BAB I
PENDAHULUAN
Ijma’ secara etimologi bisa berarti dengan arti sepakat, dan ketetapan hati, sedangkan secara
terminology, Ijma’ dikalangan Ulama Ushul fiqih berbeda pendapat,
diantaranya Imam Al-ghazali :
“ksepakatan umat Nabi Muhammad secara khusus atas
suatu urusan agama”
Meskipun dalam istilah ini dikhususkan kepada Ummat Nabi
Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas yaitu seluruh ummat Islam. Pandangan
Imam Ghazali ini mengikuti pandangan Imam Syafi’I yang menetapkan ijma’ sebagai
kesepakatan ummat.
Didalam pembahasan ini, kami akan menerangkan yang
berkaitan dengan Ijma’, yaitu : Pengertian, Rukun dan Syarat-Syarat Ijma’,
Macam-macam, Kehujjahan, Tingkatan dan Kedudukan Hukum Mengingkari Ijma.
BAB II
PEMBAHASAN IJMA’
A.
Pengertian
Secara etimologi, Ijma’ mengandung dua arti :
1.
Ijma’ dengan arti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan
berbuat sesuatu. Ijma’ Dalam artian ini dapat dilihat dalam Al-qur’an Surat
Yunus ayat 71 :
Artinya :
“….karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanku) …”
2.
Ijma’ dengan arti sepakat.
Artinya : “Maka tatkala mereka
membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia),
dan (di waktu Dia sudah dalam sumur)..." (Yusuf : 15).
Secara Terminologi, pengertian Ijma’ dikalangan
Ulama berbeda pendapat, yaitu sebagai berikut :
1.
Al-Ghazali
merumuskan Ijma’ dengan :
“ksepakatan umat Nabi Muhammad secara khusus atas
suatu urusan agama”
Meskipun dalam istilah ini
dikhususkan kepada Ummat Nabi Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas yaitu
seluruh ummat Islam. Pandangan Imam Ghazali ini mengikuti pandangan Imam
Syafi’I yang menetapkan ijma’ sebagai kesepakatan ummat.
2.
Al-Amidi
(pengikut Syafi’iyah) merumuskan Ijma’ yaitu :
“Ijma’ adalah kesepakatan sejumla Ahlul Halli wal
Aqd’ (para ahli yang berkompeten mengurusi Ummat) dari Ummat Muhammad pada
suatu masa atas hukum suatu kasus”.
3.
Al-Nazham
( pemuka kelompok Nazhamiyah) mengemukakan rumusan IJma’, yaitu :
“setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibatah”.
Setiap ucapan
atau pendapat yang dapat ditegakkan sebagai hujjah syari’iyah, meskipun ucapan
seseorang.
4.
Abdul
Wahhab Khallaf, dan Jumhur Ulama, merumuskan Ijma’ yaitu:
“kesepakatan semua mujtahd Muslim padasuatu masa
setelah Rasulullah wafat atas suatu hukum Syara’ mengenai suatu kasus”.[1]
Dan Muhammad Abu Zahrah menambahkan di akhir defenisi tersebut
dengan kalimat : “Yang bersifat Amaliyah”. Ini mengandung makna bahwa Ijma’
hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan furu’ (amaliyah praktis).
Defenisi ini
hanya dilakukan dan disepakati oleh para mujtahid Muslim pada suatu masa
setelah wafatnya Rasul. Karna ketika Rasul masih hidup, seluruh permasalahan
yang timbul bisa ditanyakan langsung kepada beliau, sehingga tidak diperlukan Ijma’.
B.
Rukun
dan Syarat-Syarat Ijma’
Jumhur Ulama’ Ushul Fiqih mengemukakan rukun-rukun Ijma’,
yaitu :
1.
Yang
terlibat dalam pembahasan hukum syara’ itu adalah seluruh mujtahid.
Apabila diantara mujtahid itu yang tidak setuju, maka hokum yang dihasilkan itu
tidak dinamakan Ijma’.
2.
Mujtahid
yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ itu adalah seluruh mujtahid
yang ada pada masa itu yang berasal dari berbagai belahan dunia Islam.
3.
kesepakatan
itu diawali dengan setelah masing-masing mengemukakan pendapatnya.
4.
Hukum yang
disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat actual yang tidak ada
hukumnya dalam Al-qur’an.
5.
Sandaran Ijma’ itu adalah Al-qur’an dan Haidist Nabi SAW.
Kemudan, Jumhur Ulama’ Ushul Fiqih
mengemukakan pula syarat-syarat Ijma’, yaitu :
1.
Yang
melakukan Ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan
ijtihad.
2.
Kesepakatan
itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap
agamanya).
3.
Para
mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha
menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.
Ketiga syarat ini disepakati oleh
seluruh Ulama Ushul Fiqih. Dan ada juga syarat lain, tetapi tidak disepakati
para ulama, diantaranya :
1.
Para
Mujtahid itu adalah sahabat.
2.
Mujtahid
itu kerabat Rasulullah.
3.
Mujtahid
itu Ulama Madinah.
4.
Hukum yang
disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid
yang menyepakatinya.
5.
Tidak
terdapat hukum Ijma’ sebelumnya yang berkaitran dengan masalah yang
sama. [2]
C.
Macam-Macam
Ijma’
Melihat proses terjadinya Ijma’ itu ada dua
macam, yaitu :
1.
Ijma’
Sharih
Yaitu kesepakatan seluruh ulama mujtahid
pada suatu masa tertentu tentang hukum agama bagi suatu kejadian dimana
masing-masing mereka melahirkan pendapatnya melalui fatwa atau qada
(putusan pengadilan).
Yaitu kesepakatan para mujtahid, baik
melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tesetentu.
Kesepakatan itu dikemukakan dalam siding Ijma’ setelah masing-masing mujtahid mengemukakan
pandangannya terhadap masalah yang dibahas.
Ijma’ seperti ini sangat langka terjadi, apalagi
bila dilakukan kesepakatan itu di dalam satu majlis atau pertemuan yang
dihadiri seluruh mujtahid pada masa tertentu.
2.
Ijma’
Sukuti.
Yaitu sebagian ulama mujtahid mengeluarkan pendapatnya
melalui fatwa atau qada, sedangkan ulama mujtahid lainnya diam, tidak
menyatakan sependapat atau tidak sependapat. Ijma’ Sukuti adalah Ijma’
I’tibari, yaitu Ijma’ berdasarkan anggapan .
D.
Kehujjahan
Jumhur ulama ushul fiqih berpendapat
apabila rukun-rukun Ijma’ telah terpenuhi, maka Ijma’ tersebut
menjadi hujjah yang qath’I (pasti), wajib diamalkaan dan tidak boleh
mengingkarinya., bahkan yang mengingkarinya disebut kafir.
Menurut ulama Ushul fiqih, tidak
boleh lagi menjadi pembahasan ulama berikutnya, karena hukum yang telah
ditetapkan melalui Ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’I dan
menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’ setelah Al-qur’an dan
Sunnah.
Akan tetapi , Ibrahim ibn Siyar [3], Ulama
Khawarij dan Ulama Syiah berpendapat bahwa Ijma’ tidak bisa dijadikan hujjah. Karena menurut
dia, Ijma’ yang digambarkan oleh Jumhur Ulama tida
mungkin terjadi, karena tidak mungkin menghadirkan seluruh ulama pada suatu
masa yang ada diberbagai belahan bumi Islam untuk bertemu dan membahas suatu
kasus, dan menyepakatinya bersama.
Alasan Jumhur ulama ushul fiqih
mengatakan bahwa Ijma’ merupakan hujjah yang qath’I adalah :
1.
Firman
Allah dalam surat An-nisa ayat 59 :
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…”
Ayat ini bersifat umum, mencakup para
pemimpin dibidang agama dan dunia. Ibnu Abbas mengartikan lafal Ulil Amr dengan
para Ulama’.
Kemudian ayat lain dalam surat
An-Nisa ayat 115 ;
Artinya : “Dan
Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
2.
Sabda
Rasul yang artinya :
Artinya : “Ummatku tidak akan melakukan kesepakatan
terhadap yang salah”
(H.R. Tirmidzi).
Sebagian ulama’ berukpendapat
bahwa mengingkari hukum hasil ijma’ Sharih adalah kufur. Tapi sebagian ulama
lain berpendapat bahwa mengingkari hukum Ijma’ itu tidaklah kufur, karena dalil
kehujjahan ijma’ sendiri adalah dalil zhani bukan qath’I orang yang inkaruatu
kepada sesuatu yang didasarkan kepada dalil zhani tidak sampai menjadi kafir,
Sedangkan
mengingkari hukum hasil Ijma’ zhani para ulama berpendapat bahwa hal itu
tidak sampai menjadi kafir.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara etimologi, Ijma’ mengandung dua arti :
1.
Ijma’ dengan arti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan
berbuat sesuatu. Ijma’ Dalam artian ini dapat dilihat dalam Al-qur’an Surat
Yunus ayat 71 :
“….karena itu
bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanku) …”
2.
Ijma’ dengan arti sepakat.
“Maka tatkala mereka
membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia),
dan (di waktu Dia sudah dalam sumur)..." (Yusuf : 15).
DAFTAR PUSTAKA
Haroen Nasrun, Ushul Fiqih I¸ cet.
ke III, (Jakarta : Logos. Wacana Ilmu, 2001).
Syarifuddin,
Amir. Ushul Fiqih, Jilid II, (Jakarta : Logos. Wacana Ilmu, 1997)
_ _ Ilmu
Ushul Fiqih,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar