Senin, 01 Juli 2013

Makalah-Adm. Perkawinan & Waqaf-"pendaftaran wakaf dan tata cara perwaqafan"



BAB I
PENDAHULUAN
  

Hukum Islam merupakan perpaduan antara wahyu Allah Swt. dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum Islam sebagai aturan untuk mengejawantahkan nilai-nilai keimanan dan aqidah mengemban misi utama yaitu mendistribusikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, baik keadilan hukum, keadilan sosial maupun keadilan ekonomi.
Salah satu institusi atau pranata sosial Islam yang mengandung nilai sosial ekonomi adalah lembaga perwakafan. Sebagai kelanjutan dari ajaran tauhid, yang berarti bahwa segala sesuatu berpuncak pada kesadaran akan adanya Allah Swt., lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam. Prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, karena akan melahirkan eksploitasi kelompok minoritas (si kaya) terhadap kelompok mayoritas (si miskin) yang akan menimbulkan kegoncangan sosial dan akan menjadi penyakit masyarakat yang mempunyai akibat-akibat negatif yang beraneka ragam.
Wakaf telah disyari'atkan dan telah dipraktekkan oleh umat Islam seluruh dunia sejak zaman Nabi Muhammad Saw. sampai sekarang, termasuk oleh masyarakat Islam di negara Indonesia. Menurut Ameer Ali, hukum wakaf merupakan cabang yang terpenting dalam syari'at Islam, sebab ia terjalin kepada seluruh kehidupan ibadat dan perekonomian sosial kaum muslimin.
Pada tulisan yang sederhana ini, penulis akan mencoba memaparkan tentang pendaftaran wakaf dan tata cara perwaqafan .






BAB II
PEMBAHASAN


A.    Perkembangan Peraturan Wakaf di Indonesia
Wakaf yang berasal dari lembaga hukum Islam telah diterima oleh hukum adat bangsa Indonesia sejak dahulu di berbagai daerah di Nusantara ini. Praktek mewakafkan tanah untuk keperluan umum terutama untuk keperluan peribadatan atau sosial seperti masjid, surau, sekolah, madrasah, dan kuburan telah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia sejak dulu.
Peraturan tentang wakaf yang bertujuan untuk mengatur dan mengawasi tanah wakaf telah banyak dikeluarkan sejak zaman pemerintah Kolonial Hindia Belanda, pemerintah zaman kemerdekaan sampai terbitnya perundang-undangan yang mengatur tentang perwakafan, antara lain Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik jo. PMDN No. 6 Tahun 1977 dan PMA No, 1 Tahun 1978, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

1.      Peraturan Wakaf Zaman Kolonial Hindia Belanda
Pada zaman Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda telah dikeluarkan peraturan-peraturan, yaitu:
a.       Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Pertama tanggal 31 Januari 1905 No. 435 sebagaimana termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezict opden bouw van Mohammedaansche bedenhuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada para kepala wilayah mengharuskan para Bupati membuat daftar rumah-rumah ibadat bagi orang Islam. Dalam daftar itu harus dimuat asal-usul tiap rumah ibadat dipakai shalat jum'at atau tidak, keterangan tentang segala benda yang tidak bergerak yang oleh pemiliknya ditarik dari peredaran umum, baik dengan nama wakaf atau dengan nama lain.
b.      Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 04 Juni 1931 Nomor 1361/A termuat dalam Bijblad No. 125/3 tahun 1931 tentang Toezict van de Regering op Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Surat edaran ini merupakan kelanjutan dan perubahan dari Bijblad No. 6196, yaitu tentang pengawasan Pemerintah atas rumah-rumah peribadatan orang Islam, sembahyang jum'at dan wakaf. Untuk mewakafkan tanah tetap harus ada izin Bupati, yang menilai permohonan itu dari segi tempat wakaf dan maksud pendirian.
c.       Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A termuat dalam Bijblad No. 13390 tahun 1934 tentang Toezict de Regering op Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Surat edaran ini mempertegas SE sebelumnya. Di dalamnya antara lain disebutkan seandainya dalam mengadakan shalat jum'at terdapat sengketa dalam masyarakat Islam, Bupati boleh memimpin usaha mencari penyelesaian asalkan dimintakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
d.      Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A termuat dalam Bijblad No. 13480 tahun 1935 tentang Toezict van de Regering op Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Dalam surat edaran ini antara lain ditentukan bahwa Bijblad No. 61696 menginginkan registrasi tanah wakaf yang dapat dipercaya. Maksud untuk mewakafkan tetap harus diberitahukan kepada Bupati agar ia mendapat kesempatan untuk mendaftarkan wakaf tersebut dan meneliti apakah ada peraturan umum atau peraturan setempat yang melanggar dalam pelaksanaan maksud itu.

2.      Peraturan Wakaf Zaman Kemerdekaan
Pada zaman kemerdekaan telah dikeluarkan pula beberapa ketentuan tentang wakaf ini, baik penunjukkan instansi yang mengurusnya dan juga teknis pengurusannya. Antara lain dapat kita lihat dari ketentuan-ketentuan di bawah ini:
a.       Departemen Agama lahir pada tanggal 03 Januari 1946. Dalam PP. No. 33 Tahun 1949 jo. No. 8 Tahun 1950 disebutkan bahwa tugas pokok atau lapangan tugas pekerjaan Kementrian Agama RI adalah di antaranya: Menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan mengawasi pemeliharaan wakaf-wakaf.
b.      Dalam Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1958 tentang lapangan tugas, susunan, dan Pimpinan Kementrian Agama RI, disebutkan bahwa lapangan tugas kementrian Agama RI adalah: … 25. Menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan mengawasi wakaf-wakaf umum, dan wakaf masjid, dan bersama-sama dengan Kementrian Agraria dan Dalam Negeri mengatur soal-soal yang bersangkut-paut dengan perwakafan.
c.       Dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1958 disebutkan bahwa lapangan tugas Jawatan Urusan Agama (JAURA) yaitu salah satu jawatan dalam Departemen Agama meliputi: … 18. Menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan mengawasi wakaf-wakaf umum, dan wakaf masjid, dan bersama-sama dengan Kementrian Dalam Negeri mengatur soal-soal yang bersangkut-paut dengan perwakafan.
d.      Menurut Keputusan Menteri Agama No. 114 Tahun 1969 jo. No. 18 Tahun 1975 disebutkan bahwa di Tingkat Pusat pengurusan wakaf ini termasuk dalam wewenang Direktorat Urusan Agama (DITURA) Sub Direktorat Zakat, Wakaf, dan Ibadah Sosial (Zawaib). Di Tingkat Provinsi/tingkat wilayah termasuk tugas bidang Urusan Agama Islam seksi Zakat, Wakat, dan Ibadah Sosial. Di tingkat Kabupaten menjadi tugas wewenang Seksi Urusan Agama Islam dan akhirnya di tingkat Kecamatan menjadi tugas dan wewenang Kantor Urusan Agama Kecamatan. Berdasarkan ketentuan terakhir, bahwa Kepala KUA Kecamatan ditunjuk sebagai PPAIW mempunyai tugas dan wewenang untuk pengesahan nażir.
e.       Untuk melaksanakan tugasnya di bidang perwakafan ini, Departemen Agama RI telah mengeluarkan berbagai peraturan dan petunjuk yang berhubungan dengan wakaf, antara lain: (1) Surat JAURA No. 3/D/1956 tanggal 08 Oktober 1956, (2) Surat Edaran JAURA No. 5/D/1956, dan (3) Instruksi JAURA No. 6 Tahun 1961 tanggal 31 Oktober 1961.
f.       Tata cara mewakafkan tanah yang berlaku sebelum berlakunya PP. No. 28 Tahun 1977, antara lain dapat dilihat dari bentuk blanko wakaf yang disebut "Surat Pernyataan Wakif" (SPW, model D.2 1960), "Peta Tanah Wakif" (PTW), dan "Surat Pernyataan Nazir" (SPN, model D.3 1960).[1]
g.      Dan terakhir dikeluarkan Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Waqaf.

B.    Tata Cara Perwaqafan
Dalam kompilasi Hukum Islam pasal 23 dinyatakan tentang tata cara perwaqafan sebagai berikut :
1.      Pihak yang hendak mewaqafkan dapat menyatakan ikrar waqaf di hadapan pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
a.       Syarat Shighat
Sighat akad ialah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Oleh karena wakaf merupakan salah satu bentuk tasharruf/ tabarru” maka  sudah dinggap selesai dengan adanya ijab saja meskipun tidak diikuti dengan qabul dari penerima wakaf.
Sedangkan tujuan wakaf harus ditujuan untuk ibadah dan mengharapkan balasan/pahala dari Allah SWT.  Menurut Fikih lafad shighat wakaf tersebut ada 2 macam, yaitu :
1)       lafad yang jelas (sharih), seperti : (Aku mewakafkan, aku menahan, aku mendemarkan)
2)       Lafad kiasan (kinayah), seperti : (Aku mensedekahkan, aku melarang, aku mengekalkan)
Adapun syarat sahnya shighat ijab, baik berupa  ucapan atau tulisan ialah :
1)      shighat harus terjadi seketika /selesai (munjazah)
2)      shigat tersebut tidak diikuti dengan syarat yang bathil, yaitu syarat yang menodai dasar wakaf. Misalnya, “Saya wakafkan rumah ini untuk diri saya sendiri seumur hidup, kemudian setelah saya meninggal untu anak-anak dan cucu saya dengan syarat bahwa saya boleh menggadaikannya kapan saja saya kehendaki... atau jika saya meninggal wakaf ini menjadi  harta waris bagi para ahli waris saya.
3)      Shighat tidak diikuti pembatasan waktu terentu.
4)      Tidak mengandung pengertian untuk  mencabut kembali wakaf yang sudah dilakukan.[2]
Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004, rukun dan syarat wakaf memang tidak dirinci sebagaimana dalam fiqih. Sekalipun demikian tidak berarti karena itu UU tersebut kurang memperhatikan keabsahan pelaksaan wakaf dari aspek syari‟at. Sebab, dalam UU tersebut ditegaskan bahwa : “ Wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syari’ah”. Dengan demikian, UU tetap memberikan kewenangan terhadap syari’at Islam untuk menilai ke absahan pelaksanaan wakaf, termasuk dalam hal syarat dan rukun wakaf ini

2.      Akta ikrar waqaf, paling sedikit ,memuat :
a.       Nama dan identitas Wakif
b.      Nama dan identitas Nazhir
c.       Data dan kerangan harta benda waqaf
d.      Peruntukan harta benda waqaf
e.       Jangka waktu waqaf.
3.      Pelaksanaan ikrar, demikian pula pembuatan Akta ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang- kurangnya 2 (dua) orang saksi.
4.      Dalam melaksanakan ikrar, pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada pejabat, surat-surat sebagai berikut:
a.       Tanda bukti pemilikan harta benda.
b.      jika benda yang diwakafkan berupa  benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud. surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan.[3]

Lihat Pasal 9 PP No 28 Tahun 1977
Dalam pasal 9 PP tersebut ada tambahan, yaitu pada huruf d. Izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala sub Direktorat Agraria (sekarang Kepala Badan Pertanahan) setempat.
Setelah Ikrar Wakaf dilaksanakan dan dituangkan dalam akta ikrar Waqaf,  langkah berikutnya dijelaskan dalam pasal 224 :
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestariannya.
Akan tetapi, di dalam pasal 10 PP No. 28 tahun 1977, ditambahkan  ayat :
(1)   Setelah kata Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ayat (4) dan (5) pasal 9, maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama Nadzir yang bersangkutan, diharuskan mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. 
(2)   Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat, setelah menerima permohonan tersebut mencatat perwakafan tanah milik yang bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya.
(3)   Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka pencatatan dilakukan setelah untuk tanah tersebut dibuatkan sertifikatnya. 
(4)   Oleh Menteri Dalam Negeri diatur tatacara pencatatan perwakafan.
(5)   Setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya, maka Nadzir yang bersangkutan wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama.

C.    Pendaftaran Waqaf
1.      Sebelum PP No. 28 tahun 1977
a.       Tanah wakaf yang sudah terjadi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah pendaftarannya dilakukan oleh nadzir yang bersangkutan kepada KUA setempat.
b.      Apabila nadzir yang bersangkutan sudah tidak ada lagi maka wakif atau ahli warisnya, anak keturunan nadzir atau anggota masyarakat yang mengetahuinya mendaftarkan kepada KUA setempat.
c.       Apabila ada tanah wakaf dan tidak ada orang yang man mendaftarkannya maka kepala desa berkewajiban mendaftarkannya kepada KUA setempat.
d.      Pendaftaran dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3) pasal ini disertai: a. Surat keterangan tentang tanah atau surat keterangan kepala desa tentang perwakafan tanah tersebut; b. Dua orang saksi ikrar wakaf atau dua orang saksi istifadhah (orang yang mengetahui  atau mendengar tentang perwakafan tersebut).
e.       Untuk mernbuktikan pendaftaran tanah wakaf sebagai dirnaksud dalam pasal 15 peraturan ini ditetapkan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf.
f.       Dalam melaksanakan ketentuan ayat (1) pasal ini Kepala KUA selaku Pejabat Pembuat Akta lkrar Wakaf berkewajiban untuk:
1)      Meneliti keadaan tanah wakaf;
2)      Meneliti dan mengesahkan nadzir serta meneliti saksi;
3)      Menerima penyaksian tanah wakaf;
4)      Membuat Akta Pengganti Akta lkrar Wakaf dan salinannya;
5)      Menyampaikan Akta Pengganti Akta lkrar Wakaf dan salinannya sebagai diatur dalam pasal 3 ayat (2) dan (3) peraturan ini;
6)      Memasukkan Akta Pengganti Akta lkrar Wakaf dalam Daftar Akta Pengganti Akta lkrar Wakaf;
7)      Menyimpan dan memelihara Akta dan Daftarnya;
8)      Mengurus pendaftaran perwakafan seperti tercantum dalam pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah.[4]

2.      Peraturan Yang berlaku sekarang :
Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam proses pendaftaran harta benda waqaf, yaitu :
a.       PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani. (pasal 32)
b.      Dalam pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, PPAIW menyerahkan:
1)      salinan akta ikrar wakaf;
2)      surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya. (pasal 33)
c.       Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf.(pasal34)
d.      Bukti pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 disampaikan oleh PPAIW kepada Nazhir.
e.       Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya Nazhir melalui PPAIW mendaftarkan kembali kepada Instansi yang berwenang dan Badan Wakaf Indonesia atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara pendaftaran harta benda wakaf.
f.       Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengadministrasikan pendaftaran harta benda wakaf.
g.      Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengumumkan kepada masyarakat harta benda wakaf yang telah terdaftar.[5]
Ketentuan ini dinyatakan dan ditegaskan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004, Bab III Pendaftaran Dan Pengumuman Harta Benda Waqaf.

D.    Istilah Dalam Wakaf
Ada beberapa istilah yang terdapat dalam waqaf, yaitu :
1.      Wakaf Adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
  1. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya
  2. Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tertulis kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
  3. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan tujuannya. Dengan kata lain nazhir adalah pengelola harta wakaf
  4. Harta Benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi yang diwakafkan oleh Wakif
  5. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.
  6. Badan wakaf Indonesia (BWI) adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia.[6]
Point satu sampai tujuh ini dikuatkan oleh Pasal 1 Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf.
  1. SKPT : Surat keterangan pendaftaran tanah
  2. BWI : Badan Wakaf Indonesia
  3. AIW : Akta Ikrar Wakaf
  4. KAWAFI : Komunitas Wakaf Indonesia.[7]




BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Wakaf Adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dalam pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, PPAIW menyerahkan:
1.      salinan akta ikrar wakaf;
2.      surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya.

B.     Saran
Demikianlah makalah singkat, kami menyadari banyaknya kekurangan didalam penyusunannya. Maka dari pada itu kami meminta maaf dan Kami mengharapkan kepada para pembaca, teman-teman dan Bapak Dosen Pembimbing untuk memberikan kritik dan saran agar makalah kami ini menjadi lebih baik dimasa yang akan datang. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.


DAFTAR PUSTAKA


Rofiq Ahmad, Drs. MA., Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998.
H.Asmu’i Syarkowi, Perwakafan Menurut Fikih Dan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia (article),Waingapu : 2006.
UU No. 41 tahun 2004.
Permenag No. 1 tahun 1978.


[2] H.Asmu’i Syarkowi, Perwakafan Menurut Fikih Dan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia (article),Waingapu : 2006, h. 9-10.
[3] Rofiq Ahmad, Drs. MA., Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998., h. 506.
[4] Pasal 15-16, Permenag No. 1 tahun 1978.
[5] UU No. 41 tahun 2004.
[6] UU No. 41 tahun 2004.
[7] http://www.komunitaswaqaf.org/Memasyarakatkan-wakaf-untukkesejahteraan- masyarakat.html  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar