPR dan/atau DPD tentang
riwayat proses pembentukan UU yang dimohonkan untuk diuji, maka pendapat yang
mengemuka dari hakim-hakim MK adalah bahwa tidak tepat untuk pemerintah maupun
DPR dan/atau DPD memberi kuasa kepada pihak lain dalam hal ini pengacara yang
profesional untuk mewakili pemerintah atau DPR karena pengacara profesional
tidak mengetahui proses pembentukan UU yang bersangkutan.
Oleh karena itu, kehadiran DPR dan pemerintah yang
diwakili kuasanya untuk memberi keterangan sebagai lembaga atau institusi jauh
akan dipandang tepat apabila kuasa dimaksud merupakan bagian dari lembaga
negara itu sendiri, yang secara kelembagaan memiliki data yang diperlukan dan
karenanya tepat untuk memberikan keterangan tentang proses pembentukan suatu UU
tertentu.
Selain didampingi kuasa hukum, pemohon, dan
termohon dapat pula didampingi orang lain yang mungkin diperlukan keterangannya
untuk mendukung atau membantu pemohon atau termohon dalam memberikan keterangan,
baik karena terlibat secara langsung dalam proses maupun yang menguasai
data-data yang berkaitan dengan permohonan.
Dalam hal demikian, pemohon atau termohon harus
menerangkan siapa orang dimaksud yang dimuat dalam surat keterangan tertulis
untuk disampaikan kepada majelis hakim MK. Hal demikian diperlukan hanya untuk
memungkinkan yang bersangkutan diperkenankan duduk bersama-sama dengan pemohon
atau termohon dengan maksud untuk memberi pendampingan yang dibutuhkan.
b. Jalannya Persidangan
Sebagai salah satu sidang pengadilan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman dan yang tunduk pada asas-asas hukum acara
yang berlaku, sebagaimana pengadilan pada umumnya, persidangan selalu terbuka
untuk umum. Realisasi hal ini lebih jauh lagi tampak dengan terbukanya akses
bagi publik untuk mengikuti persidangan MK melalui internet karena baik
transkripsi, status perkara maupun putusan akan dimuat datanya pada situs MK.
Akan tetapi, melihat karakter perkara yang
ditangani, di mana nuansa kepentingan umum sangat menonjol terutama tentang pengujian
undang-undang yang lebih bersifat abstract-norm, tidak individual, dan konkret,
maka hakim Mahkamah Konstitusi selalu menghindarkan adanya posisi pemohon
dengan pemerintah/DPR yang bersifat konfrontatif.
Dalam perkara semacam ini, sesungguhnya
kepentingan kedua belala pihak adalah searah dan sejalan, setidaknya secara
teoretis.
Meskipun diakui perbedaan pendirian tentang apa
yang menjadi kepentingan umum yang adil boleh jadi sangat tajam dan diameteral antara
pemohon dan pemerintah maupun DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Akan
tetapi, bagi hakim Mahkamah Konstitusi yang akan memberi putusan sebagai
tafsiran terbaik dan final dari konstitusi untuk kepentingan seluruh warga
negara, maka posisi konfrontatif (adversarial) demikian sebagaimana biasa
ditemui di sidang peradilan umum tidak dikehendaki karena dapat menjadi gangguan
dalam proses.
Sidang dibuka oleh ketua sidang dengan memeriksa
kehadiran pihak-pihak melalui perkenalan diri yang dilakukan kuasa pemohon dan
pendamping serta pihak lainnya, yaitu pemerintah, DPR atau pihak terkait,
beserta kuasa maupun pendampingnya. Meskipun sudah diperiksa dalam pemeriksaan
pendahuluan, surat-surat kuasa dalam hal penerima kuasa terdiri lebih dari satu
orang, dapat dilakukan lagi. Akan tetapi, hal itu tidak selalu diperlukan.
Hanya saja karena sebagian besar hakim Mahkamah Konstitusi tidak turut dalam
peme riksaan pendahuluan tampaknya hal demikian tidak berlebihan.
BAB III
PROSES PERADILAN DI PENGADILAN TATA USAHA NEGERI
A. Pemeriksaan
Persiapan
Sebelum
pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan
persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas. Tujuan pemeriksaan
persiapan adalah untuk mematangkan perkara. Segala sesuatu yang akan dilakukan
dari jalan pemeriksaan tersebut diserahkan kearifan dan kebijaksanaan ketua
majelis. Oleh karena itu dalam pemeriksaan persiapan memanggil penggugat untuk
menyempurnakan gugatan dan atau tergugat untuk dimintai keterangan/ penjelasan
tentang keputusan yang digugat, tidak selalu harus didengar secara terpisah.
Pemeriksaan persiapan dilakukan di ruangan musyawarah dalam sidang tertutup
untuk umum, tidak harus di ruangan sidang, bahkan dapat pula dilakukan di dalam
kamar kerja hakim tanpa toga.
Pemeriksaan
persiapan dapat pula dilakukan oleh hakim anggota yang ditunjuk oleh ketua
majelis sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh ketua majelis. Maksud
Pasal 63 ayat (2) b tidak terbatas hanya kepada Badan/Pejabat TUN yang digugat,
tetapi boleh juga terhadap siapa saja yang bersangkutan dengan data-data yang
diperlukan untuk mematangkan perkara itu. Dalam pemeriksaan persiapan sesuai
dengan ketentuan Pasal 63 UU No. 5 Tahun 1986 dan Surat Edaran (SEMA No. 2
Tahun1991) serta Juklak MARI (Juklak MARI No.052/Td.TUN/III/1992 tanggal 24
Maret 1992), (Surat MARI No. 223/Td.TUN/ X/ 1993 tanggal 14-10-1993 tentang
Juklak), (Surat MARI No. 224 /Td.TUN/X/1993 tanggal 14-10-1993 tentang
Juklak). Majelis Hakim berwenang untuk
:
1. Wajib memberi nasehat kepada
penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapi dengan data yang diperlukan
dalam jangka waktu tiga puluh hari.
2. Dapat meminta penjelasan
kepada Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan, demi lengkapnya data yang
diperlukan untuk gugatan itu. Wewenang Hakim ini untuk mengimbangi dan
mengatasi kesulitan seseorang sebagai Penggugat dalam mendapatkan informasi
atau data yang diperlukan dari Badan atau Pejabat TUN
3. Mengingat bahwa penggugat dan
Badan atau Pejabat TUN kedudukannya tidak sama. Dapat pula melakukan acara
mendengarkan keterangan-keterangan dari Pejabat TUN lainnya atau mendengarkan
keterangan siapa saja yang dipandang perlu oleh hakim serta mengumpulkan
surat-surat yang dianggap perlu oleh hakim.
4. Dalam kenyataan Keputusan TUN
yang hendak disengketakan itu mungkin tidak ada dalam tangan penggugat. Dalam
hal keputusan itu ada padanya, maka untuk kepentingan pembuktian ia seharusnya
melampirkannya pada gugatan yang ia ajukan. Tetapi apabila penggugat yang tidak
memiliki Keputusan TUN yang bersangkutan tentu tidak mungkin melampirkan pada
gugatan terhadap keputusan yang hendak disengketakan itu. Untuk itu, Hakim
dapat meminta kepada Badan/Pejabat TUN yang bersangkutan untuk mengirimkan
kepada Pengadilan Keputusan TUN yang sedang disengketakan itu. Dengan kata “sedapat
mungkin” tersebut ditampung semua kemungkinan, termasuk apabila tidak ada
keputusan yang dikeluarkan menurut ketentuan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986.
5. Pemeriksaan persiapan terutama
dilakukan untuk menerima bukti-bukti dan surat-surat yang berkaitan. Dalam hal
adanya tanggapan dari Tergugat, tidak dapat diartikan sebagai replik dan
duplik. Bahwa untuk itu harus dibuat berita acara pemeriksaan persiapan.
6. Mencabut “Penetapan Ketua
PTUN tentang penundaan pelaksanaan Keputusan TUN” apabila ternyata tidak
diperlukan.
7. Dalam tahap pemeriksaan
persiapan juga dapat dilakukan pemeriksaan setempat. Majelis Hakim dalam melakukan pemeriksaan
setempat tidak selalu harus dilaksanakan lengkap, cukup oleh salah seorang
anggota yang khusus ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan setempat. Penugasan
tersebut dituangkan dalam bentuk penetapan.
Kalau
gugatan dari Penggugat dinilai oleh Hakim sudah sempurna maka tidak perlu
diadakan perbaikan gugatan.
Majelis
Hakim juga harus menyarankan kepada penggugat untuk memperbaiki petitum gugatan
yang sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 53 tentang petitum gugatan dan dalam
Pasal 97 ayat 7 tentang putusan pengadilan, maka untuk keseragaman bunyi amar
putusan adalah sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan penggugat.
2. Menyatakan batal keputusan TUN
yang disengketakan yang dikeluarkan oleh nama intansi atau nama Badan/Pejabat
TUN tanggal… Nomor….perihal….atau menyatakan tidak sah keputusan TUN yang
disengketakan yang dikeluarkan oleh nama instansi atau nama Badan/Pejabat TUN,
tanggal ….nomor…perihal…).
Selanjutnya
diikuti amar berupa mewajibkan atau memerintahkan Tergugat untuk mencabut
Keputusan TUN yang disengketakan. Untuk itu didalam praktek masih adanya
putusan yang sifatnya deklaratoir (Menyatakan batal atau tidak sah
saja), tidak diikuti amar selanjutnya berupa: Mewajibkan atau Memerintahkan
Tergugat untuk mencabut Keputusan TUN yang disengketakan.
Tenggang
waktu 30 hari untuk perbaikan gugatan dalam fase pemeriksaan persiapan,
janganlah diterapkan secara ketat sesuai bunyi penjelasan Pasal 63 ayat 3 UU
No. 5 Tahun 1986. Tenggang waktu 30 hari tersebut tidak bersifat memaksa maka
hakim tentu akan berlaku bijaksana dengan tidak begitu saja menyatakan bahwa
gugatan penggugat tidak dapat diterima kalau penggugat baru satu kali diberi
kesempatan untuk memperbaiki gugatannya. (Penjelasan Pasal 63 ayat 3 UU No. 5
Tahun1986).Dalam pemeriksaan perkara dengan acara cepat tidak ada pemeriksaan
persiapan. Setelah ditunjuk Hakim tunggal, langsung para pihak dipanggil untuk
persidangan.
B. Persidangan
Dalam
pemeriksaan persidangan ada dengan acara biasa dan acara cepat (Pasal 98 dan 99
UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004). Ketua Majelis/Hakim
memerintahkan panitera memanggil para pihak untuk pemeriksaan persidangan dengan surat
tercatat. Jangka waktu antara pemanggilan dan
hari sidang tidak boleh kurang dari enam hari, kecuali dalam hal
sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat.
Panggilan
terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah, apabila masing-masing telah
menerima surat panggilan yang dikirim dengan surat tercatat.
Surat
panggilan kepada tergugat disertai sehelai salinan gugatan dengan pemberitahuan
bahwa gugatan itu dapat dijawab dengan tertulis.Apabila dipandang perlu Hakim
berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang bersengketa datang menghadap
sendiri ke persidangan, sekalipun sudah diwakili oleh seorang kuasa.Dalam
menentukan hari sidang, Hakim harus mempertimbangkan jauh dekatnya tempat tinggal
kedua belah pihak dari tempat persidangan.Dalam pemeriksaan dengan acara biasa,
Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa TUN dengan tiga orang Hakim,
sedangkan dengan acara cepat dengan Hakim Tunggal. Pengadilan bersidang pada
hari yang ditentukan dalam surat panggilan.
Pemeriksaan
sengketa TUN dalam persidangan dipimpin oleh Hakim Ketua Sidang. Hakim Ketua
Sidang wajib menjaga supaya tata tertib dalam persidangan tetap ditaati setiap
orang dan segala perintahnya dilaksanakan dengan baik. Untuk keperluan
pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk
umum. Apabila Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan
menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat
dinyatakan tertutup untuk umum, namun putusan tetap diucapkan dalam persidangan
yang terbuka untuk umum.Dalam hal penggugat atau kuasanya tidak hadir di
persidangan pada hari pertama dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan
kedua tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, meskipun setiap kali
dipanggil dengan patut, gugatan dinyatakan gugur, dan penggugat harus membayar
biaya perkara. Setelah gugatan penggugat dinyatakan gugur, penggugat berhak
memasukkan gugatannya sekali lagi sesudah membayar uang muka biaya perkara.
Dalam hal tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali sidang
berturut-turut dan atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat
dipertanggung jawabkan meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka
Hakim Ketua Sidang dengan surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan
tergugat hadir dan atau menanggapi gugatan.
Dalam
hal setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan dengan surat tercatat penetapan
tersebut tidak diterima berita baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat,
maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan
sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadirnya tergugat.Putusan
terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi
pembuktiannya dilakukan secara tuntas.
Dalam
hal terdapat lebih dari seorang tergugat dan seorang atau lebih diantara mereka
atau kuasanya tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, pemeriksaan sengketa itu dapat ditunda sampai hari
sidang yang ditentukan Hakim Ketua Sidang.Penundaan sidang itu diberitahukan
kepada pihak yang hadir, sedang terhadap pihak yang tidak hadir oleh Hakim
Ketua Sidang diperintahkan untuk dipanggil sekali lagi. Apabila pada hari
penundaan sidang tersebut tergugat atau kuasanya masih ada yang tidak hadir,
sidang dilanjutkan tanpa kehadirannya.Pemeriksaan sengketa dimulai dengan
membacakan isi gugatan dan surat yang memuat jawaban oleh Hakim Ketua Sidang
dan jika tidak ada surat jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk
mengajukan jawabannya. Hakim Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada kedua
belah pihak untuk menjelaskan seperlunya hal
yang diajukan oleh mereka masing-masing. Penggugat dapat mengubah alasan
yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik, asal disertai alasan yang
cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat, dan hal tersebut harus
dipertimbangkan dengan seksama oleh Hakim. Tergugat dapat mengubah alasan yang
mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik, asal disertai alasan yang
cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat dan hal tersebut harus
dipertimbangkan dengan seksama oleh Hakim.
Penggugat
dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban.
Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan
oleh penggugat akan dikabulkan oleh pengadilan hanya apabila disetujui
tergugat.Eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan dapat diajukan setiap
waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan
absolut Pengadilan, apabila hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatannya
wajib menyatakan bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang
bersangkutan. Eksepsi tentang kewenangan relatif Pengadilan diajukan sebelum
disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum
pokok sengketa diperiksa.
Eksepsi
lain yang tidak mengenai kewenangan Pengadilan hanya dapat diputus bersama
dengan pokok perkara.Demi kelancaran pemeriksaan sengketa, Hakim Ketua Sidang
berhak di dalam sidang memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa
mengenai upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam
sengketa. Ketentuan ini menunjukkan bahwa peranan hakim ketua sidang dalam
proses pemeriksaan sengketa TUN adalah aktif dan menentukan serta memimpin
jalannya persidangan agar pemeriksaan tidak berlarut-larut. Oleh karena itu,
cepat atau lambatnya penyelesaian sengketa tidak semata-mata bergantung pada
kehendak para pihak, melainkan Hakim harus selalu memperhatikan kepentingan
umum yang tidak boleh terlalu lama dihambat oleh sengketa itu.Hakim menentukan
apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan
untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti
berdasarkan keyakinan hakim. Pasal 107 UU No.5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun
2004 mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran materil. Berbeda
dengan sistem hukum pembuktian dalam hukum acara Perdata, maka dengan
memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada
fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, Hakim Peratun dapat menentukan
sendiri :
1.
Apa
yang harus dibuktikan.
2.
Siapa
yang harus dibebani pembuktian hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim
sendiri.
3.
Alat
bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian.
4.
Kekuatan
pembuktian bukti yang telah diajukan.
Alat
bukti terdiri dari : Surat atau tulisan, Keterangan ahli, Keterangan saksi,
Pengakuan para pihak, Pengetahuan hakim. Keadaan yang telah diketahui oleh umum
tidak perlu dibuktikan.Untuk kepentingan pemeriksaan dan apabila Hakim Ketua
Sidang memandang perlu ia dapat memerintahkan pemeriksaan terhadap surat yang
dipegang oleh Pejabat TUN, atau pejabat lain yang menyimpan surat, atau meminta
penjelasan dan keterangan tentang sesuatu yang bersangkutan dengan sengketa.
Hakim Ketua Sidang dapat memerintahkan pula supaya surat tersebut diperlihatkan
kepada Pengadilan dalam persidangan yang akan ditentukan untuk keperluan itu.
Apabila surat itu merupakan bagian dari sebuah daftar, sebelum diperlihatkan
oleh penyimpannya dibuat salinan surat itu sebagai ganti yang asli selama surat
yang asli belum diterima kembali dari pengadilan.Pemeriksaan saksi di
persidangan dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan
yang dipandang sebaik-baiknya oleh Hakim Ketua Sidang. Saksi yang sudah
diperiksa harus tetap di dalam ruang sidang kecuali jika hakim ketua sidang
menganggap perlu mendengar saksi yang lain di luar hadirnya saksi yang telah
didengar itu misalnya apabila saksi lain yang akan diperiksa itu berkeberatan
memberikan keterangan dengan tetap hadirnya saksi yang telah didengar.Atas
permintaan salah satu pihak atau karena jabatannya, Hakim Ketua Sidang dapat
memerintahkan seorang saksi untuk didengar dalam persidangan.Pejabat yang
dipanggil sebagai saksi wajib datang sendiri di persidangan. Biaya perjalanan
pejabat yang dipanggil sebagai saksi di Pengadilan tidak dibebankan sebagai
biaya perkara.Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggung
jawabkan meskipun telah dipanggil dengan patut dan hakim mempunyai cukup alasan
untuk menyangka bahwa saksi sengaja tidak datang, Hakim Ketua Sidang dapat
memberi perintah supaya saksi dibawa oleh polisi ke persidangan. Menjadi saksi
adalah satu kewajiban hukum setiap orang.
Orang
yang dipanggil menghadap sidang Pengadilan untuk menjadi saksi tetapi menolak
kewajiban itu dapat dipaksa untuk dihadapkan di persidangan dengan bantuan
polisi. Seorang saksi yang tidak
bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan yang bersangkutan tidak diwajibkan
datang di Pengadilan tersebut tetapi pemeriksaan saksi itu dapat diserahkan
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman saksi.
Ketua
Pengadilan yang mendelegasikan wewenang pemeriksaan saksi tersebut mencantumkan
dalam penetapannya dengan jelas hal atau persoalan yang harus ditanyakan kepada
saksi oleh Pengadilan yang diserahi delegasi wewenang tersebut.Dari pemeriksaan
saksi tersebut dibuat berita acara yang ditandatangani oleh Hakim dan Panitera
Pengadilan yang kemudian dikirimkan kepada Pengadilan yang memberikan delegasi
wewenang di atas.
1). Pada
setiap pemeriksaan, panitera harus membuat berita acara
sidang yang memuat segala sesuatu yang
terjadi dalam sidang.
2). Berita
acara sidang ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan panitera. Apabila salah
seorang dari mereka berhalangan, maka hal itu dinyatakan dalam berita acara
tersebut .Apabila hakim ketua sidang dan panitera berhalangan menandatangani
maka berita acara ditandatangani oleh ketua pengadilan dengan menyatakan
berhalangannya hakim ketua sidang dan panitera tersebut.Apabila suatu sengketa
tidak dapat diselesaikan pada suatu hari persidangan, pemeriksaan dilanjutkan
pada hari persidangan berikutnya. Lanjutan sidang harus diberitahukan kepada
kedua belah pihak, dan bagi mereka pemberitahuan ini disamakan dengan
panggilan. Dalam hal salah satu pihak yang datang pada hari persidangan pertama
ternyata tidak datang pada hari persidangan selanjutnya Hakim Ketua Sidang
menyuruh memberitahukan kepada pihak yang tidak hadir tentang waktu, hari, dan
tanggal persidangan berikutnya. (Pasal 95 UU No. 5 Tahun1986 jo UU No. 9 Tahun
2004).Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak
diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan
masing-masing.
e.
Putusan
Setelah
kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang menyatakan
bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim
bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna
putusan sengketa tersebut.Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh
Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali setelah
diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakataan bulat,
putusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila musyawarah majelis tersebut
tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah
majelis berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Maruarar Siahaan,
Dr. SH., Hukum Acara Mahkamah
Konstitus, Jakarta : Sinar Grafika, 2011
Rozali Abdullah, Hukum
Acara Peradilan tata Usaha Negara, Jakarta : Rajawali Pres, 1992.
Wiyono, R. SH., Hukum Acara
Peradilan tata Usaha Negara, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar