Senin, 01 Juli 2013

Makalah-Ushul Fiqih-"Ijma"



BAB I
PENDAHULUAN


            Ijma’ secara etimologi bisa berarti dengan arti sepakat,  dan ketetapan hati, sedangkan secara terminology, Ijma’ dikalangan Ulama Ushul fiqih berbeda pendapat, diantaranya Imam Al-ghazali :

ksepakatan umat Nabi Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama”

Meskipun dalam istilah ini dikhususkan kepada Ummat Nabi Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas yaitu seluruh ummat Islam. Pandangan Imam Ghazali ini mengikuti pandangan Imam Syafi’I yang menetapkan ijma’ sebagai kesepakatan ummat.
Didalam pembahasan ini, kami akan menerangkan yang berkaitan dengan Ijma’, yaitu : Pengertian, Rukun dan Syarat-Syarat Ijma’, Macam-macam, Kehujjahan, Tingkatan dan Kedudukan Hukum Mengingkari Ijma.




BAB II
PEMBAHASAN IJMA’


A.    Pengertian
Secara etimologi, Ijma’ mengandung dua arti :
1.      Ijma’ dengan arti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Ijma’ Dalam artian ini dapat dilihat dalam Al-qur’an Surat Yunus ayat 71 :

Artinya : “….karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku) …”

2.      Ijma’ dengan arti sepakat.


Artinya : “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur)..." (Yusuf : 15).

Secara Terminologi, pengertian Ijma’ dikalangan Ulama berbeda pendapat, yaitu sebagai berikut :
1.      Al-Ghazali merumuskan Ijma’ dengan :
ksepakatan umat Nabi Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama”

Meskipun dalam istilah ini dikhususkan kepada Ummat Nabi Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas yaitu seluruh ummat Islam. Pandangan Imam Ghazali ini mengikuti pandangan Imam Syafi’I yang menetapkan ijma’ sebagai kesepakatan ummat.


2.      Al-Amidi (pengikut Syafi’iyah) merumuskan Ijma’ yaitu :
Ijma’ adalah kesepakatan sejumla Ahlul Halli wal Aqd’ (para ahli yang berkompeten mengurusi Ummat) dari Ummat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus”.
     
3.      Al-Nazham ( pemuka kelompok Nazhamiyah) mengemukakan rumusan IJma’, yaitu :
setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibatah”.
      Setiap ucapan atau pendapat yang dapat ditegakkan sebagai hujjah syari’iyah, meskipun ucapan seseorang.

4.      Abdul Wahhab Khallaf, dan Jumhur Ulama, merumuskan Ijma’ yaitu:
kesepakatan semua mujtahd Muslim padasuatu masa setelah Rasulullah wafat atas suatu hukum Syara’ mengenai suatu kasus”.[1]

      Dan Muhammad Abu Zahrah menambahkan di akhir defenisi tersebut dengan kalimat : “Yang bersifat Amaliyah”. Ini mengandung makna bahwa Ijma’ hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan furu’ (amaliyah praktis).
      Defenisi ini hanya dilakukan dan disepakati oleh para mujtahid Muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasul. Karna ketika Rasul masih hidup, seluruh permasalahan yang timbul bisa ditanyakan langsung kepada beliau, sehingga tidak diperlukan Ijma’.

B.     Rukun dan Syarat-Syarat Ijma’
Jumhur Ulama’ Ushul Fiqih mengemukakan rukun-rukun Ijma’, yaitu :
1.      Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ itu adalah seluruh mujtahid. Apabila diantara mujtahid itu yang tidak setuju, maka hokum yang dihasilkan itu tidak dinamakan Ijma’.
2.      Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa itu yang berasal dari berbagai belahan dunia Islam.
3.      kesepakatan itu diawali dengan setelah masing-masing mengemukakan pendapatnya.
4.      Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat actual yang tidak ada hukumnya dalam Al-qur’an.
5.      Sandaran Ijma’  itu adalah Al-qur’an dan Haidist Nabi SAW.

Kemudan, Jumhur Ulama’ Ushul Fiqih mengemukakan pula syarat-syarat Ijma’, yaitu :
1.      Yang melakukan Ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
2.      Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya).
3.      Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha  menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.

Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh Ulama Ushul Fiqih. Dan ada juga syarat lain, tetapi tidak disepakati para ulama, diantaranya :
1.      Para Mujtahid itu adalah sahabat.
2.      Mujtahid itu kerabat Rasulullah.
3.      Mujtahid itu Ulama Madinah.
4.      Hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid yang menyepakatinya.
5.      Tidak terdapat hukum Ijma’ sebelumnya yang berkaitran dengan masalah yang sama. [2]

C.    Macam-Macam Ijma’
Melihat proses terjadinya Ijma’ itu ada dua macam, yaitu :
1.      Ijma’ Sharih
Yaitu kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada suatu masa tertentu tentang hukum agama bagi suatu kejadian dimana masing-masing mereka melahirkan pendapatnya melalui fatwa atau qada (putusan pengadilan).
Yaitu kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tesetentu. Kesepakatan itu dikemukakan dalam siding Ijma’  setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya terhadap masalah yang dibahas.
Ijma’  seperti ini sangat langka terjadi, apalagi bila dilakukan kesepakatan itu di dalam satu majlis atau pertemuan yang dihadiri seluruh mujtahid pada masa tertentu.

2.      Ijma’ Sukuti.
Yaitu sebagian ulama mujtahid mengeluarkan pendapatnya melalui fatwa atau qada, sedangkan ulama mujtahid lainnya diam, tidak menyatakan sependapat atau tidak sependapat. Ijma’ Sukuti adalah Ijma’ I’tibari, yaitu Ijma’ berdasarkan anggapan .

D.    Kehujjahan
Jumhur ulama ushul fiqih berpendapat apabila rukun-rukun Ijma’ telah terpenuhi, maka Ijma’ tersebut menjadi hujjah yang qath’I (pasti), wajib diamalkaan dan tidak boleh mengingkarinya., bahkan yang mengingkarinya disebut kafir.
Menurut ulama Ushul fiqih, tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama berikutnya, karena hukum yang telah ditetapkan melalui Ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’I dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’ setelah Al-qur’an dan Sunnah.
Akan tetapi , Ibrahim ibn Siyar  [3], Ulama Khawarij dan Ulama Syiah berpendapat bahwa Ijma’  tidak bisa dijadikan hujjah. Karena menurut dia,  Ijma’  yang digambarkan oleh Jumhur Ulama tida mungkin terjadi, karena tidak mungkin menghadirkan seluruh ulama pada suatu masa yang ada diberbagai belahan bumi Islam untuk bertemu dan membahas suatu kasus, dan menyepakatinya bersama.
Alasan Jumhur ulama ushul fiqih mengatakan bahwa Ijma’ merupakan hujjah yang qath’I adalah :

1.      Firman Allah dalam surat An-nisa ayat 59 :


Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…”

Ayat ini bersifat umum, mencakup para pemimpin dibidang agama dan dunia. Ibnu Abbas mengartikan lafal Ulil Amr dengan para Ulama’.
Kemudian ayat lain dalam surat An-Nisa ayat 115 ;

Artinya : “Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”

2.      Sabda Rasul yang artinya :
Artinya : “Ummatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap yang salah”
(H.R. Tirmidzi).

          Sebagian ulama’ berukpendapat bahwa mengingkari hukum hasil ijma’ Sharih adalah kufur. Tapi sebagian ulama lain berpendapat bahwa mengingkari hukum Ijma’ itu tidaklah kufur, karena dalil kehujjahan ijma’ sendiri adalah dalil zhani bukan qath’I orang yang inkaruatu kepada sesuatu yang didasarkan kepada dalil zhani tidak sampai menjadi kafir,
            Sedangkan mengingkari hukum hasil Ijma’ zhani para ulama berpendapat bahwa hal itu tidak sampai menjadi kafir.



BAB III
PENUTUP



Kesimpulan

Secara etimologi, Ijma’ mengandung dua arti :
1.      Ijma’ dengan arti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Ijma’ Dalam artian ini dapat dilihat dalam Al-qur’an Surat Yunus ayat 71 :
 “….karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku) …”

2.      Ijma’ dengan arti sepakat.
 “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur)..." (Yusuf : 15).





DAFTAR PUSTAKA


Haroen Nasrun, Ushul Fiqih I¸ cet. ke III, (Jakarta : Logos. Wacana Ilmu, 2001).

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih, Jilid II, (Jakarta : Logos. Wacana Ilmu, 1997)

_ _ Ilmu Ushul Fiqih,




              [1] Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih, Jilid II, (Jakarta : Logos. Wacana Ilmu, 1997)
              [2] Haroen Nasrun, Ushul Fiqih I¸ cet. ke III, (Jakarta : Logos. Wacana Ilmu, 2001).
              [3] Seorang tokoh Mu’tazilah.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar