Senin, 01 Juli 2013

Makalah-Hukum Islam di Indonesia-"Masa Iddah dan Ruju"



Tugas Makalah                                                                         Dosen Pembimbing
Hukum Islam Di Indonesia                                              Drs. Arifuddin. M.Ag



MASA IDDAH DAN RUJU’


Ditulis Oleh :
MAHARLIS IQBAL ROKHA
Nim. 10921007555

ARIN ARDHANI KHAIRUNNISA
Nim. 10921008661
 
JURUSAN AHWAL AL-SYAKH SIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
1431H
KATA PENGANTAR


Segala puji hanyalah milik Tuhan yang maha Adil dan telah memberikan hamba-hamba-Nya reski dan nikmat. Sholawat kepada Nabi Muhammad Saw yang telah menyebarkan Agama Islam keseluruh penjuru Dunia.
Ucapan terima kasih kami yang tiada hentinya kepada Dosen Pembimbing dan  Teman-teman yang tiada hentinya memberikan kepada kami semangat dan sugesti untuk dapat menyelesaikan makalah ini yang insyaallah  akan menjadi bahan diskusi kita pada hari ini.
Walaupun kami merasa bahwa makalah yang kami buat ini jauh dari pada kesempurnaan, namun kami sangat berharap kepada Dosen Pembimbing dan Teman- Teman untuk dapat memberikan masukan dan kritikan kepada kami. Agar makalah yang akan kami buat untuk kedepannya jauh lebih sempurna lagi.





Penulis






DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ………………………………………………..         i
DAFTAR ISI  ………………………………………………………….         ii
BAB I       PENDAHULUAN …………………………………………         1
BAB II      IDDAH DAN RUJU’ ………………………………………        2
A.    Iddah  ,………………………………………………….         2
B.     Ruju’ ……………………………………………………
BAB III    PENUTUP …………………………………………………
A.    Kesimpulan  ……………………………………………
B.     Saran ……………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA                                                                           



BAB I
PENDAHULUAN


Perkawinan selaian di syariatkan oleh Agama Islam karena merupakan salah satu bentuk usaha memelihara atau  mengembangkan keturunan serta menjadi kunci ketentraman juga merupakan peristiwa alami dan kultur yang sudah menjadi turun temurun dari nenek moyang bangsa kita. Perkawinan adalah ikatan lahir batain antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dan perkainan merupakan suatu hal yang dilakukan sengan serius yang mengakibatkan seseorang akan terikat seumur hidup dengan pasangannya.
dan ketika perkawinan telah terjadi, pasangan akan menempuh hidup mereka dengan bahagia. Namun ditengah menempuh kehidupan, kadang-kadang diantara pasangan suami istri terdapat masalah yang diakhiri dengan perceraian. Atau putusnya perkawinan, yang bisa juga disebabkan oleh kematian.
Ketika telah terjadi perceraian, sang istri menjalani masa yang dinamakan Iddah. Dalam masa iddah ini, suami istri yang telah bercerai tadi bisa kembali bersatu lagi yang dinamakan dengan Ruju’.
Iddah dan Ruju’ ini ada aturan dan hukumnya masing-masing. Dalam bab selanjutnya akan diterangkan aturan dan hukum yang berlaku tentang Iddah dan Ruju’ ini.




BAB II
‘IDDAH DAN RUJU’

A.    Masa ‘Iddah
1.      Pengertian
Iddah berarti masa menanti yang diwajibkan atas wanita yang diceraikan suaminya, baik karena cerai hidup maupun cerai mati. Dan iddah ini bisa dengan cara menunggu kelahiran anak yang dikandung, atau melalui qurru' atau menurut hitungan bulan.
Pada saat tersebut wanita tidak boleh menikah atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya.

2.      Hukumnya
Berkenaan dengan Iddah ini, para Ulama telah sepakat mewajibkannya. Yaitu berdasarkan firman Allah SWT :


Artinya :    Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah : 228).

Wanita yang dicerai maupun yang ditinggal mati suaminya ini adakalanya tengah hamil dan adakalanya tidak. Oleh karena itu, maka iddah yang berlaku adalah sebagai berikut :
a.       Iddah wanita hamil adalah sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya. Baik cerai mati maupun cerai hidup. Firman Allah :


Artinya :    Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.  (ath-Thalaq : 4).

b.      Al-Hadawiyah dan ulama lainnya menyebutkan, bahwa wanita yang hamil itu dapat mengakhiri iddahnya dengan dua batas waktu, baik dengan melahirkan kandungannya jika masa itu kurang dari empat bulan sepuluh hari, atau tetap dengan iddah yang normal. Alasan mereka adalah firman Allah SWT :

Artinya :    Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. (al-Baqarah : 234).

c.       Iddah wanita yang sedang menjalani istihadhah, apabila ia mempunyai hari-hari saat ia bisaa menjalani masa haid, maka ia harus memperhatikan kebisaaan masa haid dan masa sucinya. Jika ia telah menjalani tiga kali masa haid, maka selesa sudah masa iddahnya.
d.      Iddah istri yang sedang menjalani masa haid, lalu terhenti karena sebab yang diketahui maupun yang tidak. Jika terhenti darah haid itu diketahui oleh adanya penyebab tertentu , seperti karena proses penyusuan atau sakit, maka ia harus menunggu kembalinya masa haid tersebut dan menjalani masa iddahnya sesuai dengan haidnya.

e.       Iddah wanita yang belum dicampuri oleh suaminya. Berkenaan dengan hal ini, Allah SWT berfirman :


Artinya :  Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.

f.       Iddah yang telah dicampuri. Jika ia belum pernah mengalami haid sama sekali atau ia sudah sampai usia monopouse maka ia harus beriddah dengan selama tiga bulan, itu didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat ath-Thalaq ayat 4 :
4
Artinya :    Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.


B.     Ruju’
1.      Pengertian
Menurut bahasa Arab, kata ruju’ berasal dari kata raja’a-syarji’u-rujk’an yang berarti kembali, dan mengembalikan.
Menurut Istilah hukum islam, para fuqaha’ mengenal istilah ruju’ dan istilah raj’ah yang keduanya semakna.
Ulama hanafiyah memberi defenisi ruju’ sebagaimana dikemukakan oleh Abu Zahrah, sebagaimana berikut :

Artinya : “Ruju’ adalah melestarikan perkawinan dalam masa “iddah talak (raj’i).

Menurut Asy-Syafi’i : “Yaitu, mengembalikan status hukum perkawinan sebagai suami istri di tengah-tengah 'iddah setelah terjadinya thalak”.

2.      Hukumnya
Hukum rujuk ada beberapa macam, yaitu :
a.       Haram, apabila rujuk itu menyakiti sang istri.
b.      Makruh, apabila perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya (suami-istri).
c.       Jaiz.
d.      Sunnat, jika dengan rujuk itu bermaksud untuk memperbaiki keadaan istrinya.

3.      Rukun Ruju’ dan Tata Cara Ruju’
a.       Istri. Keadaan Istri disyaratkan :
1).    Sudah  dicampuri, karena istri yang belum dicampuri apabila ditalak, maka putuslah pertalian nikah antara keduanya, sebab si istri tidak mempunyai iddah sebagaimana yang telah dijelaskan.
2).    Istri yang tertentu. Kalau suami menthalaq beberapa istrinya, kemudian ia ruju’ kepada salah seorang dari mereka dengan tidak ditentukan siapa yang diruju’nya, maka ruju’nya tidak sah.
3).    Thalaknya adalah thalaq raj’i. Jika istri yang dithalaq dengan talak ba’in atau thalak tiga, maka ia tidak dapat diruju’ kembali.
4).    Ruju’ itu terjadi pada waktu istri tengah menjalani masa Iddah.

b.      Suami.
Ruju’ dilakukan oleh suami atas kehendaknya sendiri, bukan paksaan dari orang lain.

c.       Sighat (Lafaz Ruju’)
Sighat itu ada dua macam :
1).    Terus terang, misalnya : “Aku kembali Padamu” atau “Aku Ruju’ Kepadamu”.
2).    Dengan kata kiasan, misalnya : “Aku pegang kamu” atau “Aku Nikahi Kamu”.

d.      Saksi.
Dalam hal ini para Ulama’ berbeda pendapat, apakah saksi itu menjadi rukun atau sunnat. Sebagian mengatakan wajib, dan sebagian lain tidak wajib. Allah berfirman dalam surat Ath-Thalaq :

Artinya : “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. “.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pernikahan adalah suatu hal yang sacral, yang sebagian orang hanya ingin menikah sekali dalam hdupnya. Jika harus terjadi perceraian, perempuan menunggu suatu masa yang dinamakan masa iddah. Iddah ini ada pembagiannya.
Ruju’ mempunyai hukum yang mendasari untuk dilakukannya, bisa jadi haram, sunnat, boleh dan makruh.
Para Ulama berbeda pendapat dalam menentukan syarat-syarat ruju’ dalam pemakaian saksi. Sebagian ada yang mengatakan wajib. Sebagain mengatakan tidak.

B.     Saran
Demikianlah makalah singkat, kami menyadari banyaknya kekurangan didalam penyusunannya. Maka dari pada itu kami meminta maaf dan Kami mengharapkan kepada para pembaca, teman-teman dan Bapak Dosen Pembimbing untuk memberikan kritik dan saran agar makalah kami ini menjadi lebih baik dimasa yang akan datang.
Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.




DAFTAR PUSTAKA

Mughniyah, Jawad, Muhammad, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta, Penerbit : Lentera Basritama, 2001.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar