Tugas Makalah Dosen Pembimbing
Hukum Islam Di
Indonesia Drs. Arifuddin. M.Ag
MASA IDDAH DAN
RUJU’
Ditulis Oleh :
MAHARLIS IQBAL ROKHA
Nim. 10921007555
ARIN ARDHANI KHAIRUNNISA
Nim. 10921008661
JURUSAN AHWAL AL-SYAKH
SIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU
HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
1431H
KATA PENGANTAR
Segala puji hanyalah milik Tuhan yang maha Adil dan
telah memberikan hamba-hamba-Nya reski dan nikmat. Sholawat kepada Nabi
Muhammad Saw yang telah menyebarkan Agama Islam keseluruh penjuru Dunia.
Ucapan terima kasih kami yang tiada hentinya kepada
Dosen Pembimbing dan Teman-teman yang
tiada hentinya memberikan kepada kami semangat dan sugesti untuk dapat
menyelesaikan makalah ini yang insyaallah
akan menjadi bahan diskusi kita pada hari ini.
Walaupun kami merasa bahwa makalah yang kami buat ini
jauh dari pada kesempurnaan, namun kami sangat berharap kepada Dosen Pembimbing
dan Teman- Teman untuk dapat memberikan masukan dan kritikan kepada kami. Agar
makalah yang akan kami buat untuk kedepannya jauh lebih sempurna lagi.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………….. i
DAFTAR ISI …………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………… 1
BAB II IDDAH DAN RUJU’ ……………………………………… 2
A.
Iddah ,…………………………………………………. 2
B.
Ruju’ ……………………………………………………
BAB III PENUTUP …………………………………………………
A.
Kesimpulan ……………………………………………
B.
Saran ……………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Perkawinan selaian di syariatkan oleh
Agama Islam karena merupakan salah satu bentuk usaha memelihara atau mengembangkan keturunan serta menjadi kunci
ketentraman juga merupakan peristiwa alami dan kultur
yang sudah menjadi turun temurun dari nenek moyang bangsa kita. Perkawinan adalah ikatan lahir batain antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dan perkainan merupakan suatu hal yang
dilakukan sengan serius yang mengakibatkan seseorang akan terikat seumur hidup dengan pasangannya.
dan ketika perkawinan telah terjadi, pasangan akan menempuh
hidup mereka dengan bahagia. Namun ditengah menempuh kehidupan, kadang-kadang
diantara pasangan suami istri terdapat masalah yang diakhiri dengan perceraian.
Atau putusnya perkawinan, yang bisa juga disebabkan oleh kematian.
Ketika telah terjadi perceraian, sang istri menjalani
masa yang dinamakan Iddah. Dalam masa iddah ini, suami istri yang
telah bercerai tadi bisa kembali bersatu lagi yang dinamakan dengan Ruju’.
Iddah dan Ruju’
ini ada aturan dan hukumnya masing-masing. Dalam bab selanjutnya akan
diterangkan aturan dan hukum yang berlaku tentang Iddah dan Ruju’
ini.
BAB II
‘IDDAH DAN RUJU’
A. Masa ‘Iddah
1. Pengertian
Iddah berarti masa
menanti yang diwajibkan atas wanita yang diceraikan suaminya, baik karena cerai
hidup maupun cerai mati. Dan iddah ini bisa dengan cara menunggu kelahiran anak
yang dikandung, atau melalui qurru' atau menurut hitungan bulan.
Pada saat tersebut
wanita tidak boleh menikah atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk
menikahinya.
2. Hukumnya
Berkenaan dengan
Iddah ini, para Ulama telah sepakat mewajibkannya. Yaitu berdasarkan firman
Allah SWT :
Artinya : Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah : 228).
Wanita yang dicerai
maupun yang ditinggal mati suaminya ini adakalanya tengah hamil dan adakalanya
tidak. Oleh karena itu, maka iddah yang berlaku adalah sebagai berikut :
a. Iddah wanita hamil adalah
sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya. Baik cerai mati maupun cerai hidup.
Firman Allah :
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya. (ath-Thalaq : 4).
b. Al-Hadawiyah dan ulama
lainnya menyebutkan, bahwa wanita yang hamil itu dapat mengakhiri iddahnya
dengan dua batas waktu, baik dengan melahirkan kandungannya jika masa itu
kurang dari empat bulan sepuluh hari, atau tetap dengan iddah yang normal.
Alasan mereka adalah firman Allah SWT :
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. (al-Baqarah : 234).
c. Iddah wanita yang sedang
menjalani istihadhah, apabila ia mempunyai hari-hari saat ia bisaa
menjalani masa haid, maka ia harus memperhatikan kebisaaan masa haid dan masa
sucinya. Jika ia telah menjalani tiga kali masa haid, maka selesa sudah masa
iddahnya.
d. Iddah istri yang sedang
menjalani masa haid, lalu terhenti karena sebab yang diketahui maupun yang
tidak. Jika terhenti darah haid itu diketahui oleh adanya penyebab tertentu ,
seperti karena proses penyusuan atau sakit, maka ia harus menunggu kembalinya
masa haid tersebut dan menjalani masa iddahnya sesuai dengan haidnya.
e. Iddah wanita yang belum
dicampuri oleh suaminya. Berkenaan dengan hal ini, Allah SWT berfirman :
Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu menikahi perempuan perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah
mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.
f. Iddah yang telah dicampuri.
Jika ia belum pernah mengalami haid sama sekali atau ia sudah sampai usia monopouse
maka ia harus beriddah dengan selama tiga bulan, itu didasarkan pada firman
Allah SWT dalam surat ath-Thalaq ayat 4 :
4
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid.
B. Ruju’
1. Pengertian
Menurut bahasa
Arab, kata ruju’ berasal dari kata raja’a-syarji’u-rujk’an yang
berarti kembali, dan mengembalikan.
Menurut Istilah
hukum islam, para fuqaha’ mengenal istilah ruju’ dan istilah raj’ah
yang keduanya semakna.
Ulama hanafiyah
memberi defenisi ruju’ sebagaimana dikemukakan oleh Abu Zahrah,
sebagaimana berikut :
Artinya : “Ruju’ adalah melestarikan
perkawinan dalam masa “iddah talak (raj’i).
Menurut Asy-Syafi’i
: “Yaitu, mengembalikan status hukum perkawinan sebagai suami istri di
tengah-tengah 'iddah setelah terjadinya thalak”.
2. Hukumnya
Hukum rujuk ada beberapa macam, yaitu
:
a. Haram, apabila rujuk itu
menyakiti sang istri.
b. Makruh, apabila perceraian
itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya (suami-istri).
c. Jaiz.
d. Sunnat, jika dengan rujuk itu
bermaksud untuk memperbaiki keadaan istrinya.
3. Rukun Ruju’ dan Tata Cara
Ruju’
a. Istri. Keadaan Istri
disyaratkan :
1). Sudah dicampuri, karena istri yang belum dicampuri
apabila ditalak, maka putuslah pertalian nikah antara keduanya, sebab si istri
tidak mempunyai iddah sebagaimana yang telah dijelaskan.
2). Istri yang tertentu. Kalau
suami menthalaq beberapa istrinya, kemudian ia ruju’ kepada salah seorang dari
mereka dengan tidak ditentukan siapa yang diruju’nya, maka ruju’nya tidak sah.
3). Thalaknya adalah thalaq
raj’i. Jika istri yang dithalaq dengan talak ba’in atau thalak tiga, maka ia
tidak dapat diruju’ kembali.
4). Ruju’ itu terjadi pada waktu
istri tengah menjalani masa Iddah.
b. Suami.
Ruju’ dilakukan oleh suami atas
kehendaknya sendiri, bukan paksaan dari orang lain.
c. Sighat (Lafaz Ruju’)
Sighat itu ada dua macam :
1). Terus terang, misalnya : “Aku
kembali Padamu” atau “Aku Ruju’ Kepadamu”.
2). Dengan kata kiasan, misalnya
: “Aku pegang kamu” atau “Aku Nikahi Kamu”.
d. Saksi.
Dalam hal ini para Ulama’ berbeda
pendapat, apakah saksi itu menjadi rukun atau sunnat. Sebagian mengatakan
wajib, dan sebagian lain tidak wajib. Allah berfirman dalam surat Ath-Thalaq :
Artinya : “Apabila mereka telah
mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah
mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. “.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pernikahan adalah suatu hal yang
sacral, yang sebagian orang hanya ingin menikah sekali dalam hdupnya. Jika
harus terjadi perceraian, perempuan menunggu suatu masa yang dinamakan masa
iddah. Iddah ini ada pembagiannya.
Ruju’ mempunyai hukum yang mendasari
untuk dilakukannya, bisa jadi haram, sunnat, boleh dan makruh.
Para Ulama berbeda pendapat dalam
menentukan syarat-syarat ruju’ dalam pemakaian saksi. Sebagian ada yang
mengatakan wajib. Sebagain mengatakan tidak.
B.
Saran
Demikianlah makalah
singkat, kami menyadari banyaknya kekurangan didalam penyusunannya. Maka dari
pada itu kami meminta maaf dan Kami mengharapkan kepada para pembaca,
teman-teman dan Bapak Dosen Pembimbing untuk memberikan kritik dan saran agar
makalah kami ini menjadi lebih baik dimasa yang akan datang.
Atas perhatiannya
kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Mughniyah, Jawad, Muhammad, Fiqih
Lima Mazhab, (Jakarta, Penerbit : Lentera Basritama, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar