Rabu, 03 April 2013

Makalah-FENOMENA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) DI INDONESIA




Tugas Mandiri                                                                             Dosen Pembimbing
Sosiologi Hukum Islam                                                               Dr. Hertina M.Pd




FENOMENA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
DI INDONESIA



Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Deskripsi: Deskripsi: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: D:\document\doNwLoad\lain2\IQBAL\Data Entri New\logo baru uin suska riau.jpg



Disusun Oleh :
MAHARLIS IQBAL ROKHA
Nim. 10921007555






JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2012






BAB I
PENDAHULUAN


Setiap keluarga memimpikan dapat membangun keluarga  harmoni, bahagia dan saling mencintai, namun pada kenyataannya banyak keluarga yang merasa tidak nyaman, tertekan dan  sedih  karena terjadi kekerasan dalam keluarga, baik kekerasan yang bersifat fisik, psikologis, seksual,  emosional, maupun penelantaran. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, terlebih-lebih di era terbuka dan informasi yang kadangkala budaya kekerasan yang muncul lewat informasi tidak bisa terfilter pengaruh negatifnya terhadap kenyamanan hidup dalam rumah tangga. Kondisi yang demikian cenderung mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga mereka tidak bisa tumbuh dan berkembang secara natural, bahkan menghambat anak berprestasi di sekolahnya. Untuk dapat menyelamatkan pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, kiranya perlu dilakukan penanganan secara psikologis dan edukatif terhadap kasus KDRT, baik yang sifatnya kuratif maupun preventif, sehingga bukan saja berarti bagi pelaku KDRT, melainkan utamanya bagi korban KDRT dan masyarakatnya secara lebih luas. 
Namun, pada masa sekarang, KDRT semakin sering kita dengar, baik melalui media cetak maupun elektronik, bahkan menyaksikan Secara langsung.
Ini disebabkan banyak faktor. Maka dalam makalah ini penulis akan menyajikan KDRT dalam dua sudut pandang, yaitu : 1. Melalui kacamata sosiologi, dan 2. Melalalui kacamata sosiologi hukum Islam/Hukum Islam. Semoga bermanfaat. Aminn.




BAB II
PEMBAHASAN


A.     Defenisi KDRT
Keluarga merupakan satuan terkecil dari masyarakat yang  didalamnya berlangsung proses sosialisasi, baik di bidang agama, Ilmu pengetahuan, ekonomi maupun ideologi.
Kekerasan dalam Rumah Tangga atau biasa disingkat KDRT  dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orang tua, atau pasangan.
KDRT dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: Kekerasan fisik, penggunaan kekuatan fisik; kekerasan seksual, setiap aktivitas seksual yang dipaksakan; kekerasan emosional, tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan yang terjadi terus menerus; dan mengendalikan untuk memperoleh uang dan menggunakannya.
Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang  PKDRT pada pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.  Demikian juga pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (a) Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);  (b)  Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau (c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga)[1].
Lebih ekplisit lagi, Pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2004 menyatakan  bahwa : setiap orang di larang melakukan kekerasan  dalam  rumah  tangga  terhadap  orang  dalam lingkup rumah  tangga  dengan  cara  (a)  kekeraan  fisik,  (b)  kekerasan  psikis,  (c) kekerasan seksual, dan (d) penelantaran rumah tangga.

B.     BENTUK-BENTUK KDRT
Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga secara umum menurut undang-undang No. 23 tahun 2004 ada tiga, yaitu :
1.      Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6).
2.      Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7).
3.      Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4.      Penelantaran rumah tangga.[2].

Kekerasan seksual meliputi (pasal 8) :
1.      Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut ;
2.      Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
3.      Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).

C.     FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KDRT
Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga itu terjadi karena banyak faktor., faktor terpenting adalah soal ideologi dan culture (budaya), di mana perempuan cenderung di persepsi sebagai orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Atau, misalnya, dalam kasus kekerasan terhadap anak, selalu muncul pemahaman bahwa anak dianggap lebih rendah, tidak pernah dianggap sebagai mitra sehingga dalam kondisi apa pun anak harus menuruti apa pun kehendak orang tua.
Secara garis besar, KDRT terjadi karena beberapa Faktor, yaitu : Pertama, budaya Patriarkat. Kedua, interpretasi yang keliru atas ajaran agama. Ketiga, Pengaruh Role Model[3].
Ideologi dan kultur itu juga muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu. Zaman dulu, anak diwajibkan tunduk pada orang tua, tidak boleh mendebat barang sepatah kata pun. Kemudian, ketika ada informasi baru, misalnya dari televisi atau dari kampus, tentang pola budaya yang lain, misalnya yang menegaskan bahwa setiap orang punya hak yang sama, masyarakat kita sulit menerima. Jadi, persoalan kultur semacam itu ada di benak manusia dan direfleksikan dalam bentuk perilaku. Akibatnya, bisa kita lihat. Istri sedikit saja mendebat suami, mendapat aniaya. Anak berani tidak menurut, kena pukul.
Selain faktor di atas adapun bentuk ketidakadilan gender diantaranya yaitu :
1.      Marginalisasi
2.      Stereo Type
3.      Kekerasan
4.      Diskriminasi/subordinasi
5.      Beban gendar yaitu fungsi wanita sangatlah penting dapat dilihat dari pekerjaannya dalam rumah tangga mampu menyelesaikan banyak tugas dalam waktu yang bersamaan[4].
Sedangkan menurut Musni Umar Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) penyebabnya banyak faktor : Pertama, bisa kombinasi dari banyak persoalan,  seperti faktor ekonomi, sosial,  anak, dan lain sebagainya. Kedua, ekonomi. Ketiga,  pendidikan dan iman. Keempat,  politik. Kelima,  konflik bersenjata.
Faktor dominan yang menjadi penyebab KDRT ialah ekonomi. Dalam masalah ini, setidaknya terbagi dua kelompok  yang menjadi pelaku dan korban KDRT Pertama,  mereka  sudah mapan ekonominya. Kedua,  masyarakat miskin.
Mereka yang sudah mapan ekonominya, juga bisa melakukan KDRT.  Penyebabnya bisa berbagai macam seperti  sudah mempunyai pacar atau isteri  simpanan.  Selain itu, suami-isteri  sibuk,  anak kemudian tidak  mendapat perhatian, sehingga terlibat bergaulan bebas serta Narkoba. Akibatnya, suami melakukan KDRT ke isteri sebagai pelampiasan kekesalan.
Pada masyarakat bawah, KDRT dilakukan pada umumnya  karena kesulitan ekonomi. Suami atau isteri  melakukan KDRT untuk melampiaskan depresi atau stres akibat tekanan ekonomi. Kekerasan  rumah tangga karena tekanan ekonomi, banyak yang berujung dengan kematian. Bapak membunuh anak dan isteri, kemudian bunuh diri[5].
Kemudian menurut Chandra Dewi Puspitasari, Beberapa penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan antara lain karena beberapa hal berikut :
1.      Adanya pengaruh dari budaya patriarki yang ada ditengah masyarakat. Ada semacam hubungan kekuasaan di dalam rumah tangga yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki. Dalam struktur dominasi tersebut kekerasan seringkali digunakan untuk memenangkan perbedaan, menyatakan rasa tidak puas ataupun untuk mendemontrasikan dominasi semata-mata. Dari hubungan yang demikian seolah-olah laki-laki dapat melakukan apa saja kepada perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Dalam hal ini ada ketidaksetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Muncul ketidakadilan gender. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender tampak pada adanya peminggiran terhadap kaum perempuan (marginalisasi), penomorduaan (subordinasi), pelabelan (stereotipe negatif), adanya beban ganda pada perempuan serta kemungkinan munculnya kekerasan pada perempuan.
2.      Adanya pemahaman ajaran agama yang keliru. Pemahaman yang keliru seringkali menempatkan perempuan (istri) sebagai pihak yang berada di bawah kekuasaan laki-laki (suami), sehingga suami menganggap dirinya berhak melakukan apapun terhadap istri. Misalnya, pemukulan dianggap sebagai cara yang wajar dalam ”mendidik” istri.
3.      Prilaku meniru yang diserap oleh anak karena terbiasa melihat kekerasan dalam rumah tangga. Bagi anak, orang tua merupakan model atau panutan untuk anak. Anak memiliki kecenderungan untuk meniru prilaku kedua orang tuanya dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Anak yang terbiasa melihat kekerasan menganggap bahwa kekerasan adalah suatu penyelesaian permasalahan yang wajar untuk dilakukan. Hal ini akan dibawa hingga anakanak menjadi dewasa.
4.      Tekanan hidup yang dialami seseorang. Misalnya, himpitan ekonomi (kemiskinan), kehilangan pekerjaan (pengangguran), dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut memungkinkan seseorang mengalami stress dan kemudian dapat memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga[6].

D.    Dampak KDRT
Dampak kekerasan yang dialami oleh istri dapat menimbulkan akibat secara kejiwaan seperti kecemasan, murung, setres, minder, kehilangan percaya kepada suami, menyalahkan diri sendiri dan sebagainya. Akibat secara fisik seperti memar, patah tulang, cacat fisik, gangguan menstruasi, kerusakan rahim, keguguran, terjangkit penyakit menular, penyakit-penyakit psikomatis bahkan kematian.
Dampak psikologis lainnya akibat kekerasan yang berulang dan dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan intim dengan korban adalah jatuhnya harga diri dan konsep diri korban (ia akan melihat diri negatif banyak menyalahkan diri) maupun depresi dan bentuk-bentuk gangguan lain sebagai akibat dan bertumpuknya tekanan, kekecewaan dan kemarahan yang tidak dapat diungkapkan.
Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas pada istri saja, tetapi menimpa pada anak-anak juga. Anak-anak bisa mengalami penganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya, paling tidak setengah dari anak-anak yang hidup di dalam rumah tangga yang di dalamnya terjadi kekerasan juga mengalami perlakuan kejam. Sebagian besar diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi secara emosional maupun seksual.
Kehadiran anak dirumah tidak membuat laki-laki atau suami tidak menganiaya istrinya. Bahkan banyak kasus, lelaki penganiaya memaksa anaknya menyaksikan pemukulan ibunya. Sebagian menggunakan perbuatan itu sebagai cara tambahan untuk menyiksa dan menghina pasangannya.
Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi anak-anak, mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibunya sebagian berusaha menghentikan tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain.
Menurut data yang terkumpul dari seluruh dunia anak-anak yang sudah besar akhirnya membunuh ayahnya setelah bertahun-tahun tidak bisa membantu ibunya yang diperlakukan kejam. Selain terjadi dampak pada istri, bisa juga kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dialami oleh anak. Diantara ciri-ciri anak yang menyaksikan atau mengalami KDRT adalah:
a.       Sering gugup
b.      Suka menyendiri
c.       Cemas
d.      Sering ngompol
e.       Gelisah
f.        Gagap
g.       Sering menderita gangguan perut
h.       Sakit kepala dan asma
i.         Kejam pada binatang
j.        Ketika bermain meniru bahasa dan prilaku kejam
k.      Suka memukul teman.

Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan pelajaran pada anak bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah bagian yang wajar dari sebuah kehidupan. Anak akan belajar bahwa cara menghadapi tekanan adalah dengan melakukan kekerasan. Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan anak sesuatu yang biasa dan baik-baik saja. KDRT memberikan pelajaran pada anak laki-laki untuk tidak menghormati kaum perempuan[7].

E.     Pencegahan KDRT
Mencegah maraknya KDRT dengan mencegah pernikahan dini adalah tindakan yang gegabah.  Sebab, secara fitrah manusia dimungkinkan menikah pada usia dini.  Apa jadinya jika remaja yang sudah siap menikah dihalang-halangi untuk menikah hanya karena khawatir terjadi KDRT?  Tentu bahayanya akan jauh lebih besar.  Pergaulan bebas akan semakin merajalela.  Oleh karena itu, tindakan KDRT seharusnya tidak dicegah dengan mengharamkan pernikahan dini.
Menilik beberapa faktor pemicu KDRT sebagaimana yang dipaparkan di atas, maka tindakan KDRT dapat dicegah dengan :
Pertama, mempersiapkan diri dengan baik ketika berniat untuk  menikah.  Persiapan yang dimaksud bukan saja persiapan materi atau jasmani, namun meliputi persiapan mental, baik menyangkut penguatan akidah, pemahaman hukum-hukum Islam khususnya tentang kehidupan suami isteri, memperkuat kepribadian Islami dan sebagainya.
Kedua,  konsisten untuk turut andil dalam upaya mengubah kehidupan sekuler -liberalistik-kapitalistik yang menyebabkan beban persoalan keluarga kian berat.  Sejalan dengan penguatan internal individu-individu dalam keluarga, kondisi sosial yang melingkupi mereka tidak boleh kontra produktif.  Oleh karena itu, kehidupan masyarakat harus diubah menjadi kehidupan yang melahirkan kesejahteraan, ketenangan dan ketentraman.  Itulah kehidupan Islam yang menjalankan syariat Islam secara kaffah.  Upaya ini harus menjadi perhatian semua pihak jika tidak ingin laju tindak KDRT semakin kencang.
Tak seharusnya pernikahan dini menjadi kambing hitam tindak kedhaliman sistem dan manusia.  Hukum Allah SWT yang membolehkan pernikahan dini tentu membawa kabaikan bagi manusia.  Bila terdapat persoalan di balik semua itu, tentu perilaku manusialah yang layak menjadi sorotan, adakah kesalahan yang telah dilakukan selama ini.
Dengan demikian, setiap muslim dijamin haknya untuk menikah kapan pun dia mampu.  Syariat telah memberi rambu-rambu yang jelas dalam setiap pelaksanaan hukum-hukumnya.  Menikah dini memang membutuhkan persiapan lebih banyak, terlebih dalam sistem kehidupan sekuler kapitalistik saat ini.  Bila salah melangkah, jebakan KDRT akan siap menghadang.  Namun demikian, bukan mustahil akan terwujud kehidupan pernikahan dini yang sakinah mawaddah wa rahmah tanpa ancaman KDRT.  Semua tergantung sang pelaku[8].

F.      KDRT dalam Kacamata Sosiologi Hukum Islam
Setiap orang di dunia ini, tidak menginginkan menjadi korban kekerasan dalam bentuk apapun dan karena alasan apapun. Tetapi realitas sosial yang penuh dengan ragam kepentingan terkadang, dengan kesadaran atau tanpa kesadaran, memaksa orang untuk berbuat timpang dan menindas orang lain. Kekerasan-kekerasan pun terjadi dan masih terus akan terjadi selama konflik kepentingan itu masih ada dalam kehidupan ini. Semangat untuk mencari dan mewujudkan keadilan, menjadi penting untuk terus digulirkan dalam rangka menghapuskan ekses ketimpangan kehidupan, menghentikan kekerasan dan memberikan perlindungan kepada korban.
Kasus-kasus kekerasan dan penindasan yang menimpa kemanusiaan telah memotivasi banyak kalangan untuk mendakwahkan cara hidup dan pranata kehidupan yang lebih adil dan penuh kedamaian. Perbudakan manusia, penjajahan bangsa, perampasan sumber daya, kekerasan terhadap buruh dan minoritas, serta segala jenis kekerasan berbasis gender menjadi isu global yang diserukan untuk dihentikan. Sebagian sudah berhasil, seperti perbudakan manusia dan penjajahan dunia—walaupun saat ini wacana tentang perbudakan moderen (modern slavery) masih dirasakan oleh sebagian kalangan manusia seperti fenomena perdagangan manusia terutama pada perempuan dan anak- anak. Sebagian yang lain masih harus terus diperjuangkan untuk mendapatkan perhatian yang lebih layak.
Salah satu fenomena kekerasan terhadap manusia yang masih sering terjadi dan memerlukan perhatian dan penanganan serius adalah kekerasan dalam rumah tangga. Relasi suami-isteri yang timpang masih terus menimbulkan banyak korban dari kalangan perempuan dan anak-anak.
Minimnya kesadaran keadilan, cara pandang terhadap perempuan dan kesalahan dalam memahami pesan-pesan dan ajaran agama terkait hubungan suami isteri telah menyebabkan banyak orang, bahkan dari kalangan umat beragama dengan mudah melakukan kekerasan terhadap perempuan. Kehidupan rumah tangga yang diasumsikan dibangun untuk menumbuhkan keamanan dan kedamaian, justru berbalik menjadi tempat yang berpotensi terhadap tindak kekerasan[9].
Islam sangat menentang kekerasan dalam bentuk apapun termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Prinsip yang diajarkan Islam dalam membangun rumah tangga adalah mawaddah, rahmah dan adalah (kasih, sayang dan adil). Dalam al-Qur'an disebutkan :

ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ  

Artinya : "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir" (Ar-rum : 21)[10].

Dalam ayat lain disebutkan "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (An-Nisa : 129).

Allah SWT. juga berfirman: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo`alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Q.S. al-A’râf, 7:56).


“Wahai hamba-hamba-Ku, Aku haramkan kezaliaman terhadap diri-Ku, dan Aku jadikan kezaliman itu juga haram di antara kamu, maka janganlah kamu saling menzalimi satu sama lain”. (Hadis Qudsi, Riwayat Imam Muslim).

Text-text di atas sangat jelas menggariskan bahwa salah satu tujuan berumah tangga, adalah untuk menciptakan kehidupan yang penuh ketentraman dan bertabur kasih sayang. Keluarga sakînah anggota yang ada di dalamnya. Atau keluarga sakînah, mawaddah wa rahmah hanya bisa terbentuk apabila setiap anggota keluarga berupaya untuk saling menghormati, menyayangi, dan saling mencintai. Itulah fondasi dasar sebuah keluarga dalam Islam. Maka kekerasan dalam rumah tangga sangat dicela Islam dan sangat bertentangan dengan nilai-nailai keislaman.
Menjawab masalah KDRT melalui kacamata agama Islam adalah dengan implementasi hukum-hukum Islam ("Fiqih"), khususnya yang terkait dengan aturan dan ketentuan berumah tangga secara proporsional, benar dan kontekstual. Fenomena salah kaprah dalam memahami dan mengimplementasikan hukum-hukum agama yang terjadi di masyarakat perlu diluruskan, diproporsionalkan dan disosialisasikan sehingga KDRT yang dilakukan sebagian orang dengan dalih agama dapat dikurangi. Di samping itu, nilai-nilai mulia keagamaan yang anti kekerasan juga perlu terus didakwahkan. Dengan begitu, masyarakat kita yang cenderung fikih-minded juga mengamalkan fikih anti KDRT ini sebagai bagian dari keberagamaan mereka.
Berikut ini beberapa contoh hukum-hukum Islam yang sering salah dipahami dan digunakan sebagai dalih dalam beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga.



1.      Hukum memukul Isteri
Dalam surah An-Nisa' ayat:34 dikatakan:"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa bagi suami yang menghadapi isteri yang nusyuz (membangkang) diperbolehkan memukulnya, setelah nasehat dan boikot ranjang tidak berhasil. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum ini, ada yang mengatakan boleh asal tidak membekas dan tidak memukul muka. Namun beberapa ulama besar termasuk imam syafii mengatakan bagaimanapun memukul isteri itu hukumnya makruh dan sangat tercela.
Dalam tataran praktik, banyak kalangan masyarakat yang memilih pendapat pertama sehingga banyak sekali kasus-kasus pemukulan isteri yang melampau batas-batas yang telah digariskan. Kasus-kasus ini tidak sedikit yang mengatasnamakan ‘kebolehan’ dari Islam.
Pandangan ini harus dirubah dan diganti dengan pendapat kedua yang mengatakan bahwa pemukulan terhadap istri, apapun bentuknya, adalah pelanggaran terhadap ajaran kasih sayang dan anjuran keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, yang ditegaskan al-Qur’an. Pandangan ini sesuai dengan hadis Nabi SAW. yang diriwayatkan Abdullah bin Zam’ah, bahwa Nabi SAW. bersabda: “Sesungguhnya aku tidak senang (benci) terhadap lelaki yang memukul istrinya ketika dia marah, padahal bisa saja setelah itu menggaulinya pada hari yang sama”. (Ibn ‘Arabi, juz I, hal. 420).
Dalam riwayat lain Rasulullah s.a.w. mengatakan “Mereka suami yang suka memukul isteri bukanlah orang-orang yang terbaik”. (Riwayat Abu Dawud). Imam Ali bin Abi Thalib ra juag mengatakan: “Hanya orang-orang mulia yang akan memuliakan perempuan, dan hanya orang-orang hina yang menistakan perempuan”.

2.      Hukum Kawin Paksa
Ada silang pendapat dalam kalangan ulama fiqih tentang hukum kawin paksa. Sebagian berpendapat boleh karena kekuasaan menikahkan bagi seorang gadis adalah terletak pada walinya atau oarng tuanya. Celakanya pendapat ini dijadikan landasan bagi kasus-kasus kawin paksa.
Pandangan itu harus kita kikis dan kita ganti dengan pendapat yang benar bahwa ajaran Islam sama sekali menentang tindakan kawin paksa dan wajib hukumnya mempertimbangkan pendapat mempelai dalam pernikahan. Pendapat ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari, Malik, Abu Dawud dan an-Nasa’i, bahwa ketika seorang perempuan yang bernama Khansa binti Khidam ra merasa dipaksa dikawinkan oleh orang tuanya, Nabi mengembalikan keputusan itu kepadanya; mau diteruskan atau dibatalkan, bukan kepada orang tuanya. Bahkan dalam riwayat Abu Salamah, Nabi SAW. menyatakan kepada Khansa r.a.: “Kamu yang berhak untuk menikah dengan seseorang yang kamu kehendaki”. Khansa pun pada akhirnya kawin dengan laki-laki pilihannya Abu Lubabah bin Abd al-Mundzir r.a. Dari perkawinan ini ia dikarunia anak bernama Saib bin Abu Lubabah. (Lihat: Jamaluddin Abdullah bin Yusuf az-Zayla’i, Nashb ar-Rayah Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah, 2002: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut, juz III, hal. 232).

3.      Hukum Hubungan Seksual Suami Isteri
Dalam sebuah hadis, dari Sahabat Abu Hurairah ra, dikatakan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Jika suami mengajak isterinya ke tempat tidur, tetapi sang isteri menolak, sehingga suami marah sampai pagi, maka sang isteri akan dilaknat para malaikat sampai pagi”. (HR. Bukhari).
Banyak yang salah memahami hadis tersebut bahwa wajib bagi isteri untuk melayani suami dalam kondisi apapun. Isteri ibarat pelayan seksual suami sehingga ia wajib melayani suami kapanpun dan ia selalu dituntut untuk memberikan kepuasan terhadap suami, kapan dan di manapun. Sementara dirinya tidak diberi kesempatan untuk memperoleh kepuasan. Apabila isteri menolak maka sering terjadi kekerasanlah yang justru menimpa isteri.
Perilaku dan pandangan umum seperti itu perlu diluruskan dan ditegaskan bahwa itu menyalahi ajaran dasar Islam. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa suami adalah baju bagi isteri, dan sebaliknya isteri adalah baju bagi suami (Hunna libâsun lakum wa antum libâsun lahunn, QS. Al-Baqarah, 2: 187). Ayat ini lahir dalam konteks hubungan intim antara suami dan isteri. Sehingga bisa dikatakan bahwa kebutuhan dan kepuasan seksual menurut al-Qur’an, adalah persoalan yang bersifat timbal balik. Jika ingin dipuaskan pasangannya, tentu pada saat yang sama ia harus bisa memuaskan. Suami juga harus mengerti ketika sang isteri menolak hubungan intim karena persoalan kelelahan, kesehatan atau alasan lainnya.
Teks hadis mengenai laknat di atas tidak seharusnya dipahami secara literal. Para ulama fiqh sendiri, telah menyatakan bahwa pelaknatan ini ditujukan kepada perempuan yang menolak dengan tanpa alasan apapun. Bahkan menurut Hamim Ilyas, bahwa teks hadis di atas lahir pada konteks di mana banyak perempuan yang melakukan “pantang bilah” terhadap suaminya. Yaitu tradisi para perempuan untuk tidak melayani suaminya selama menyusui, setelah melahirkan. Tradisi ini yang mendasari lahirnya pernyataan Nabi SAW. tentang laknat tersebut. Tentu saja tradisi ini sangat memberatkan suami untuk tidak berhubungan intim, apalagi kalau masa menyusui sampai mencapai dua tahun. Karena itu, Nabi SAW. menganjurkan para istri untuk tidak menolak ajakan suami pada masa pantang bilah tersebut[11].

G.    Hambatan-Hambatan Dalam Penanganan KDRT
Hambatan dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga dimulai pada saat penyidikan. Penyidik Polisi (Polri) menghadapi kendala karena masih kuatnya anggapan masyarakat bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah persoalan pribadi atau persoalan rumah tangga, sehingga tidak layak dicampuri oleh orang lain atau polisi. Perempuan (istri) karena memiliki perasaan hati nurani yang lembut dan kentalnya adat dan budaya Timur, menjadi tidak tega memberi balasan kepada suami atau mantan suami dengan melaporkan perbuatannya kepada polisi, meskipun telah menyakiti dan menyiksanya baik secara fisik, maupun psikis.
Pada umumnya fenomena kasus kekerasan dalam rumah tangga rnempunyai spesifikasi sendiri, antara lain sebagai berikut :
1.      Terjadinya tindak kekerasan lebih banyak diketahui oleh pelaku dan korban saja, sehingga kurang adanya saksi maupun alat bukti lainnya yang memenuhi Pasal 183 dan 184 KUHAP.
2.      Pihak korban enggan melaporkan kasusnya karena merasa tabu dan beranggapan akan membuka aib keluarga sendiri terutama terhadap kasus yang berhubungan dengan seksual.
3.      Bagi korban yang mau melapor dan perkaranya memenuhi syarat formil maupun materiil, tidak jarang berusaha mencabut kembali, karena merasa is sangat memerlukan masa depan bagi anak-anaknya dan masih menginginkan rumah tangganya dapat dibangun kembali.
4.      Keterlambatan laporan dari korban atas terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga, akan berpengaruh terhadap tingkat kesukaran penyidik dalam melakukan proses penyidikan, terutama pengumpulan saksi dan barang bukti[12].









[1] Rochmat Wahab, KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA : Perspektif Psikologis dan Edukatif, th, tt, hal : 3-4.
[2] Achmad Muthali’in, Bias Gender dalam Pendidikan, Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2001, hal : 3.
[3] Abdurrahman wahid, et all. Menakar Harga Perempuan, Bandung : Mizan, 1999, hal : 194.
[4] Ibid, hal : 4.
[6] Chandra Dewi Puspitasari, Perempuan Dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, hal 3-4.
[8] Yusriana (Lajnah Siyasi MHTI), Nikah Dini, Penyebab KDRT?, http://www.globalmuslim. web.id/2011/10/nikah-dini-penyebab-kdrt.html
[9] Takariawan, Cahyadi, Pernik-Pernik Rumah Tangga Islam, Solo : Intermedia, 2000, hal:
[10] Qur’an in Word, Ar-Rum : 21.
[12] Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga, Jakarta : Sinar Grafika, 2010, hal : 135-136.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar