Tugas Mandiri Dosen
Pembimbing
Sosiologi
Hukum Islam Dr. Hertina M.Pd
FENOMENA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
DI
INDONESIA
Disusun Oleh :
MAHARLIS IQBAL ROKHA
Nim. 10921007555
JURUSAN AHWAL
AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS
SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap keluarga memimpikan dapat membangun keluarga harmoni, bahagia dan saling mencintai, namun
pada kenyataannya banyak keluarga yang merasa tidak nyaman, tertekan dan sedih
karena terjadi kekerasan dalam keluarga, baik kekerasan yang bersifat
fisik, psikologis, seksual, emosional,
maupun penelantaran. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat disebabkan oleh
faktor internal dan eksternal, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama,
terlebih-lebih di era terbuka dan informasi yang kadangkala budaya kekerasan
yang muncul lewat informasi tidak bisa terfilter pengaruh negatifnya terhadap
kenyamanan hidup dalam rumah tangga. Kondisi yang demikian cenderung mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga mereka tidak bisa tumbuh dan
berkembang secara natural, bahkan menghambat anak berprestasi di sekolahnya.
Untuk dapat menyelamatkan pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal,
kiranya perlu dilakukan penanganan secara psikologis dan edukatif terhadap
kasus KDRT, baik yang sifatnya kuratif maupun preventif, sehingga bukan saja
berarti bagi pelaku KDRT, melainkan utamanya bagi korban KDRT dan masyarakatnya
secara lebih luas.
Namun, pada masa sekarang, KDRT semakin sering kita dengar, baik
melalui media cetak maupun elektronik, bahkan menyaksikan Secara langsung.
Ini disebabkan banyak faktor. Maka dalam makalah ini penulis akan menyajikan
KDRT dalam dua sudut pandang, yaitu : 1. Melalui kacamata sosiologi, dan 2.
Melalalui kacamata sosiologi hukum Islam/Hukum Islam. Semoga bermanfaat. Aminn.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Defenisi KDRT
Keluarga merupakan satuan terkecil dari
masyarakat yang didalamnya berlangsung
proses sosialisasi, baik di bidang agama, Ilmu pengetahuan, ekonomi maupun
ideologi.
Kekerasan dalam Rumah Tangga atau biasa
disingkat KDRT dapat diartikan sebagai
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orang tua, atau
pasangan.
KDRT dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk,
di antaranya: Kekerasan fisik, penggunaan kekuatan fisik; kekerasan seksual,
setiap aktivitas seksual yang dipaksakan; kekerasan emosional, tindakan yang
mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan yang terjadi terus menerus; dan
mengendalikan untuk memperoleh uang dan menggunakannya.
Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004
tentang PKDRT pada pasal 1 butir 1
menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Demikian juga pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan
bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (a) Suami, isteri,
dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
(b) Orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena
hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau (c) Orang yang
bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja
Rumah Tangga)[1].
Lebih ekplisit lagi, Pasal 5 UU
Nomor 23 Tahun 2004 menyatakan bahwa :
setiap orang di larang melakukan kekerasan
dalam rumah tangga
terhadap orang dalam lingkup rumah tangga
dengan cara (a)
kekeraan fisik, (b)
kekerasan psikis, (c) kekerasan seksual, dan (d) penelantaran
rumah tangga.
B.
BENTUK-BENTUK
KDRT
Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga
secara umum menurut undang-undang No. 23 tahun 2004 ada tiga, yaitu :
1.
Kekerasan fisik adalah perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6).
2.
Kekerasan psikis adalah perbuatan
yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang (pasal 7).
3.
Kekerasan seksual adalah setiap
perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual
dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4.
Penelantaran rumah tangga.[2].
Kekerasan seksual meliputi (pasal 8)
:
1.
Pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut ;
2.
Pemaksaan hubungan seksual terhadap
salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu.
3.
Penelantaran rumah tangga adalah
seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja
yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali
orang tersebut (pasal 9).
C.
FAKTOR
PENYEBAB TERJADINYA KDRT
Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga itu
terjadi karena banyak faktor., faktor terpenting adalah soal ideologi dan culture
(budaya), di mana perempuan cenderung di persepsi sebagai orang nomor dua dan
bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Atau, misalnya, dalam kasus kekerasan
terhadap anak, selalu muncul pemahaman bahwa anak dianggap lebih rendah, tidak
pernah dianggap sebagai mitra sehingga dalam kondisi apa pun anak harus menuruti
apa pun kehendak orang tua.
Secara garis besar, KDRT terjadi karena beberapa
Faktor, yaitu : Pertama, budaya Patriarkat. Kedua,
interpretasi yang keliru atas ajaran agama. Ketiga, Pengaruh Role
Model[3].
Ideologi dan kultur itu juga muncul karena
transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu. Zaman dulu, anak
diwajibkan tunduk pada orang tua, tidak boleh mendebat barang sepatah kata pun.
Kemudian, ketika ada informasi baru, misalnya dari televisi atau dari kampus,
tentang pola budaya yang lain, misalnya yang menegaskan bahwa setiap orang
punya hak yang sama, masyarakat kita sulit menerima. Jadi, persoalan kultur
semacam itu ada di benak manusia dan direfleksikan dalam bentuk perilaku.
Akibatnya, bisa kita lihat. Istri sedikit saja mendebat suami, mendapat aniaya.
Anak berani tidak menurut, kena pukul.
Selain faktor di atas adapun bentuk ketidakadilan
gender diantaranya yaitu :
1.
Marginalisasi
2.
Stereo Type
3.
Kekerasan
4.
Diskriminasi/subordinasi
5.
Beban gendar yaitu fungsi wanita
sangatlah penting dapat dilihat dari pekerjaannya dalam rumah tangga mampu
menyelesaikan banyak tugas dalam waktu yang bersamaan[4].
Sedangkan menurut Musni Umar Kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) penyebabnya banyak faktor : Pertama, bisa kombinasi
dari banyak persoalan, seperti faktor ekonomi, sosial, anak, dan
lain sebagainya. Kedua, ekonomi. Ketiga,
pendidikan dan iman. Keempat, politik. Kelima,
konflik bersenjata.
Faktor dominan yang menjadi penyebab KDRT
ialah ekonomi. Dalam masalah ini, setidaknya terbagi dua kelompok yang menjadi
pelaku dan korban KDRT Pertama, mereka sudah mapan
ekonominya. Kedua, masyarakat miskin.
Mereka yang sudah mapan ekonominya, juga bisa
melakukan KDRT. Penyebabnya bisa berbagai macam seperti sudah
mempunyai pacar atau isteri simpanan. Selain itu,
suami-isteri sibuk, anak kemudian tidak mendapat perhatian,
sehingga terlibat bergaulan bebas serta Narkoba. Akibatnya, suami melakukan
KDRT ke isteri sebagai pelampiasan kekesalan.
Pada masyarakat bawah, KDRT dilakukan pada
umumnya karena kesulitan ekonomi. Suami atau isteri melakukan KDRT
untuk melampiaskan depresi atau stres akibat tekanan ekonomi. Kekerasan
rumah tangga karena tekanan ekonomi, banyak yang berujung dengan kematian.
Bapak membunuh anak dan isteri, kemudian bunuh diri[5].
Kemudian menurut Chandra Dewi Puspitasari,
Beberapa penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan antara lain karena
beberapa hal berikut :
1.
Adanya pengaruh dari budaya
patriarki yang ada ditengah masyarakat. Ada semacam hubungan kekuasaan di dalam
rumah tangga yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada
laki-laki. Dalam struktur dominasi tersebut kekerasan seringkali digunakan
untuk memenangkan perbedaan, menyatakan rasa tidak puas ataupun untuk
mendemontrasikan dominasi semata-mata. Dari hubungan yang demikian seolah-olah
laki-laki dapat melakukan apa saja kepada perempuan, termasuk kekerasan dalam
rumah tangga. Dalam hal ini ada ketidaksetaraan antara laki-laki dengan
perempuan. Muncul ketidakadilan gender. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender
tampak pada adanya peminggiran terhadap kaum perempuan (marginalisasi),
penomorduaan (subordinasi), pelabelan (stereotipe negatif), adanya beban
ganda pada perempuan serta kemungkinan munculnya kekerasan pada perempuan.
2.
Adanya pemahaman ajaran agama yang
keliru. Pemahaman yang keliru seringkali menempatkan perempuan (istri) sebagai
pihak yang berada di bawah kekuasaan laki-laki (suami), sehingga suami
menganggap dirinya berhak melakukan apapun terhadap istri. Misalnya, pemukulan
dianggap sebagai cara yang wajar dalam ”mendidik” istri.
3.
Prilaku meniru yang diserap oleh
anak karena terbiasa melihat kekerasan dalam rumah tangga. Bagi anak, orang tua
merupakan model atau panutan untuk anak. Anak memiliki kecenderungan untuk
meniru prilaku kedua orang tuanya dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Anak
yang terbiasa melihat kekerasan menganggap bahwa kekerasan adalah suatu
penyelesaian permasalahan yang wajar untuk dilakukan. Hal ini akan dibawa
hingga anakanak menjadi dewasa.
4.
Tekanan hidup yang dialami
seseorang. Misalnya, himpitan ekonomi (kemiskinan), kehilangan pekerjaan
(pengangguran), dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut memungkinkan seseorang
mengalami stress dan kemudian dapat memicu terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga[6].
D.
Dampak KDRT
Dampak kekerasan yang dialami oleh istri dapat menimbulkan
akibat secara kejiwaan seperti kecemasan, murung, setres, minder, kehilangan
percaya kepada suami, menyalahkan diri sendiri dan sebagainya. Akibat secara
fisik seperti memar, patah tulang, cacat fisik, gangguan menstruasi, kerusakan
rahim, keguguran, terjangkit penyakit menular, penyakit-penyakit psikomatis
bahkan kematian.
Dampak psikologis lainnya akibat kekerasan yang berulang dan
dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan intim dengan korban adalah jatuhnya
harga diri dan konsep diri korban (ia akan melihat diri negatif banyak
menyalahkan diri) maupun depresi dan bentuk-bentuk gangguan lain sebagai akibat
dan bertumpuknya tekanan, kekecewaan dan kemarahan yang tidak dapat
diungkapkan.
Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak
terbatas pada istri saja, tetapi menimpa pada anak-anak juga. Anak-anak bisa
mengalami penganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan akibat
menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya, paling tidak setengah dari
anak-anak yang hidup di dalam rumah tangga yang di dalamnya terjadi kekerasan
juga mengalami perlakuan kejam. Sebagian besar diperlakukan kejam secara fisik,
sebagian lagi secara emosional maupun seksual.
Kehadiran anak dirumah tidak membuat laki-laki atau suami tidak
menganiaya istrinya. Bahkan banyak kasus, lelaki penganiaya memaksa anaknya
menyaksikan pemukulan ibunya. Sebagian menggunakan perbuatan itu sebagai cara
tambahan untuk menyiksa dan menghina pasangannya.
Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis
bagi anak-anak, mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu
berbuat sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibunya sebagian berusaha menghentikan
tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain.
Menurut data yang terkumpul dari seluruh dunia anak-anak yang
sudah besar akhirnya membunuh ayahnya setelah bertahun-tahun tidak bisa
membantu ibunya yang diperlakukan kejam. Selain terjadi dampak pada istri, bisa
juga kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dialami oleh anak. Diantara
ciri-ciri anak yang menyaksikan atau mengalami KDRT adalah:
a.
Sering gugup
b.
Suka menyendiri
c.
Cemas
d.
Sering ngompol
e.
Gelisah
f.
Gagap
g.
Sering menderita
gangguan perut
h.
Sakit kepala dan
asma
i.
Kejam pada binatang
j.
Ketika bermain
meniru bahasa dan prilaku kejam
k.
Suka memukul teman.
Kekerasan dalam Rumah
Tangga merupakan pelajaran pada anak bahwa kekejaman dalam
bentuk penganiayaan adalah bagian yang wajar dari sebuah kehidupan. Anak
akan belajar bahwa cara menghadapi tekanan adalah dengan melakukan kekerasan.
Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan anak sesuatu yang biasa dan
baik-baik saja. KDRT memberikan pelajaran pada anak laki-laki untuk tidak
menghormati kaum perempuan[7].
E.
Pencegahan
KDRT
Mencegah maraknya KDRT dengan
mencegah pernikahan dini adalah tindakan yang gegabah. Sebab, secara
fitrah manusia dimungkinkan menikah pada usia dini. Apa jadinya jika
remaja yang sudah siap menikah dihalang-halangi untuk menikah hanya karena
khawatir terjadi KDRT? Tentu bahayanya akan jauh lebih besar.
Pergaulan bebas akan semakin merajalela. Oleh karena itu, tindakan KDRT
seharusnya tidak dicegah dengan mengharamkan pernikahan dini.
Menilik beberapa faktor pemicu
KDRT sebagaimana yang dipaparkan di atas, maka tindakan KDRT dapat dicegah
dengan :
Pertama,
mempersiapkan diri dengan baik ketika berniat untuk menikah.
Persiapan yang dimaksud bukan saja persiapan materi atau jasmani, namun
meliputi persiapan mental, baik menyangkut penguatan akidah, pemahaman
hukum-hukum Islam khususnya tentang kehidupan suami isteri, memperkuat
kepribadian Islami dan sebagainya.
Kedua,
konsisten untuk turut andil dalam upaya mengubah kehidupan sekuler
-liberalistik-kapitalistik yang menyebabkan beban persoalan keluarga kian
berat. Sejalan dengan penguatan internal individu-individu dalam
keluarga, kondisi sosial yang melingkupi mereka tidak boleh kontra produktif.
Oleh karena itu, kehidupan masyarakat harus diubah menjadi kehidupan yang
melahirkan kesejahteraan, ketenangan dan ketentraman. Itulah kehidupan
Islam yang menjalankan syariat Islam secara kaffah. Upaya ini harus
menjadi perhatian semua pihak jika tidak ingin laju tindak KDRT semakin
kencang.
Tak seharusnya pernikahan dini
menjadi kambing hitam tindak kedhaliman sistem dan manusia. Hukum Allah
SWT yang membolehkan pernikahan dini tentu membawa kabaikan bagi manusia.
Bila terdapat persoalan di balik semua itu, tentu perilaku manusialah yang
layak menjadi sorotan, adakah kesalahan yang telah dilakukan selama ini.
Dengan demikian, setiap muslim
dijamin haknya untuk menikah kapan pun dia mampu. Syariat telah memberi
rambu-rambu yang jelas dalam setiap pelaksanaan hukum-hukumnya. Menikah
dini memang membutuhkan persiapan lebih banyak, terlebih dalam sistem kehidupan
sekuler kapitalistik saat ini. Bila salah melangkah, jebakan KDRT akan
siap menghadang. Namun demikian, bukan mustahil akan terwujud kehidupan pernikahan
dini yang sakinah mawaddah wa rahmah tanpa ancaman KDRT. Semua tergantung
sang pelaku[8].
F.
KDRT dalam
Kacamata Sosiologi Hukum Islam
Setiap orang di dunia ini, tidak menginginkan
menjadi korban kekerasan dalam bentuk apapun dan karena alasan apapun. Tetapi
realitas sosial yang penuh dengan ragam kepentingan terkadang, dengan kesadaran
atau tanpa kesadaran, memaksa orang untuk berbuat timpang dan menindas orang
lain. Kekerasan-kekerasan pun terjadi dan masih terus akan terjadi selama
konflik kepentingan itu masih ada dalam kehidupan ini. Semangat untuk mencari
dan mewujudkan keadilan, menjadi penting untuk terus digulirkan dalam rangka
menghapuskan ekses ketimpangan kehidupan, menghentikan kekerasan dan memberikan
perlindungan kepada korban.
Kasus-kasus kekerasan dan penindasan yang
menimpa kemanusiaan telah memotivasi banyak kalangan untuk mendakwahkan cara
hidup dan pranata kehidupan yang lebih adil dan penuh kedamaian. Perbudakan
manusia, penjajahan bangsa, perampasan sumber daya, kekerasan terhadap buruh
dan minoritas, serta segala jenis kekerasan berbasis gender menjadi isu global
yang diserukan untuk dihentikan. Sebagian sudah berhasil, seperti perbudakan
manusia dan penjajahan dunia—walaupun saat ini wacana tentang perbudakan
moderen (modern slavery) masih dirasakan oleh sebagian kalangan manusia
seperti fenomena perdagangan manusia terutama pada perempuan dan anak- anak.
Sebagian yang lain masih harus terus diperjuangkan untuk mendapatkan perhatian
yang lebih layak.
Salah satu fenomena kekerasan terhadap manusia
yang masih sering terjadi dan memerlukan perhatian dan penanganan serius adalah
kekerasan dalam rumah tangga. Relasi suami-isteri yang timpang masih terus
menimbulkan banyak korban dari kalangan perempuan dan anak-anak.
Minimnya kesadaran keadilan, cara pandang
terhadap perempuan dan kesalahan dalam memahami pesan-pesan dan ajaran agama
terkait hubungan suami isteri telah menyebabkan banyak orang, bahkan dari
kalangan umat beragama dengan mudah melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Kehidupan rumah tangga yang diasumsikan dibangun untuk menumbuhkan keamanan dan
kedamaian, justru berbalik menjadi tempat yang berpotensi terhadap tindak
kekerasan[9].
Islam sangat menentang kekerasan dalam bentuk
apapun termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Prinsip yang diajarkan Islam
dalam membangun rumah tangga adalah mawaddah, rahmah dan adalah (kasih,
sayang dan adil). Dalam al-Qur'an disebutkan :
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
Artinya : "Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir"
(Ar-rum : 21)[10].
Dalam ayat
lain disebutkan "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena
itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang" (An-Nisa : 129).
Allah SWT. juga
berfirman: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdo`alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat
kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Q.S. al-A’râf, 7:56).
“Wahai
hamba-hamba-Ku, Aku haramkan kezaliaman terhadap diri-Ku, dan Aku jadikan
kezaliman itu juga haram di antara kamu, maka janganlah kamu saling menzalimi
satu sama lain”. (Hadis Qudsi, Riwayat Imam Muslim).
Text-text di atas sangat jelas menggariskan bahwa
salah satu tujuan berumah tangga, adalah untuk menciptakan kehidupan yang penuh
ketentraman dan bertabur kasih sayang. Keluarga sakînah anggota yang ada di
dalamnya. Atau keluarga sakînah, mawaddah wa rahmah hanya bisa terbentuk
apabila setiap anggota keluarga berupaya untuk saling menghormati, menyayangi,
dan saling mencintai. Itulah fondasi dasar sebuah keluarga dalam Islam. Maka
kekerasan dalam rumah tangga sangat dicela Islam dan sangat bertentangan dengan
nilai-nailai keislaman.
Menjawab masalah KDRT melalui kacamata agama
Islam adalah dengan implementasi hukum-hukum Islam ("Fiqih"),
khususnya yang terkait dengan aturan dan ketentuan berumah tangga secara
proporsional, benar dan kontekstual. Fenomena salah kaprah dalam memahami dan
mengimplementasikan hukum-hukum agama yang terjadi di masyarakat perlu
diluruskan, diproporsionalkan dan disosialisasikan sehingga KDRT yang dilakukan
sebagian orang dengan dalih agama dapat dikurangi. Di samping itu, nilai-nilai
mulia keagamaan yang anti kekerasan juga perlu terus didakwahkan. Dengan
begitu, masyarakat kita yang cenderung fikih-minded juga mengamalkan
fikih anti KDRT ini sebagai bagian dari keberagamaan mereka.
Berikut ini beberapa contoh hukum-hukum Islam
yang sering salah dipahami dan digunakan sebagai dalih dalam beberapa kasus
kekerasan dalam rumah tangga.
1.
Hukum memukul
Isteri
Dalam surah An-Nisa' ayat:34
dikatakan:"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan
bahwa bagi suami yang menghadapi isteri yang nusyuz (membangkang)
diperbolehkan memukulnya, setelah nasehat dan boikot ranjang tidak berhasil.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum ini, ada yang mengatakan boleh asal
tidak membekas dan tidak memukul muka. Namun beberapa ulama besar termasuk imam
syafii mengatakan bagaimanapun memukul isteri itu hukumnya makruh dan sangat
tercela.
Dalam tataran praktik, banyak kalangan
masyarakat yang memilih pendapat pertama sehingga banyak sekali kasus-kasus
pemukulan isteri yang melampau batas-batas yang telah digariskan. Kasus-kasus
ini tidak sedikit yang mengatasnamakan ‘kebolehan’ dari Islam.
Pandangan ini harus dirubah dan diganti dengan
pendapat kedua yang mengatakan bahwa pemukulan terhadap istri, apapun
bentuknya, adalah pelanggaran terhadap ajaran kasih sayang dan anjuran keluarga
sakinah, mawaddah wa rahmah, yang ditegaskan al-Qur’an. Pandangan ini sesuai
dengan hadis Nabi SAW. yang diriwayatkan Abdullah bin Zam’ah, bahwa Nabi SAW.
bersabda: “Sesungguhnya aku tidak senang (benci) terhadap lelaki yang memukul
istrinya ketika dia marah, padahal bisa saja setelah itu menggaulinya pada hari
yang sama”. (Ibn ‘Arabi, juz I, hal. 420).
Dalam riwayat lain Rasulullah s.a.w.
mengatakan “Mereka suami yang suka memukul isteri bukanlah orang-orang yang
terbaik”. (Riwayat Abu Dawud). Imam Ali bin Abi Thalib ra juag mengatakan:
“Hanya orang-orang mulia yang akan memuliakan perempuan, dan hanya orang-orang
hina yang menistakan perempuan”.
2.
Hukum Kawin
Paksa
Ada silang pendapat dalam kalangan ulama fiqih
tentang hukum kawin paksa. Sebagian berpendapat boleh karena kekuasaan
menikahkan bagi seorang gadis adalah terletak pada walinya atau oarng tuanya.
Celakanya pendapat ini dijadikan landasan bagi kasus-kasus kawin paksa.
Pandangan itu harus kita kikis dan kita ganti
dengan pendapat yang benar bahwa ajaran Islam sama sekali menentang tindakan
kawin paksa dan wajib hukumnya mempertimbangkan pendapat mempelai dalam
pernikahan. Pendapat ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari,
Malik, Abu Dawud dan an-Nasa’i, bahwa ketika seorang perempuan yang bernama
Khansa binti Khidam ra merasa dipaksa dikawinkan oleh orang tuanya, Nabi
mengembalikan keputusan itu kepadanya; mau diteruskan atau dibatalkan, bukan
kepada orang tuanya. Bahkan dalam riwayat Abu Salamah, Nabi SAW. menyatakan
kepada Khansa r.a.: “Kamu yang berhak untuk menikah dengan seseorang yang kamu
kehendaki”. Khansa pun pada akhirnya kawin dengan laki-laki pilihannya Abu
Lubabah bin Abd al-Mundzir r.a. Dari perkawinan ini ia dikarunia anak bernama
Saib bin Abu Lubabah. (Lihat: Jamaluddin Abdullah bin Yusuf az-Zayla’i, Nashb
ar-Rayah Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah, 2002: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut,
juz III, hal. 232).
3.
Hukum Hubungan
Seksual Suami Isteri
Dalam sebuah hadis, dari Sahabat Abu Hurairah
ra, dikatakan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Jika suami mengajak isterinya ke
tempat tidur, tetapi sang isteri menolak, sehingga suami marah sampai pagi,
maka sang isteri akan dilaknat para malaikat sampai pagi”. (HR. Bukhari).
Banyak yang salah memahami hadis tersebut bahwa
wajib bagi isteri untuk melayani suami dalam kondisi apapun. Isteri ibarat
pelayan seksual suami sehingga ia wajib melayani suami kapanpun dan ia selalu
dituntut untuk memberikan kepuasan terhadap suami, kapan dan di manapun.
Sementara dirinya tidak diberi kesempatan untuk memperoleh kepuasan. Apabila
isteri menolak maka sering terjadi kekerasanlah yang justru menimpa isteri.
Perilaku dan pandangan umum seperti itu perlu
diluruskan dan ditegaskan bahwa itu menyalahi ajaran dasar Islam. Dalam
al-Qur’an disebutkan bahwa suami adalah baju bagi isteri, dan sebaliknya isteri
adalah baju bagi suami (Hunna libâsun lakum wa antum libâsun lahunn, QS.
Al-Baqarah, 2: 187). Ayat ini lahir dalam konteks hubungan intim antara suami
dan isteri. Sehingga bisa dikatakan bahwa kebutuhan dan kepuasan seksual
menurut al-Qur’an, adalah persoalan yang bersifat timbal balik. Jika ingin
dipuaskan pasangannya, tentu pada saat yang sama ia harus bisa memuaskan. Suami
juga harus mengerti ketika sang isteri menolak hubungan intim karena persoalan
kelelahan, kesehatan atau alasan lainnya.
Teks hadis mengenai laknat di atas tidak
seharusnya dipahami secara literal. Para ulama fiqh sendiri, telah menyatakan
bahwa pelaknatan ini ditujukan kepada perempuan yang menolak dengan tanpa alasan
apapun. Bahkan menurut Hamim Ilyas, bahwa teks hadis di atas lahir pada konteks
di mana banyak perempuan yang melakukan “pantang bilah” terhadap suaminya.
Yaitu tradisi para perempuan untuk tidak melayani suaminya selama menyusui,
setelah melahirkan. Tradisi ini yang mendasari lahirnya pernyataan Nabi SAW.
tentang laknat tersebut. Tentu saja tradisi ini sangat memberatkan suami untuk
tidak berhubungan intim, apalagi kalau masa menyusui sampai mencapai dua tahun.
Karena itu, Nabi SAW. menganjurkan para istri untuk tidak menolak ajakan suami
pada masa pantang bilah tersebut[11].
G.
Hambatan-Hambatan Dalam Penanganan KDRT
Hambatan dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga dimulai pada saat penyidikan. Penyidik Polisi (Polri) menghadapi kendala karena masih kuatnya anggapan masyarakat bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah persoalan pribadi atau persoalan rumah tangga, sehingga tidak layak dicampuri oleh orang lain atau polisi. Perempuan (istri) karena memiliki perasaan hati nurani yang lembut dan kentalnya adat dan budaya Timur, menjadi tidak tega memberi balasan kepada suami atau mantan suami dengan melaporkan perbuatannya kepada polisi, meskipun telah menyakiti dan menyiksanya baik secara fisik, maupun psikis.
Pada umumnya
fenomena kasus kekerasan dalam rumah tangga rnempunyai
spesifikasi sendiri, antara lain sebagai berikut :
1. Terjadinya tindak kekerasan lebih banyak diketahui oleh pelaku dan korban saja, sehingga kurang adanya saksi maupun alat bukti lainnya
yang memenuhi Pasal 183 dan 184 KUHAP.
2. Pihak korban enggan melaporkan kasusnya karena merasa tabu dan beranggapan akan membuka aib keluarga sendiri terutama terhadap kasus yang berhubungan dengan seksual.
3. Bagi korban yang mau melapor dan perkaranya memenuhi syarat formil maupun materiil, tidak jarang berusaha mencabut kembali, karena merasa
is sangat memerlukan masa depan bagi anak-anaknya dan masih menginginkan rumah
tangganya dapat dibangun kembali.
4.
Keterlambatan laporan dari korban
atas terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga, akan berpengaruh terhadap
tingkat kesukaran penyidik dalam melakukan proses penyidikan, terutama
pengumpulan saksi dan barang bukti[12].
[1] Rochmat Wahab, KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA : Perspektif Psikologis dan Edukatif, th, tt, hal : 3-4.
[2] Achmad Muthali’in, Bias Gender dalam
Pendidikan, Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2001, hal : 3.
[3] Abdurrahman wahid, et all. Menakar Harga
Perempuan, Bandung : Mizan, 1999, hal : 194.
[4] Ibid, hal : 4.
[6] Chandra Dewi Puspitasari, Perempuan Dan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, hal 3-4.
[8] Yusriana (Lajnah
Siyasi MHTI), Nikah Dini, Penyebab KDRT?, http://www.globalmuslim.
web.id/2011/10/nikah-dini-penyebab-kdrt.html
[9] Takariawan,
Cahyadi, Pernik-Pernik Rumah Tangga Islam, Solo : Intermedia, 2000, hal:
[10] Qur’an in Word, Ar-Rum : 21.
[12] Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam
Rumah Tangga, Jakarta : Sinar Grafika, 2010, hal : 135-136.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar